Bab 14

8 1 0
                                    

Hutan mati.

Yuka mengenalnya tidak sebanyak pengetahuan teman-teman lain. Ah, bahkan hanya lewat buku saja Yuka mengetahui apa yang ada di sana. Selebihnya, Yuka tidak berani ke sana. Auranya membuat Yuka tercekik.

Maka, melewati bibir hutan, seolah berada di dunia lain. Pohon-pohon meluruh jadi abu. Api berkobar di mana-mana. Suara kesakitan dari berbagai arah membuatnya menutup telinga cepat.

Sebuah panah api mengarah kepada Yuka. Terbengong-bengong sesaat, sapunya bergeser sedikit ke samping kiri. Panah itu meleset.

"Apa itu?" tanyanya masih terkejut melihat panah api yang membakar dahan. Seperti rayap yang merampas cepat dalam kedipan mata.

Suara tawa melengking. Yuka menutup telinganya sebelum gendang telinganya pecah. Lambat laun suara itu mendekat ke arahnya.

"Lama tak jumpa, sayang," sapaan itu membuat bulu halus Yuka berdiri. Entah dari mana datangnya, seorang wanita muda dengan rambut merah terang, berjubah abu-abu yang berkibar menghalangi langit tersenyum manis pada Yuka. Jika saja bukan karena goresan luka yang dipamerkan di sisi wajahnya, Yuka akan mengira dia dari klan bangsawan atau penyihir terdahulu.

Ajaibnya, wanita seusia Mrs. Raflyn itu terbang tanpa menggunakan sapu. Jika kepala sekolah masih memakai bantuan kabut di bawah kakinya, maka wanita itu tidak repot meletakkan alas di udara sebagai pijakan.

"Sapu yang bagus," ujarnya melirik sapu Yuka yang langsung berubah tegang.

"Siapa kamu?" tanya Yuka mengernyitkan dahi. "Kenapa kamu ke sini?" tanya Yuka lagi.

"Panggil aku, Rafelia. Aku adalah penyelamat dunia," jawabnya sombong. "Kamu lebih tenang daripada yang lain.",

Yuka menangkap maksud lain dari ucapannya. Segera saja dia melesat ke Academy untuk memastikan. Gerakannya terhenti hanya dengan telunjuk berkuku panjang mengarah padanya. Yuka meronta. Seiring dengan tubuhnya yang mati rasa. Berbagai mantera penangkal yang dia hapal Yuka ucapkan, tapi tidak berpengaruh apa-apa.

Wanita tua itu mendekat. Ada kecantikan yang terpancar dari sana. "Bagaimana? Kamu sudah menemukan orang tuamu?" tanyanya meletakkan jari jemarinya di dagu Yuka.
Bagaimana dia bisa tahu?

"Bicara saja!" teriak Yuka jengkel.

Wanita itu tertawa. Melengking dan membuat tanah bergetar pelan. "Kamu sama seperti dia. Sombong dan tidak tahu sopan santun."

Yuka membelakkan mata.

"Mau dengar cerita?"

Yuka menurut. Memilih diam ketika wanita itu menjadikan angin sebagai kursi. Menatap Yuka dengan keangkuhan yang ketara.

"Ada aturan yang melarang pernikahan penyihir dan manusia. Keseimbangan dunia akan hancur karenanya. Gerbang antar dimensi yang awalnya menyatukan dua makhluk itu disalahgunakan oleh seseorang."

Yuka merasakan panas dalam dadanya. Entah kenapa, dia merasa tersudut sekarang.

"Mak-maksud kamu?"

"Bukankah jelas ayahmu yang membawa kutukan itu. Dan itu berarti, kamu anak terkutuk."

Anak terkutuk.

Anak terkutuk.

Anak terkutuk.

Kata-kata itu terngiang di kepala Yuka. Memutari kepalanya, berdegung di telinganya tanpa mau berhenti. Menghantam kepalanya tanpa ampun. Sesuatu keluar dari hidungnya dalam bentuk cairan merah.

"Kamu yang membuat dunia ini selalu diliputi kegelapan!" teriaknya lagi. Petir menyambar-nyambar. Yuka dalam keadaan takut, resah, dan putus asa. Nyawanya mungkin tidak akan lama lagi mengingat senyuman miring wanita itu padanya.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang