Duapuluh Enam

12 4 0
                                    

"Cher,"

Archer menoleh, Dovi duduk di sebelahnya, di tempat duduk Ghiza yang sekarang tengah membeli gorengan ke kantin. Archer tidak menyahut hanya menaikkan alis.

"Lo gak tertarik buat nanyain Chiko?" Tanya Dovi.

Archer yang awalnya acuh mendadak tegang. Kenapa lagi Chiko? Tapi hari ini Archer sama sekali tidak melihat batang hidung Chiko? Apa cowok itu di drop out?

"Sebenernya sih enggak, tapi karena lo mancing yaudah. Kenapa lagi dia? Di DO?"

"Iya di DO terus dia masuk rumah sakit gila rahangnya retak! Lo apain goblok anak orang?" Dovi mendorong bahu Archer.

"Lupa gue ngapain dia, emang dia anak orang ya? Gue pikir anak setan," ucap Archer kembali tak acuh.

"Lo anak setan! Bodolah cape gue ngomong sama lo!"

Ghiza datang dan meletakkan satu plastik penuh gorengan di hadapan Archer dan Dovi. Memang di antara mereka Ghiza yang paling loyal. Cowok itu bahkan membuat gestur menawarkan makanan yang tadi dia bawa.

"Kenapa nih? Gue dateng langsung diem," kata Ghiza sesaat setelah menggigit tahu gorengnya.

"Bukan diem Ghi, cuma lagi ngerangkai kata," balas Dovi.

"Najis! Tinggi amat bahasa lo," Ghiza bersungut geli.

"Kita lagi ngomongin Chiko,"

Ghiza langsung tersedak makanannya sendiri. Buru-buru Dovi mengangsurkan sebotol air mineral yang segera di terima Ghiza. Archer mencondongkan badannya, ikut khawatir dengan insiden tersedaknya Ghiza.

Setelah berangsur membaik, Ghiza menghela napas perlahan walau hidungnya masih terasa panas. Kelamaan menunggu, Archer mencomot satu tempe goreng dan memakannya. Enak banget gratisan

"Gila lo Cher! Masuk RS anjir dia, operasi rahang! Untung-untung lo gak disuruh tanggung jawab bayarin rumah sakitnya!" Kata Ghiza.

"Enak aja main bayarin, yang nyebabin dia masuk RS ya dia sendiri. Kok gue yang tanggung jawab?" Archer menghembuskan napas jengkel.

Awalnya masih ingin menghujat, namun getat ponsel membuat Archer mengurungkan niatnya. Sebuah pop up  pesan masuk dari Papanya.

Papa:
Pulang sekolah ke kantor papa

Archer mengerutkan kening. Tanpa banyak bertanya, dia langsung mengiyakan saja permintaan papanya. Lagipula jarang-jarang Michael meminta Archer datang langsung ke kantor, itu artinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Apakah hal penting itu Archer sendiri tidak tahu.

oOoOo

Sudah lama Archer tidak main ke kantor Michael. Beberapa staf mengangguk ramah pada Archer yang hanya dibalas senyum sekilas. Bagaimana tidak kenal jika foto Archer bersama Michael, Amanda, dan Laras terpajang besar-besar di ruang kerja Michael yang notabene selalu dimasuki oleh setiap karyawan?

Archer dapat akses masuk khusus hingga tidak perlu izin jika ingin masuk ke ruang Michael. Saat dia datang, Michael tampak sedang berbicara dengan beberapa orang pria. Melihat kedatangan Archer, mereka segera membubarkan diri.

"Sini," Michael menatap Archer sebentar lalu kembali menatap berkas dalam tangannya.

"Kenapa?"

"Berhubung kamu sudah menikah, papa tidak berkewajiban lagi untuk membiayai kamu dan Davira," sama seperti Archer, Michael sangat tidak suka basa basi.

"Lalu?"

"Mulai lusa kamu kerja sebagai asisten pribadi papa, sekaligus mengenalkan kamu dengan dunia yang nanti akan kamu geluti," Michael memutar kursinya, menatap ke arah luar. Hamparan langit biru dan gedung-gedung yang ada dibawah kaca jendela ruangannya.

"Lusa? Papa bercanda, Archer belum lulus SMA," Archer menatap kemeja putih, rompi, dan celana abu-abu yang melekat di tubuhnya.

Michael menghela napas, "Berani berbuat berani bertanggung jawab Archer. Kamu menikahi Davira, berarti lahir batinnya adalah tanggungan kamu. Kamu juga akan papa gaji, anggap kita ini partner kerja,"

Archer diam, dia mengacak rambutnya sendiri. Kini dia ikut merasa kelimpungan. Sekolah saja sudah menyiksa, apalagi jika dia terjun ke dunia kerja. Michael menatap Archer, putra semata wayangnya yang harus menanggung beban berat di usia tujuh belas tahun.

"Kamu keberatan?" Tanya Michael.

"Archer mau, apapun asal Archer sama Davira bisa mandiri dan enggak menyusahkan Papa," kata Archer tegas.

"Papa tahu kamu masih belum sepenuhnya ikhlas. Papa kenal kamu Archer, papa mengerti kalau kamu masih ingin main-main bersama temanmu. Tapi status mu bukan cuma remaja sekarang," Michael manatap Archer. "Kalau butuh rehat, bilang saja. Jangan ragu, Papa bakal mengerti,"

Archer mengangguk patuh walau sebenarnya dia lumayan takut juga. Archer tidak akan menyangkal jika dia masih sebatas remaja ingusan yang entah bagaimana bisa menjadi seorang calon ayah.

"Apa kalau Archer ngelakuin kesalahan bakal kena sanksi juga?" Tanya Archer.

Michael mengangguk pasti, "Ada sanksinya, sebagai efek jera untuk kamu jangan mengulangi kesalahan yang sama,"

"Archer mesti tiba di sini jam berapa? Pulang jam berapa?"

"Sepulang sekolah kamu ganti baju dulu dan langsung ke sini. Untuk jam pulang papa belum bisa pastiin, pakai kemeja,"

"Iya, paham. Kalau gak ada lagi Archer izin pulang,"

"Kamu gak mau makan dulu bareng papa? Kita ke kantin bawah aja, sekalian tour bisa kamu gak nyasar,"

Archer tertawa, "Sebelum masuk sekolah Archer mainnya di sini, gimana ceritanya bisa nyasar,"

Michael ikut tertawa, "Jadi makan siang bareng?"

"Jadi dong!"

oOoOo

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang