Yuka berdehem beberapa kali untuk menetralkan jantungnya. Dia mengintruksikan pada Ryu dan Aiko agar bersembunyi dari jarak sejauh tiga puluh meter.
"Aku ngerasa bakalan terjadi sesuatu," ujar Aiko tiba-tiba. Rambut halusnya berduri. Padahal, mereka baru berada di bibir hutan dan belum masuk ke dalam.
Yuka menggenggam tangan Aiko. "Nggak ada apa-apa," ujarnya menenangkan. "Ada kalian. Aku percaya sama kalian."
Ryu merapihkan tudung Yuka. Memastikan jubah yang dikenakannya terikat erat. Jangan ditanya bagaimana keadaan jantung Yuka. Dia menahan napas saat mata emas itu berada di bawah pandangannya langsung.
Aiko berdehem. Yuka baru sadar setelah terpana beberapa saat. Terpana? Yang benar saja! Sama siapa? Stop! Jangan lanjutin. Yuka nggak mau denger nama itu.
Ryu menegak. "Hati-hati."
Yuka melambaikan tangan lalu menunggangi sapunya. Meninggalkan mereka berdua di belakang yang langsung mencari tempat persembunyian.
Yuka mendarat. Memegang sapunya sebagai pegangan. "Rafelia!" teriak Yuka berusaha biasa saja.
Seperti sebelumnya, dalam panggilan ketiga wanita itu datang dengan angin yang berhembus dari arah barat. Yuka berbalik arah. Yang ditemukannya adalah tawa merdu darinya.
"Kamu membutuhkanku lagi?" tanyanya kontradiksi dengan tawa melengkingnya yang kembali terdengar.
Duh, lama-lama Yuka bisa budek kalau begini.
"Nggak! Aku cuma mau kasih peringatan aja. Aku tidak mau percaya kamu lagi!" teriaknya tegas.Aiko dan Ryu yang berada jauh di belakang melotot. Tidak percaya kalau Yuka mengibarkan bendera perang secara terang-terangan. Aiko pikir Yuka bakalan ngorek informasi dulu atau menghasut Rafelia dulu.
Ryu tersenyum kecil. "Dia emang nggak mudah ditebak," gumamnya. Alih-alih mengejek seperti biasa atau terkejut seperti Aiko. Ada nada kagum dalam suaranya. Kadang, dua orang ini emang miring di mata Aiko.
"Rupanya kamu termakan rayuan kepala sekolahmu, ya?" tanya Rafelia terdengar manis di telinga Yuka.
Yuka menggeleng. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tapi, cewek itu mengangguk juga saat melihat wajah sedih Rafelia.
"Kamu pasti memandang kami sangat jahat. Padahal, kami cuma mencari buronan yang meresahkan pemerintah," jelas Rafelia seraya berputar-putar di sekeliling Yuka.
Jangan pernah terpengaruh ucapannya
Kata-kata Ryu terngiang kembali di telinga Yuka."Aku penasaran kenapa kamu mencari ayahku sampai seperti itu," gumam Yuka sukses membuat ekspresi Rafelia berubah. Yuka tertawa kesenangan. "Lihat. Sepertinya kamu menyimpan sesuatu yang lain."
Rafelia tersenyum. "Yah, aku hanya ingin kutukanmu bisa hilang dan ayahmu tertangkap. Itu saja."
Yuka mencebik. Sepertinya sulit bikin wajah Dewi di depannya mengeluarkan alasan mereka menyerang."Oh, gitu. Ayah pasti punya sesuatu yang besar, ya. Kalian pasti sangat menginginkannya," ujar Yuka memancing lagi.
Rafelia terkekeh. "Sepertinya kamu tahu itu. Dia menggoyangkan kekuasaan Penyihir Agung. Sepantasnya dia ditangkap, bukan?"
"Aku pikir kalian bakal nangkap aku," gumam Yuka lirih. Cukup terdengar untuk dirinya sendiri.
"Ayah harus tertangkap biar tidak ada yang mengganggu kalian, ya. Cih, rupanya kalian takut sama ayahku."
Rambut kemerahan milik Rafelia terbang. Meski mata emasnya tidak berubah warna atau mengeluarkan cahaya, jelas kalau dia marah. "Jaga ucapannya, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of magic
Fantasy"Kembalilah kalian semua!" Suara tawa itu mengalahkan petir yang bersaut-sautan di luar. "Kutukan baru saja dimulai." Yuka Mitsura tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu apa-apa tentang surat misterius itu atau kejadian apa di masa lalu. Dia ti...