Duapuluh Tujuh

10 4 0
                                    

Ini sore terakhir yang  bisa Archer habiskan untuk Davira sebab besok Archer harus ke kantor Michael untuk bekerja. Atas permintaan Davira, mereka pergi ke Gramedia namun kali ini naik motor.

"Serius kamu gak apa-apa naik motor?" Tanya Archer sekali lagi.

Davira menautkan tali helmnya, "Aku cuma hamil Archer bukan habis operasi,"

Agak ragu awalnya, namun melihat Davira yang santai saja membuat Archer meyakinkan dirinya. Tanpa disuruh, Davira melingkarkan tangannya di perut Archer.

Motor milik Archer membelah jalanan padat sore hari menuju Gramedia yang letaknya lumayan jauh. Sekitar lima belas menit perjalanan dan untungnya mereka tidak terjebak macet.

Archer merasa dengan jelas bagaimana perut Davira yang sudah lumayan besar nempel begitu saja di punggungnya. Rasanya seperti ada kesenangan sendiri terutama saat Archer merasakan sebuah tendangan kecil di lampu merah.

"Archer!" Davira memekik tertahan di sebelah telinga Archer.

"Ya?"

"Ngerasa gak? Dia nendang Archer! Dia nendang! Dia respon aku!" Davira menutup mulutnya saking senang dan takjub.

Archer mengelus lutut Davira sesaat dan melanjutkan perjalnan. Mereka sampai di parkiran Gramedia. Atas inisiatif sendiri Archer membukakan helm Davira. Tubuh mungil Davira tampak lebih mungil akibat jaket yang dia kenakan untuk menutupi perutnya.

Sebelum masuk tidak lupa Archer menggenggam tangan Davira. Mengikuti kemanapun Davira pergi, ikut membaca satu persatu sinopsis buku yang Davira pegang bahkan menuliskan nama mereka di sebuah kertas untuk mengetes pulpen.

Archer, Davira, baby X, tulis Davira. Sampai sekarang mereka belum punya gambaran tentang siapa nama bayi yang dikandung Davira. Hanya saja sekarang Archer diam-diam mencari nama untuk calon jagoan kecilnya itu.

Saat memutari rak demi rak, Davira melihat sebuah novel yang menarik perhatiannya. Sebuah novel berisikan lima puluh kisah dongeng dari mancanegara. Sejak dulu Davira suka membaca kisah-kisah mancanegara, bukannya tidak menyukai kisah lokal, tapi menurut Davira sebagian besar kisah lokal mengandung hal-hal gaib yang terkadang membuatnya takut sendiri.

"Archer, aku beli ini aja kali ya?" Tanya Davira.

"Kok dongeng?"

Davira menggeleng, "Aku tiba-tiba maunya ini aja,"

"Yaudah,"

Davira membawa novel tersebut dan membayarnya. Setelah itu Archer tidak langsung mengajaknya pulang. Mereka mampir terlebih dahulu ke sebuah kedai ea krim gelato.

Jarak dari Gramedia menuju gerai es krim tidak begitu jauh, tapi harus ditempuh menggunakan motor. Kedai ini juga menjual berbagai macam olahan roti dan kopi, lebih tepat di sebut kafe sebenarnya. Namun yang membuat kafe ini terkenal adalah es krimnya.

Saat masuk, bel di depan pintu akan berdentang karena bersenggolan. Davira menyukai hal itu. Interior bertema vintage di kafe ini juga memanjakan mata. Sebagian besar pengunjung kafe adalah sepasang muda mudi yang tengah berkencan, jadi Davira merasa agak sedikit leluasa.

"Mau pesan apa?" Tanya Archer.

"Aku mau gelato rasa matcha!" Jawab Davira.

Arche mengangguk kemudian memanggil seorang waitress, "Matcha gelato satu, cokelat satu,"

"Baiklah ditunggu,"

"Makasih," kata Davira saat waitress itu akan berlalu.

"Aku takut Dav," Archer menatap Davira.

"Takut kenapa?"

"Besok, aku takut semuanya gak berjalan sesuai perkiraan aku. Papa, kantornya, dan apapun lah itu, aku ngerasa belum siap aja Dav," keluh Archer, dia menghela napas. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu di depan Davira.

Davira tersenyum dan menggenggam tangan Archer. "Kita sama-sama takut dan belum siap, jadi kita lewatin ini sama-sama,"

Percakapan mereka terpotong karena waitress tadi datang kembali mengantarkan pesanan mereka. Sesaat setelah ucapan terima kasih dari Davira, dia berlalu.

"Sekarang aku mikir, kalau kejadian ini tuh pelajaran berharga banget buat aku. Buat kita. Bukan semata-mata 'kecelakaan' kayak yang selama ini orang-orang bayangin. Kita jadi bisa ngerasain apa yang belum bisa teman seumuran rasain, ngerasain gimana perjuangan orang tua kita. Ya emang sih berat, tapi bukan berarti kita enggak bisa kan?" Kata Davira setelah menelan satu sendok es krim.

"Makasih Dav, harusnya aku yang bilang begitu," Archer tersenyum kaku. "Sekarang ketakutan aku bertambah,"

"Bertambah kenapa?"

"Aku takut kehilangan kamu,"

Davira tersenyum miris, "Kamu harus siap. Kita harus siap. Kita bisa kehilangan siapa aja dan kapan aja kan? Archer, kehamilan ini risikonya besar. Aku kadang takut jadi sendiri,"

"Aku bakal ngusahain apa aja asal kalian berdua selamat, aku janji," Archer menyelipkan anak rambut Davira ke begian belakang telinga.

"Tapi kalau nanti ada apa-apa, prioritas kamu adalah bayinya bukan aku,"

"Kalian bakal baik-baik aja, kalian harus baik-baik aja," Archer tersenyum, mencoba mengembalikan binar indah pada tatapan kosong Davira. "Makan lagi es krimnya,"

Davira mengangguk. Lagi-lagi, dia merasa tidak sendiri. Ada Archer. Cowok itu sudah berjanji kan?

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang