Ryu menatap pintu yang baru saja dibuka. Mr. Lion dan kedua MAC yang dikenalnya masuk. Jelas sekali kalau wajah mereka tegang. Dia menegakkan tubuhnya lalu memberi salam pada Mr. Lion.
"Baiklah, kalian ditunggu kepala sekolah," ujar Mr. Lion sebelum benar-benar meninggalkan mereka.
Yuka melangkah duluan, diikuti Aiko yang merapat padanya. Ryu berjalan di belakang setelah memastikan tidak ada orang lagi. Mungkin dia merasa terlalu curiga saja. Siapa yang bakalan ngikutin, coba?
Setelah mengetuk pintu, mereka masuk. Hanya ada kepala sekolah dan seorang staff kantor yang mencatat pelanggaran yang dilakukan MAC.
"Kalian akan mendapatkan hukuman menjaga perpus secara bergilir, membantu berjaga malam wajib seminggu. Ada yang keberatan?" tanya Kepala Sekolah. Juru tulis, seorang wanita muda yang selalu menundukkan kepalanya dan jemari-jemarinya terus saja bergerak menuliskan apa yang dikatakan kepala sekolah.
"Tidak," jawab mereka serempak. Sedikit lega karena hukuman itu tidak terlalu berat untuk dilakukan.
"Saya pikir guru-guru akan protes tentang hal ini," ucap Ryu setalah Kepala sekolah menyuruh juru tulis itu keluar ruangan.
Kepala sekolah mengangkat kepalanya dari buku yang sedang dibaca. "Mereka sudah melakukannya. Dan, berpikir aku pilih kasih dengan kalian."
"Benarkah? Seharusnya anda tidak berbuat seperti ini," jelas Aiko merasa bersalah.
Tawa kepala sekolah terdengar. Seolah ucapan Aiko tadi lucu. "Untuk itulah, tunjukkan kalau kalian bisa."Yuka mengangguk. Paham maksud kepala sekolah. Dia menimang-nimang jika nanti ada pertanyaan ke mana mereka. Sejauh ini, Ryu sepertinya belum mengatakan apa-apa.
Dilihat dari Kepala sekolah yang mengerutkan keningnya seraya menatap mereka."Apa yang kalian dapatkan di sana?" tanya Kepala sekolah memecah keheningan.
"Kami bertemu Rafelia," ujar Yuka mantap.
Itu berita besar. Dan, Kepala sekolah menunjukkan reaksi luar biasa. Buku ditutup dengan paksa, menimbulkan suara kecil yang mengagetkan mereka. Tirai-tirai tertutup dengan sendirinya. Bunyi klik yang berasal dari pintu membuat ketiganya menoleh. Ada tiga kursi yang muncul di belakang mereka. Suasana mendadak serius.
"Bisa dijelaskan secara rinci," pinta Kepala sekolah.
"Yah, kami ke Hutan Sunyi. Dan bertemu dengannya lalu bertarung sebentar," jelasnya singkat dan padat.
Dua MAc di samping Ryu melongo. Dia niat cerita atau enggak, sih? Yuka berdecak. "Saya hanya ingin tahu kenapa mereka mencari ayah saya," ujarnya menambahkan.
Kepala sekolah mengangguk. "Kamu pasti terlena."
Hah?
"Maksud anda?" tanya Aiko mewakili rasa bingung mereka.
"Dia tidak bisa dilihat penyihir biasa. Dan, dia punya kemampuan khusus Klan Scamael. Rayuan. Mereka pintar merayu agar semua ucapan mereka dipercaya."
Oh, pantas saja. Yuka merasakan empati besar ketika Rafelia berbicara. Seolah-olah hanya Rafelia yang bisa mengerti keadaan Yuka. Seperti iblis, dia membuat semua penyihir tunduk dalam kuasanya. Yuka menoleh ke arah Ryu. Kalau tidak salah, cowok itu bilang jangan mudah percaya pada Rafelia.
"Saya menjebak dia agar berada di hutan mati saat bulan purnama," jelas Yuka menyuarakan rencana yang menari-nari di otak.
"Kamu belum menemukan ayahmu," ucap Kepala sekolah mengingatkan.
Yuka mengangguk. "Maka dari itu, saya ingin meminta bantuan pada anda."
Dan, rencana yang selama ini dipikirkannya siang malam akan terlaksana. Semoga saja hasilnya bisa baik-baik saja. Sementara itu, Yuka bakalan terus mencari keberadaan ayahnya. Agar semuanya bisa sukses.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of magic
Fantasy"Kembalilah kalian semua!" Suara tawa itu mengalahkan petir yang bersaut-sautan di luar. "Kutukan baru saja dimulai." Yuka Mitsura tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu apa-apa tentang surat misterius itu atau kejadian apa di masa lalu. Dia ti...