Bab 12

8 3 0
                                    

Malam ini Yuka akan pergi ke Elementary Academy. Meski begitu, Aiko belum berbicara dengannya sejak kemarin siang. Latihan sapu atau mantera pun mereka kebetulan tidak satu kelompok. Aiko juga tidur duluan saat Yuka masuk kamar.

Seperti sekarang, Aiko bahkan sudah keluar kamar. Ini masih pagi sekali. Ke mana dia?

"Ah, kamu yang mau pergi, ya?" tanya Mrs. Weny lalu memandang Yuka dari atas ke bawah. Yuka mengunci pintu kamar, lantas tersenyum canggung pada penjaga asramanya itu.

"Berhati-hatilah. Aku punya cemilan dan ramuan energi jika kamu membutuhkan."

"Terima kasih, Mrs," ujar Yuka memberi salam hormat. Mrs. Weny sudah hilang entah ke mana. Yah, dia bukan penyihir berhologram emas asal kalian tahu. Hanya saja bisa jalan cepat dan hilang dalam lima kedipan.

Ternyata desas-desus tentang kepedulian Mrs. Weny dengan MAC memang benar.

Yuka melewati kamar-kamar lain yang penghuninya masih bersiap untuk sarapan. Berada di lantai empat, membuat Yuka harus turun dari tangga kayu yang selalu berdesis.

"Aiko!" panggil Yuka saat melihat Aiko ingin keluar. Di sampingnya ada Shisy dan MAC dari elemen api.

"Ayo, Aiko. Kita harus menguji kemampuan kita setelah sarapan," ajak Shysi dengan sengaja.

Aiko diam.

"Aiko, aku ingin minta maaf," ujar Yuka sekali lagi. Berkali-kali minta maaf, Aiko masih saja marah. Yuka bingung harus ngapain lagi.

"Aku nggak butuh maaf kamu."

Sekali lagi, menatap punggung Aiko yang menjauh. Hatinya kembali tertusuk. Dia sendirian, lagi. Yuka menggeleng. Bahkan dia pernah melewati banyak kesakitan yang lebih parah. Tetapi kenapa, Yuka masih saja merasa lebih buruk.

"Yuka?" Pertanyaan itu dari seorang cewek berambut sebahu dengan kacamata bundarnya. Sepertinya dia baru kembali.

"Ya?"

"Ada surat buat kamu," ujarnya lalu pergi.
Dahi Yuka mengernyit. Surat apa? Dia bahkan tidak punya siapa pun untuk bertukar kisah. Untuk membuktikan rasa penasarannya, Yuka berlari kecil ke depan asrama. Letaknya yang berada di batas jalan memudahkan orangtua MAC untuk mengirim barang atau berkirim surat.

Sampai di kotak surat. Yuka menemukan surat yang sama seperti sebelumnya.

"Lagi?" tanyanya tidak percaya. Kepala sekolah bilang kalau sebelumnya hanya kebetulan. Lalu ini apa?

Yuka menyembunyikannya di antara jubah dan seragamnya. Dia memang membuat kantong cadangan di balik jubah.

"Shino!" sapa Yuka saat Shino melewatinya.
Shino berhenti untuk memberikan senyuman. "Kamu punya waktu luang?" tanyanya setelah berpikir beberapa saat.

Yuka mengangguk. "Mungkin. Aku harus pergi ke suatu tempat nanti malam."

Shino mengangguk. "Temui aku di perpustakaan, ya nanti siang."

Yuka menyanggupinya. Keduanya berpisah di dekat gedung level dua. Shino melangkah ke selatan, arah gedung level empat dan Yuka menuju kafetaria seperti biasanya.

Hah. Yuka mendesah. Kepalanya mendongak demi melihat langit kelabu. Tampaknya, tidak ada hak baik yang terjadi untuk menghilangkan kutukan ini. Sebentar, Yuka merasa familiar dengan kutukan. Kutukan? Siapa yang pernah membicarakannya, ya? Yuka berniat tanya sama Aiko. Urung karena hubungan mereka tidak begitu baik. Maka, satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong adalah cowok yang baru saja melewatinya.

Ryu seperti menghindari Yuka. Kemarin saja dia menolong Yuka saat diamuk Shysi. Kayak bunglon aja sikapnya itu.

"Aku mau ngomong," pinta Yuka dengan napas terengah-engah. Ryu melepaskan tangan Yuka yang menjadikannya tumpuan.

"Minta tolong apa? Aku sibuk, nih," jawabnya berdehem sedikit menghindar. Dia kenapa, sih?

"Tolongin dong, ya? Ya? Bentar doang kok," tawar Yuka dengan segala kata-kata manisnya. "Kamu tau kalau Aiko—" Yuka menggeleng. Dia jadi pingin curhat.

"Nggak." Jahat sekali memang.

Cewek itu memutar otak. "Nanti aku kasih ramuan anti cinta, deh," ujar Yuka

Heh? Ramuan anti cinta? Ada-ada aja. Yuka aja nggak pernah buat ramuan kayak gitu. Cewek itu yakin ramuannya berguna untuk Shysi. Senyuman kecil Ryu membuat Yuka bertambah semangat. Nah, bujukannya berhasil.

Ryu menimang. Segera menjauhkan wajah Yuka yang berada tepat di depannya. "Oke."
Yey!

Mereka berjalan menuju kafetaria. Sepanjang jalan, Yuka harus menatap lurus ke dalam untuk menghindari tatapan-tatapan tidak mengenakkan dari sekitarnya. Apalagi kalau ada Ryu jalan di sampingnya. Seharusnya Yuka menolak dengan alasan belum sarapan tadi.

"Kamu tahu kutukan yang terjadi?" tanya Yuka tanpa basa-basi saat mereka menduduki bangku.

Ryu menyentil dahinya. "Makan dulu!" perintahnya galak. Mendorong nampan milik Yuka.

"Sambil jawab!" todong Yuka dengan mulut penuh kentang rebus dan minyak ikan. Ryu menatapnya tidak percaya. Yuka tidak mengindahkan tatapan itu,  cara makannya memang begini adanya. "Kamu tahu tidak?"

"Emmm." Dia melirik Yuka yang tengah mengerutkan dahi. "Kutukann di dunia sihir akan selalu gelap. Seperti anggapan manusia, kita identik dengan kegelapan."

Yuka menyimak.

"Sebelum kita lahir, tepat saat gerbang antar dimensi tertutup. Kutukan itu terjadi."

Yuka tahu itu. Misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang.
Yuka cemberut. "Aku dapet surat," ujarnya berbisik. Takut jika ketahuan orang lain.

Ryu meletakkan atensinya pada Yuka sepenuhnya. Yuka malah salah tingkah ditatap seperti itu. "Surat apa?" tanyanya curiga.

Aduh! Malah keceplosan. Kepalang tanggung, Ryu juga bisa dipercaya. "Persis seperti milik kepala sekolah," ujar Yuka akhirnya.
Ryu mengangguk. "Sebenarnya aku juga penasaran. Siapa kamu, Yuka?"

Nah! Sama persis seperti ucapan Ryu.

"Isinya kayak gitu," bisik Yuka mendadak takut.

"Kamu harus cari tahu," saran Ryu terlihat tidak peduli. "Sekali pun ada yang menganggap surat itu cuma salah sasaran." Tapi, mata Ryu menghangat. Tidak ada lagi beku dalam matanya. Seolah emosinya berkumpul di sana.

Yuka mengangguk semangat. Mendadak, suasana jadi canggung. Tidak ada pembicaraan lagi selain lirikan Ryu atau Yuka yang gelisah.

"Aku pergi," ujar Ryu canggung. Menggaruk ujung pelipisnya sekilas. "Masalah Aiko. Seharusnya kamu nggak menyembunyikan apa pun meski kamu ragu. Persahabatan itu saling percaya." Ryu tidak seperti orang yang ngasih saran. Malah keliatan lagi ngomongin cuaca hari ini bagaimana. Di balik itu, Yuka merasakan sikap berbanding terbalik.

"Makasih, ya," ucap Yuka tulus.

Ryu diam sejenak. Lalu tersenyum tipis sekali. "Hati-hati."

Kalimat itu membuat pipi Yuka memanas. Ditepuknya kedua pipi agar berhenti bergetar. Apa sih apa? Kenapa dia diserang demam lagi.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang