Bab 11

10 1 0
                                    

Malam hari.

Yuka mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke Elementary Magic. Sebenarnya, bisa saja dia pergi menggunakan black hole. Ah, tidak, kemampuannya untuk pergi jarak jauh menggunakan itu belum terasah dengan baik. Bisa-bisa malah nyasar ke tempat lain lagi.

"Senengnya yang dapet jatah liburan," sindir Aiko yang baru sama masuk kamar.

Yuka tertawa kegirangan. "Oh, ya. Katanya cuaca lusa baik-baik aja. Jadi, jangan khawatir."

"Aku malahan iri," ujar Aiko tidak rela. "Masa aku ditinggalin, sih? Apa ini liburan?" tanyanya memelas.

Yuka nyengir lebar. Dia kan perginya dua hari lagi. Terlintas ide untuk berjalan-jalan malam untuk menghilangkan wajah muram Aiko.

"Mau jalan-jalan?" tanya Yuka dengan mata mengerling.

Segera saja Aiko mengangguk. Mereka lupa kapan terakhir keluar asrama-meski dilarang-sejak adanya latihan mendadak itu. Sepekan? Dua pekan?

Yuka mengunci pintu. Aiko bertugas membawa cemilan ringan dan menata guling dan selimut untuk mengelabuhi. Tepat jam sembilan malam, biasanya ada yang keliling untuk memastikan. Dan, Untung saja mereka sudah melakukannya beberapa kali. Setelah mematikan lampu, mereka keluar dengan hati-hati.

"Siap!" teriak Aiko pelan.

Yuka menggunakan sapunya untuk kesekian kali. Malam ini, mereka berencana ke pohon bagian belakang gedung asrama. Pohon tinggi sebesar Hulk raksasa dengan jari jemari yang bisa dijadikan tempat tidur. Tidak butuh waktu lama untuk ke sana.

Aiko langsung duduk di samping Yuka, menawarkan potongan kecil bola-bola ikan dengan keju leleh di atasnya. Saat, makanan itu didapatkan dari Aiko ketika berkunjung ke dapur kafetaria. Seperti biasa, Aiko memang selalu bisa diandalkan untuk urusan apa pun.

"Aku iri belum bisa terbang sepertimu," gerutu Aiko saat melihat Yuka terlihat santai ketika menggunakan sapunya.

Yuka yang sedang mengelus-elus sapunya menoleh. Merasa sedang dibicarakan. "Nanti juga bisa," ujarnya cuek.

Aiko belum mengalihkan topik, "apa kamu keturunan penyihir hebat atau apa?" tanyanya seraya memutar mata.

Yuka langsung saja tertawa. "Kamu tahu aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku," ujarnya mendesah panjang. Matanya terpejam untuk menikmati semilir angin yang membelainya.

Aiko mendadak histeris. "Nah! Makanya, mungkin kamu keturunan penyihir zaman dulu."

"Jika iya. Kenapa mereka meninggalkanku?"

Bahkan tanpa penyihir hebat sekali pun, Yuka hanya ingin punya keluarga lengkap. Hanya itu. Tidak muluk-muluk, kan? Atau, setidaknya siapa mereka dan kenapa alasannya dia ditinggal sendirian. Yuka akan mencoba menerima jika itu masuk akal.

Aiko langsung terdiam. "Kamu tahu, aku dapet info soal Ryu lho."

Yuka memutar mata. "Aku nggak kepo."

"Masa? Kukira kalian lagi kencan."

"Hey!" tiba-tiba saja Yuka berteriak di wajah Aiko. Langsung saja mendapat pelototan dari Aiko. Yuka langsung nyengir tanpa dosa."Aku nggak suka dia."

Yuka berkata jujur, sedikit. Setidaknya, sikap Ryu sangat tidak disukainya. Terlepas dari rasa-tidak-dihargai mereka, rasanya tidak akan cocok berbicara dengan Ryu terlepas dari topik itu.

"Eh, siapa yang tanya kamu suka apa enggak."

Skakmat!

Iya, ya? Yuka menepuk mulutnya sendiri karena menyadari kesalahan itu. Terlambat, Aiko menjadikan senjata untuk mengolok-olok Yuka.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang