Bab 33

1 0 0
                                    

Ryu menatap pintu perpustakaan di depannya. Langkahnya terasa berat untuk masuk ke dalam. Yuka mencarinya tadi. Dengan mata basah oleh air mata. Tentu saja itu membuatnya terkejut. Setelah kabar kalau Shian menghilang, Yuka seperti kehilangan arah.

"Bantu aku, Ryu, ujarnya memegang tangan Ryu erat. Seolah-olah jika dia melepaskannya maka sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Bicara pelan-pelan. Oke?" ujarnya menyingkirkan anak rambut yang menempel di pipi Yuka.

Yuka semakin terisak. "Aku ingin menghentikan semua ini. Nggak peduli aku harus mati, atau terluka. Aku ingin menghentikan ini," ujarnya dengan napas tersengal-sengal. Dia sesenggukan. Terlihat rapuh dan tidak berdaya di mata Ryu.

Bagaimana dia bisa menolak? Entah sejak kapan Yuka bisa menembus benteng pertahanannya. Ryu menyanggupinya asal Yuka mengikutsertakan dia dalam segala rencana. Tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Sedikit khawatir karena Yuka punya pemikiran tidak mudah ditebak.

Sampai saat ini, Ryu tidak bisa menebak apa rencana Yuka. Dia menggeser pintu hingga menimbulkan suara berdecit. Berjalan masuk dan menemukan tubuh mungil yang membelakanginya. "Kamu sudah datang?" tanya Yuka terlihat basa-basi.

Dia berbalik. Menyerahkan daftar tempat yang harus mereka kunjungi malam ini. Ya, malam ini. Yuka tidak mau membuang-buang waktu Apalagi tinggal sepuluh hari lagi bulan purnama terjadi. Yuka merasakan badannya mulai sakit setiap membuka mata.

Beberapakali juga Yuka hampir kehilangan kesadaran jika Aiko tidak mengingatkannya.

Ryu mengambil jadwal itu dengan kening berkerut. Tempat-tempat yang harus mereka kunjungi malam ini.

Hutan Mati tanpa ujung
Portal misterius.

Matanya Ryu melotot saat membaca tempat terakhir. Kertas yang dipegangnya hancur menjadi abu seketika. "Kamu serius mau masuk portal itu?" tanyanya memastikan.

Yuka mengangguk. "Untuk yang satu itu, aku akan pergi sendiri. Kamu tidak udah ikut."

"Kenapa tidak boleh?"tanyanya penasaran.
Yuka tersenyum miris. "Cukup banyak orang-orang yang berkorban demi aku. Jangan nambah lagi," gumamnya masih menyalahkan diri sendiri.

Ryu berdecak. "Aku tidak melakukannya untukmu. Itu hakku kalau mau ikut," jawabnya sinis.

Yuka tersenyum manis padanya. Berbeda sekali dengan prediksi cowok berambut hitam itu, yang menyangka Yuka akan membalas ucapannya. Padahal, dia hanya bercanda tadi.
"Aku melarangmu," ujar Yuka seraya memejamkan matanya.

Ryu menggaruk pelipisnya. "Aku bercanda waktu bilang nggak ngelakuinnya untuk kamu."

Mata Yuka terbuka lebar. Dia menatap siluet Ryu yang bersinar meski kegelapan menyelimuti mereka. Ada rasa hangat yang menjalar saat tatapan lembut itu beradu dengannya.

"Aku rela berkorban. Jadi, kamu harus selalu sama aku."

Kenapa terdengar sangat manis di telinga Yuka? "Dasar kurang ajar," maki Yuka tidak benar-benar serius. Senyumnya terbit tanpa bisa dicegah. Jantungnya berdegup kencang lagi saat Ryu mengacak-acak rambut Yuka.

Ryu tersenyum simpul. "Jadi, bagaimana cara kita ke hutan mati," ujarnya menyadarkan Yuka dalam ketersimaan.

Yuka berdehem untuk menetralkan detak jantungnya. "Kita tidak bisa keluar dengan mudah."

"Em. Shino bilang penjagaan gerbang lebih diperketat sekarang," tambah Ryu memainkan jemarinya di atas meja.

Mata Yuka berbinar. Dia menemukan ide paling jenius. "Kita pakai black hole."

Ryu terperangah untuk sesaat. Cewek di depannya benar-benar berbeda. Rasanya lega bisa melihat binar di mata itu lagi. Pipinya Sampai terasa pegal karena terlalu banyak tersenyum.

"Maaf, ya. Ucapanku waktu itu asal ceplos," ujar Yuka memutar matanya ke segala arah. Yang penting tidak beradu pandang dengan Ryu. Dia perlu mengatakan ini sebelum tidak punya waktu lagi.

