Bab 30

3 1 0
                                    

Ada yang aneh di Academy. Berbepa tempat rusak seperti habis dibakar. Contoh saja taman depan yang dekat dengan gedung serbaguna, sebagian rumputnya gundul dengan pola aneh. Atau selera Mrs. Fungi saja yang berubah, ya. Sebenarnya Yuka datang keluar dari klinik Academy. Kepalanya pun masih berdenyut.

Udara di klinik malah membuat Yuka tidak betah. Makanya, dia keluar sendirian.

"Bukannya kamu harusnya di klinik?"

Yuka menemukan Shino terbang di atas. Ah, seharusnya juga dia berjaga sekarang. Kalian ingat hukuman yang diberikan kepala sekolah. Aiko tadi juga pamit begitu.

"Ah, senior. Aku butuh udara segar," jawab Yuka memberikan senyum.

Shino mendesah. "Nanti kalau Ryu lihat, dia bisa marah."

Eh. Kenapa Sampai ke Ryu segala. Lagian kalau Ryu marah Yuka harus takut gitu? Alasan marahnya kan nggak jelas juga. Semua orang jadi aneh pada Yuka.

Subjek yang Shino sebut berjalan dari belakang. Matanya menajam saat menemukan Yuka berada di luar gedung. Padahal, semua orang sudah menyuruhnya untuk berisitirahat.

"Kembali sana!" suruh Ryu galak. Wajahnya tidak enak dipandang.

Yuka menggeleng. "Nggak mau. Kalau kalian mau pergi, ya pergi aja," tolaknya lalu berlalu meninggalkan mereka.

"Dia jadi sensitif," uajr Shino melihat Ryu terperangah. "Cewek emang gitu," lanjutnya sembari menepuk-nepuk bahu Ryu. Memberikan energi karena terkejut dengan sikap Yuka.

Shino pamitan untuk melapor ke Xiao. Ryu mengikuti langkah Yuka yang berjalan menuju lapangan. Keadaannya lebih buruk daripada taman depan. Sebagain besar rusak dan perlu perbaikan lama.

"Apakah pasukan roh itu yang melakukannya?" tanya Yuka menyadari langkah seseorang mengikutinya sampai di sini. Siapa lagi kalau bukan Ryu?

"Emm," gumam Ryu tidak sepenuhnya bohong. Meski sebagian besar Yuka yang merusaknya. Tidak ingin menambah beban cewek itu lagi.

"Mereka buruk sekali," komentar Yuka.

Dia benar Yuka, kan? Kenapa nada bicaranya mirip seperti saat tidak terkendali, ya. Ryu bisa bernapas lega melihat Yuka tersenyum manis, alih-alih tersenyum sinis.

"Apa yang terjadi denganku?" tanya Yuka untuk kesekian pada orang yang berbeda. Jika dia tidak bisa menyela kepala sekolah, mendesak Aiko yang langsung kabur, Ryu sepertinya akan memberitahunya. Dia tidak pernah berbohong sejauh yang cewek itu tahu.

Ryu menggaruk pelipisnya. "Kamu tidak mengingatnya?" tanyanya memastikan.
Yuka menggeleng.

"Mereka mengincarmu. Kamu bertarung dengannya sebentar. Lalu, kamu pergi dari sini dan aku menemukanmu. Lalu kita pulang," jelas Ryu singkat.

Yuka menyipitkan matanya. "Aku tidak mengingat pernah pergi dari Academy."

Ryu mendesah panjang. Berat untuk memberitahu Yuka.

"Katakan sejujurnya!" tegas Yuka dengan tangan terkepal. Benar, kan? Semua orang menyembunyikan sesuatu. Ketika dia berada di klinik, beberapa MAC yang berada di sana melihatnya dengan pandangan berbeda. Bukan pandangan mengejek seperti biasanya, tetapi pandangan sinis. Ketika Yuka mendekati mereka untuk mengambil air putih yang kebetulan berada di satu tempat, mereka segera menghindar.

"Sepertinya kekuatanmu sudah muncul," ujar Ryu mengawali pembicaraan. "Bulan purnama semakin dekat. Mungkin itu alasannya."

"Kenapa aku tidak sadar diri?" tanya Yuka lagi.
Ryu menggeleng. "Kurasa, kekuatan itu mengambilalih tubuhmu."

Mengerikan. Yuka menatap kedua tangannya dengan pandangan tidak percaya. "Terusin," pintanya lemah. Dia merasakan gemetar yang hebat.

"Kamu melawan semua orang dengan kekuatanmu. Bahkan mudah untuk mengunci pasukan roh dengan sekali jentikkan."

"Aku merasa di tempat gelap dan tidak ada siapa pun saat itu. Tubuhku terbakar oleh kemarahan saja," jelas Yuka mengingat apa yang dirasakannya saat itu. Ingatan yang didapat saat sapunya memberi ingatan pahit itu.

"Kamu menyerang beberapa tempat," tambah Ryu lagi.

Yuka merasakan tubuhnya dingin. Dia yang merusak Academy ini. Apakah dia juga yang melukai teman-temannya? Pandangan mereka sewaktu Yuka ingin mendekat kembali tergambar. Jelas sekali dia mereka menjauh karena ketakutan. Dia menakutkan. Semua orang takut padanya. Kutukan sialan ini!

Ryu mengelus kepala Yuka. Memberikan kehangatan yang membuat tangis Yuka pecah. Dia terduduk dengan kepala tenggelam dalam lipatan tangan. "Aku takut," gumamnya di sela-sela isakan. Benci pada dirinya sendiri. Benci pada takdir hidupnya yang menyedihkan. Bertanya-tanya untuk apa dia lahir.

Ryu merasa bersalah. "Itu sudah terjadi," ujar Ryu menenangkan.

Yuka menggeleng. Lantas, suaranya bergetar ketika bicara. "Kamu bisa menjamin tidak akan terulang lagi!" teriaknya kalah oleh isakannya sendiri.

"Kami sedang mencari tahu lebih jauh. Jangan merasa bersalah."

Yuka masih menangis. Ryu kebingungan. Jika saja ada Aiko, dia tidak perlu berpikir keras agar Yuka berhenti menangis. "Kamu berbicara sesuatu ketika tidak sadarkan diri," gumam Ryu mengalihkan topik.

Yuka mendongak. Penasaran apa maksud Ryu.

"Kamu bilang kalau Rafelia seorang informan," ujarnya memilah informasi apa yang harus dikatakan. Dia melewatkan fakta kalau Yuka tahu asal-usulnya.

"Benarkah?"

Ryu mengangguk. Dia jadi bersemangat saat Yuka menghapus air mata di pipinya. "Semua tindakan Rafelia dibayar seseorang. Kamu pernah menyelidiki itu?"

Yuka menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak ingat pernah berkata itu," ujarnya. Matanya melebar dengan kemungkinan paling besar yang terjadi padanya. "Apa karena kekuatanku."

"Kupikir iya," timpal Ryu menggendikkan bahu.

"Apa lagi yang kukatakan?"

"Rafelia bilang kalau orang yang menyuruhnya dia hanya mengenakan jubah putih. Tinggi besar. Dia menguasai langit." Ryu mengingat kembali setiap perkataan Rafelia. "Kamu berkata kalau ciri-ciri itu mirip ayahmu."

"Bagaimana mungkin?" tanya Yuka pada dirinya sendiri. Dia menggigit ujung jarinya sebagai pelampiasan. "Aku bahkan tidak pernah bertemu ayahku."

Ryu mengangguk. "Sepertinya, ingatan itu berasal dari kekuatanmu."

Yuka mengingat sesuatu. Kata-kata yang diucapkan pasukan roh itu padanya. Dia mencekal tangan Ryu. "Ryu, ayo ikut aku."

Ryu diseret Yuka menuju perpustakaan Academy. Sampai di sana, mereka masuk dan mengunci pintunya dari dalam. Lantas, Yuka melangkah lebar-lebar menuju pojok belakang, tempat yang biasanya mereka huni. Ryu berjalan di belakangnya.

"Kamu mau apa?" tanya Ryu penasaran.
Yuka mengeluarkan buku tipis yang selalu dibawanya. Untung saja tidak ada yang mengambilnya ketika dia pingsan. Membuka halaman terakhir yang belum sempat terisi. Dan ajaibnya sudah ada tulisan tangan di sana.

Yuka memusatkan perhatiannya pada kalimat itu. Huruf-huruf itu terbang dan berputar di udara bebas. Menari-nari di udara. Saling berkaitan, berbaur dan membentuk pola yang belum utuh. Mengikat satu sama lain, berpencar kembali lalu bersatu. Dia pola huruf di tangkap Yuka sekilas.

Pola huruf I dan V.

Jika digabungkan dari awal, maka terbentuklah kata Skandiv. Yuka jelas mengingat kalau pasukan itu menyebut Yuka sebagai putri Skandiv.

"Kamu pernah dengar ini?" tanyanya menunjukkan kalimat itu pada Ryu.

Kening Ryu berlipat. Tahu kalau kunci yang mereka cari mungkin berada di kalimat itu. "Aku akan mencarinya."

Yuka mengangguk. Membiarkan Ryu pergi ke perpustakaan kepala sekolah. Dia mendesah. Menunduk sedalam-dalamnya. Semoga saja kali ini berhasil.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang