"Yuka!" teriak Aiko kencang. Langsung berhambur ke pelukan Yuka. Tanpa sungkan Yuka menyambutnya antusias. "Jangan bikin orang jantungan terus dong!" gerutunya memeluk Yuka lebih erat.
Yuka tersenyum. Aiko tidak berubah seperti perkiraannya. "Maaf, aku nggak jujur sama kamu," ujar Yuka tulus.
Langsung aja Aiko menyentil dahinya. "Kita sahabat. Nggak perlu maaf-maafan."
Yuka menimang. Melirik sekitarnya untuk memastikan keadaan. Aiko menyipitkan mata saat menyadari itu. "Kamu cari Ryu? Ryu-"
"Kamu mau ikut aku?" tawarnya memotong.
Menyadari keseriusan Yuka, senyum Aiko luntur. "Ke mana?""Bertemu seseorang. Aku nggak tahu lagi harus percaya sama siapa." Yuka putus asa. Hanya Aiko yang bisa membantunya saat ini. Dia perlu bicara dengan Rafelia lagi. Dia harus memastikan semuanya. Meminta pendapatnya harus melakukan apa. Keyakinannya masih berada di awang-awang.
"Tapi, ceritain semuanya," jawab Aiko sambil mengangguk.
Yuka setuju. Dia membiarkan Aiko kembali ke asrama untuk mengambil sapu terbangnya. Ini sudah larut. Tidak mungkin ada yang berkeliaran selepas penyerangan itu. Yuka yakin, kepala sekolah akan menemuinya. Beruntung, Ryu menyanggupi permintaan Yuka kalau dia tidak ingin bertemu siapa pun sampai besok.
"Aku masih bisa terbang, Aiko," ujar Yuka tanpa niat bercanda. Suasana jadi canggung. Dia masih pandai menggunakan sapu terbang dengan Aiko dibelakangnya.
Sepanjang jalan, Yuka menceritakan semuanya. Pertemuannya dengan Mrs. Selly hingga Rafelia. Pertanyaan yang muncul kenapa kepala sekolah menutupi ini semua?
"Tidak ada orang tua yang membuang anaknya tanpa alasan," komentar Aiko setelah Yuka selesai berbicara. Yuka merasa sedikit lega berbagi cerita.
"Aku anak terkutuk itu," ujar Yuka berbisik pada dirinya sendiri. Lihat, bahkan langit di atas sana selalu marah padanya. Menatap langit membuat Yuka benci pada dirinya sendiri. "Semua orang membencinya."
Aiko menyadarkan Yuka dengan seruan pelan. "Aku menyayangimu. Ryu dan Shino tidak pernah memandang kamu berbeda."
Yuka tersenyum sebagai balasannya.
"Aku bingung harus percaya sama siapa."Aiko juga tidak tahu. "Yuka, meski kita tidak mengenal kepala sekolah lebih jauh. Bukankah orang baru juga patut dicurigai?"
"Kita lihat saja nanti."
Jika Rafelia bisa menjawab pertanyaan Yuka, dia akan mempercayainya.
Mereka sampai di hutan sunyi. Sesuai namanya. Tidak terlalu banyak pepohonan di sana. Tanah retak di mana-mana. Katanya imbas dari penyalahan aturan itu. Lagi-lagi karena Yuka sendiri alasannya.
"Kamu tunggu sini," perintah Yuka saat Aiko mengikutinya masuk ke dalam. "Kamu harus sembunyi dari Rafelia."
Aiko mengerti. Maka, dia mencari tempat strategis agar bisa melihat Yuka secara leluasa.
Yuka memanggil nama Rafaelia tiga kali. Anginnya berhembus dari samping kanan. Yuka melirik ke arah, memastikannya bersembunyi dengan baik.
Seseorang wanita tersenyum ke arahnya. Dia terlihat seperti Dewi. Yuka bisa melihat mata emasnya ketika Rafelia membuka tudung jubahnya. Masih saja dia takjub dengan kecantikan dan aura tajamnya.
"Ini terlalu cepat," ujarnya dengan tawa melengking.
Yuka bersikap tenang. "Ada yang ingin kutanyakan."
Senyum di bibir Rafelia meredup. Lalu terbit kembali. "Baiklah. Kamu bisa mendapatkan jawaban apa pun dariku."
"Bagaimana cara ayahku melepas kutukan ini?" tanyanya tak gentar. "Dan, kenapa dia menghilang sampai saat ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of magic
Fantezie"Kembalilah kalian semua!" Suara tawa itu mengalahkan petir yang bersaut-sautan di luar. "Kutukan baru saja dimulai." Yuka Mitsura tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu apa-apa tentang surat misterius itu atau kejadian apa di masa lalu. Dia ti...