Alis Ryu naik turun. "Jadi, kamu suka sama aku?"

Yuka menghadiahinya pukulan paling keras, berkali-kali. Ryu terbahak meski tidak menghindar dari serangan itu. Untuk sesaat, mereka menjadi MAC pada umumnya. Tidak memikirkan masalah yang menimpa mereka saat ini.

***

Yuka menciptakan black hole. Saling menggenggam agar tidak terpisah. Masuk bersama-sama ke dalam. lubang hitam itu menyedot mereka berdua. Dalam sekejap, mereka mendarat mulus di tanah kering yang keras.

Ryu menahan lengan Yuka saat pendaratan. Cewek itu sempoyongan untuk sesaat.
"Terima kasih," ujar Yuka berdiri tegak. Menepuk-nepuk jubahnya yang hampir terlepas.

Suasana mencekam. Udara dingin berhembus dari segala arah. Mereka meninggalkan sapu masing-masing di asrama. Supaya tidak ada yang curiga kalau mereka pergi.

"Kamu ingin pergi ke tempat Skandiv?" tanya Ryu mengingat ringkasan yang dibuatnya tentang ayah Yuka.

Yuka mengangguk sebagai jawaban. Lantas, mereka berjalan bersisihan dengan perlahan. Jarak pepohonan yang semakin sempit menjadi pemandu arah. Itu berarti mereka semakin masuk. Mereka hanya perlu menemukan ujung hutan. Tempat uang mereka cari ada di sana.

"Kamu yakin ada di sini?" tanya Yuka memecah keheningan yang terjadi. Kaki mereka rasanya mati rasa karena terlalu lama berjalan.

Ryu mengangguk. "Semua sumber dari jurnal kepala sekolah," ujarnya yakin.

Mereka terus berjalan. Jarak pepohonan semakin sempit saja. Kadang kala harus memiringkan badan saking pendeknya jarak pepohonan itu  Tetapi tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar hutan. Yuka bergerak gelisah. Apa mereka salah tempat?

Yuka berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam. Sesuatu yang hangat menggenggam tangannya. Ryu menyalirkan suhu tubuhnya lewat genggaman. "Mau kugendong?" tanya Ryu serius.

Yuka menggeleng cepat. "Aku pikir kita harus menggunakan black hole lagi," putusnya memikirkan itu masak-masak.

"Tapi, energimu bisa terkuras."

"Aku kuat, kok," ujar Yuka memberikan senyuman lebar.

Ryu mengangguk dengan berat hati. Yuka mencari pohon besar untuk menciptakan black holenya. Butuh waktu lebih lama karena tenaganya memang terkuras. Tapi bentuknya Balck hole masih sama sempurnanya seperti tadi.

Ryu menggenggam tangan Yuka erat. Mereka masuk ke dalamnya. Mendarat di bagian hutan lain yang memiliki pepohonan jarang. Bukan hanya itu, huruf kuno yang diukir omdi bebatuan menarik minat Ryu.

"Kamu tahu Qantji ini?" tanya Ryu sembari membersihan berbatuan yang berlumur itu.
Yuka menlihatnya dengan cermat. Dia mengangguk saat menyadari bahwa kata itu sama persis dengan nama ayahnya. Mereka sampai di tempat yang tepat!

"Kita sampai di sini," ujar Yuka ceria.
Ryu tersenyum kecil. Lantas, mengitari tempat yang sepertinya bekas rumah. Terlihat dari batu-batu yang disusun memutar membentuk sebuah tempat tinggal plus pekarangan depan. Tidak ada yang aneh di sini.

"Ayahku pernah tinggal di sini," ujar Yuka saat menggali ingatan bebatuan di sana. Hanya dengan menempelkan telapak tangannya, Yuka bisa melihat kenangan mereka.
Ryu takjub untuk kesekian kali. "Jadi, bagaimana?"

Yuka menggeleng. "Tidak ada cara lain lagi."
Satu-satunya cara adalah masuk ke portal itu. Pikiran Yuka buntu sampai sekarang. Ryu menyetujuinya tanpa banyak berbicara. Mereka menundanya sampai besok malam. Di samping tubuh Yuka yang berubah seputih kapas, juga waktu yang mereka habiskan terlalu lama. Hanya beberapa jam saja fajar tiba. Yuka mengeluarkan black holenya. Mereka kembali ke perpustakaan yang sunyi.
Ryu mengantar Yuka sampai di depan sarannya sendiri. Dalam pikiran mereka, terdapat keraguan besar.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang