Tujuh

20 6 0
                                    

Jadwal belajar mulai agak padat menjelang ulangan tengah semester. Davira bahkan mulai diikutkan les privat sebagai persiapan untuk menghadapi ulangan nanti.

Jam pelajaran keempat kosong. Guru yang seharusnya mengajar berhalangan masuk karena sakit. Davira duduk sendiri dibangkunya karena Kiana sedang pergi ke toilet. Davira yang sedang memakan brownis buatan mamanya dikejutkan dengan sebuah getar ponsel.

Pesan masuk dari Kiana.

Kiana Wijaya:
Dav tolong gue dong
Beliin gw pembalut hehe
Anter ke toilet yg bilik ke dua ya
Cpt gw tunggu

Davira tidak membalas, dia langsung menutup kembali kotak bekalnya dan beranjak menuju kantin. Tapi Davira merasa seperti ada sesuatu yang dia lupakan.

Kapan terakhir kali gue mens?

Sebentar, Davira merasa waktunya terhenti. Namun dia segera menyadarkan dirinya dan kembali berjalan untuk membeli pembalut dan membawanya ke hadapan Kiana.

Sesampainya di toilet bilik ke dua. Davira segera mengetuk pintu dan muncullah wajah Kiana.

"Ini,"

"Makasiihh Daviraaa. Bentar ya,"

Tidak perlu waktu lama untuk Kiana agar segera keluar. Cewek itu membetulkan bentuk roknya terlebih dahulu. Davira menggigit bibirnya, memilih kalimat yang tepat untuk dikeluarkan.

"Ki, pesta ultah Raka udah berapa lama sih?"

Kiana tampak mengingat-ingat. "Sekitar sebulan yang lalu. Hampir dua bulan kayaknya. Kenapa?"

"Enggak, tiba-tiba kepikiran aja,"

"Kantin kuy gue laper," ajak Kiana sembari menggandeng tangan Davira.

"Oke,"

Hampir dua bulan. Kata-kata Kiana masih terngiang-ngiang di telinga Davira. Mereka kembali lagi ke kelas setelah Kiana membeli sebungkus roti dan Davira menenteng sebuah minuman berperisa apel.

Saat di depan kelas, Davira merasa kepalanya memberat. Sehingga dia tanpa sengaja menjatuhkan botol minuman yang baru saja dibeli. Kiana yang kaget langsung merangkul tubuh Davira.

"Lo kenapa Dav?!"

"Gak apa-apa, gue cuma tiba-tiba pusing," Davira tersenyum untuk meyakinkan Kiana.

Kiana menggeleng. "Lo pucat banget itu. Kita ke UKS aja ya?"

Karena terlalu lemas, Davira mengiyakan saja perkataan Kiana. Sesampainya di UKS, Davira diberikan air putih hangat dan minyak kayu putih karena indikasi awal penyakitnya adalah masuk angin.

"Kok bisa sihh? Lo gak makan ya?" Terka Kiana.

"Iya, semalem gue enggak makan,"

"Aduh Dav, kenapa bisa sih lo ninggalin makan? Padahal makan itu kenikmatan tiada tara, bentar deh gue beliin makanan dulu," ujar Kiana. Davira tidak menyahut, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Perlahan, tangan kanan Davira menyentuh perut. Gue cuma masuk angin, iya kan? Lima menit kemudian Kiana datang dengan sebuah styrofoam berisi nasi uduk yang dia beli di kantin.

Davira membetulkan posisi bantal dan duduk dengan punggung yang sepenuhnya bersandar pada bantal dan sandaran brankar UKS.

Baru saja hendak meyendokkan suapan pertama, aroma bawang goreng terasa menyengat di hidung Davira. Cewek itu menurunkan sendok dan menutup hidung. Aroma tersebut membuat asam lambung Davira naik dan dia pun segera berlari keluar uks. Baru saja sampai di depan wastafel, Davira mengeluarkan isi perutnya, namun tidak banyak. Selebihnya hanya rasa mual yang luar biasa.

"Davira! Dav lo gak papa? Lo mau pulang aja?

"Masih kuat kok gue,"

"Yaudah tapi lo makan lagi ya?"

Davira spontan menggeleng, "Gak mau, mulut gue rasanya kayak ada besiii,"

Dahi Kiana mengerut, "Duh apa asam lambung lo udah sampe mulut ya? Usahain makan aja deh ya,"

"Gak mau Kiii. Gak enak,"

Kiana memutar otak. "Tadi lo bawa brownis kan? Masih ada?"

"Ada di kelas,"

"Lo di sini, gue ambilin dulu brownisnya. Sebentar ya, tiduran lagi lo sana," perintah Kiana. Davira mengangguk.

Setelah Kiana pergi, bulir-bulir keringat dingin sebesar biji jagung menghujani kening Davira. Pikirannya lari kemana-mana. Pokoknya pulang sekolah gue harus ke apotek.

oOoOo

Mata Davira mencari-cari keberadaan mobil dan supir keluarganya. Hingga akhirnya dia berhasil menemukan BMW hitam dengan seorang pria berwajah ramah menunggui tepat di sebelah mobilnya.

"Pak Asman," panggil Davira.

"Eh non, ayo masuk kita pulang,"

"Aduh maaf pak, saya ada tugas kelompok pulang sekolah ini. Bapak pulang duluan aja ya, kayaknya saya pulang bareng teman," kata Davira dengan nada lembut.

"Ooh yasudah non, tapi apa enggak sebaiknya saya tunggu saja? Biar non tetap pulang sama saya,"

"Enggak usah pak, gak apa-apa," Davira tersenyum.

Pak Asman terdiam sebentar lalu mengiyakan dan lantas masuk ke mobil. Davira masih di depan gerbang, menunggui mobil yang dikendarai Pak Asman sudah agak jauh.

Saat mobil dan Pak Asman sudah tidak tampak lagi, Davira segera memesan driver di sebuah aplikasi ojol. Sekolah sudah agak sepi sekarang. Tidak lama kemudian seseorang menerima orderan Davira. Mobil agya putih dengan plat kendaraan B 1234 TY.

Driver:
Sebentar ya mbak

Davira:
Iya pak
Nanti kalau ketemu apotek
di jln bisa berhenti sbntr kan pak?

Driver:
Bisa mbak

Selang beberapa menit, mobil tersebut berhenti tepat di depan Davira. Dia maju dan mengetuk kaca mobil. Kaca tersebut turun.

"Mbak Davira?"

"Iya! Pak Haryo?"

"Betul mbak, silahkan naik,"

Davira tersenyum. Sesuai permintaan, mereka berhenti di sebuah apotek tidak jauh dari sekolah. Davira menimbang-nimbang sebentar.

"Pak boleh saya minta tolong?"

"Boleh mbak, kenapa?"

"Bisa tolong turun dan belikan saya tespek?" Ada getar dalam kalimat Davira barusan.

Bapak itu terdiam lalu tersenyum maklum. "Bisa mbak tunggu ya,"

"Oh iya, ini uangnya. Saya gak tau harga tespek berapa," pipi Davira merona karena malu.

"Iya mbak, tunggu ya,"

Davira memperhatikan setiap langkah bapak tersebut. Tidak perlu waktu lama untuk membeli sebuah tespek. Bapak driver sudah kembali dan menyerahkan tespek berbalut plastik hitam tersebut pada Davira.

"Kembaliannya buat bapak aja,"

"Aduh mbak ini kembaliannya banyak banget," keluh si bapak.

"Enggak apa-apa, saya ikhlas,"

Tangan Davira mengelus benda dnegan balutan plastik hitam tersebut. Semoga hasilnya negatif.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang