Enam Belas

19 5 0
                                    

Peralatan tempur kecil-kecilan menghiasi meja rias kamar Davira. Dia kembali lagi ke rumahnya entah sampai kapan. Malam ini orang tua Archer akan datang bertamu sekaligus melamar Davira. Segalanya menjadi serba mendadak karena usia kandungan Davira yang terus bertambah.

Pintu kamar Davira diketuk. Bi Imas masuk ke kamar Davira dengan senyuman khasnya. Davira membalas senyum Bi Imas. Perempuan setengah abad itu mengelus bahu Davira.

"Yang kuat ya, petik hikmahnya. Bibi sayang banget sama Davira, kamu udah bibi anggap kayak anak sendiri. Sekarang keluar ya, keluarga cowoknya udah datang," kata Bi Imas lembut.

"Makasih ya Bi, Davira juga sayang sama bibi," Davira memeluk Bi Imas spontan. "Doain ya Bi. Doain biar dosa-dosa Davira diampuni, doain biar semuanya lancar, doain supaya Mama sama Papa bisa buka hati mereka,"

"Bibi selalu doakan Davira,"

"Makasih banyak bi, yuk temenin Davira turun,"

Bi Imas hanya mengangguk. Davira berjalan berdampingan bersama Imas sampai ke ruang tamu. Davira duduk di antara Fadli dan Monika sedangkan Archer di antara Michael dan Laras.

Davira bisa melihat dengan jelas bagaimana Fadli masih memendam emosi terhadap dirinya dan Archer. Monika sendiri tampak tidak banyak berkomentar, tapi kantung mata tercetak jelas di wajah ayunya. 

"Jelaskan apa tujuan kalian datang ke sini," kata Fadli.

"Kita datang untuk melamar dan membicarakan pernikahan antara anak saya dan Davira, anak bapak," pertakaan Michael membuat jantung Davira seolah berhenti berdetak.

Davira mendongan menatap Archer. Cowok itupun tampak sama terkejutnya. Namun Michael tetap maju tanpa memperhatikan perubahan raut dari dua orang yang menjadi pokok bahasan pada malam ini.

"Begini, malam ini anak saya akan melamar Davira. Bagaimana Davira? Diterima?" Michael menatap Davira.

"Davira enggak mungkin bisa menolak," ketus Fadli.

"Baik kalau begitu, Archer,"

Archer segera mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru merah dan membukanya. Sebuah cincin platina bertabur berlian dari Tiffany&Co. Archer meletakkan cincin itu di atas meja.

"Ini cincin pertanda kalau saya dan Davira sudah bertunangan," kata Archer.

Laras menyenggol lengan Archer, "Kok di taroh sih?" Bisiknya.

"Terus?"

"Dipasangin dong, kamu gimana sih?"

"Ooooh, hehe," Archer menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Malah ketawa, sana!"

Archer mengambil kembali cincin tersebut dan membawanya menuju Davira. Setelah berucap "permisi" pada Monika dan Fadli, Archer memasangkan cincin tersebut di jari manis Davira.

Sangat pas. Cincin tersebut seperti sudah di desain khusus untuk Davira agar tidak terlalu mencolok namun tetap terkesan mewah dan sangat indah.

Archer kembali duduk di antara Michael dan Laras. Tampak Laras yang tersenyum melihat wajah canggung Archer. Baginya Archer tampak lucu dengan wajah canggung dan bibir sedikit pucat karena tegang. Masih teringat benar dalam benaknya bagaimana Archer kecil yang selalu berlarian di halaman belakang rumah lama mereka, kini dia dipaksa menjadi dewasa atas perbuatannya sendiri.

"Jadi untuk rencana pernikahan, akan diadakan kapan?" Tanya Michael.

"Bagaimana kalau minggu depan hari sabtu? Mereka tidak sekolah juga kan?" Fadli melirik Davira.

"Archer setuju?"

"Setuju,"

"Saran saya pernikahan mereka diadakan saja di rumah saya. Saya pastikan tidak akan ada yang datang kecuali kalau mereka ingin mengundang beberapa teman terdekat," papar Michael.

"Saya setuju, saya yang akan segala menyiapkan surat-surat. Saya pastikan sebelum hari sabtu sudah akan beres," kata Fadli.

"Baik, saya akan menyiapkan segalanya di rumah saya,"

Fadli dan Monika mengangguk setuju.

oOoOo

"Ki, sabtu depan gue nikah,"

"Gue gak tahu harus senang atau sedih,"

"Senang dong! Lo gak boleh sedih," Davira tersenyum sembari menatap layar Macbooknya.

"Gimana gue gak sedih kalau yang menyebabkan lo begini adalah gue!" Di ujung sana Kiana mulai menangis.

"Kia, gue udah menerima kondisi gue yang sekarang. Lo juga harus belajar dong buat nerima kondisi gue," kata Davira, berusaha menenangkan Kiana.

"Yang harusnya ngomong begitu tuh gue Dav! Gue yang harus nyemangatin lo, bukan lo. Gue gak berguna banget ya jadi teman,"

"Jangan ngomong gitu ah! Pokoknya Sabtu depan lo harus dateng! Sekalian dandanin gue ya hehe,"

Kiana menghapus air matanya dan ikut tertawa. "Gue pasti dandanin lo. Pokoknya hari itu lo harus jadi cewek paling cantik yang pernah Archer lihat,"

"Ih apasih!" Davira tertawa geli.

"Dav, lo enggak mual-mual lagi? Atau ngidam misalnya?"

Davira diam, mengingat-ingat kembali apakah dia pernah punya keinginan macam-macam atau tidak. Tapi seingat Davira, dia sudah tidak mual lagi setelah  beberapa hari sejak kehamilannya terdeteksi.

"Enggak sih. Dia pengertian banget sama posisi ibunya," senyum rapuh membingkai wajah Davira.

Tidak lama kemudian sambungan skype mereka berhenti sebab Kiana dapat kiriman paket. Davira tidur terlentang di atas kasur. Setelah menikah nanti semua pasti akan berubah dan Davira berharap dia siap dengan segala perubahan yang terjadi.

Ada banyak hal yang harus Davira syukuri di tengah kepelikan hidupnya sekarang. Setidaknya, dia harus bersyukur karena Archer masih mau bertanggung jawab dan kehadirannya diterima dengan baik oleh Laras. Davira juga bersyukur atas kehamilannya saat ini, karena ada banyak sekali pasangan di luar sana yang tidak bisa memiliki keturunan.

Kamu kuat Davira. Kamu bisa. Kamu harus bisa.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang