Delapan

17 6 0
                                    

Davira  terdiam sambil menghela napas. Menyiapkan mental untuk membalik tespek dan melihat hasilnya. Jantung Davira berdetak lebih cepat tiga kali lipat. 
Dia melihat pantulan wajahnya di wastafel. Wajah frustasi lengkap dengan keringat dingin yang membanjiri.

Sungguh, Davira tidak pernah siap untuk hal ini. Dalam hati Davira menghitung dari satu sampai tiga. Satu... dua... tiga.... Tangan Davira bergerak perlahan dan menyentuk tespek tersebut. Pasti, Davira membalik tespek dan dunianya runtuh seketika.

Dua garis tercetak jelas. Keduanya sangat jelas. Davira langsung terduduk lemas dengan kedua tangan bergetar, langit di atas kepalanya terasa runtuh. Tangisnya pecah. Davira mengacak-ngacak segala sesuatu yang ada di permukaan wastafel. Sesuatu yang paling dia takutkan terjadi. Davira sangat tidak siap untuk ini.

Gue harus gimana? Siapa yang harus gue kasih tahu? Archer?

Jemari Davira yang bergetar berusaha kuat untuk mencari ponsel yang tadi dia taruh dekat wastafel. Jemari Davira berhasil meraih ponsel, dia lalu membuka aplikasi Line dan mencari nama Archer.

Davira Friska:
Sending a location
Ini rmh gw, sebelah kanannya ada
taman. Bisa lo ke sana? Gw tunggu

Pesan tersebut tidak langsung terbaca oleh Archer, tapi Davira langsung memakai hoodie dan berjalan menuju taman sebelah rumahnya.

Sore ini taman kecil ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja. Davira memilih untuk duduk di sebuah ayunan agak besar yang mampu menampung sebanyak dua orang dewasa.

Wajah muram Davira tersamarkan dengan hoodie. Ponsel Davira bergetar, sebuah pesan masuk dari Archer.

Archer Hill:
Gw di taman
Lo yg pake hoodie abu bkn?

Davira Friska:
Iya, samperin aja lgsg

"Dav?"

Davira menoleh. Sesaat, Davira kehilangan fokus. Archer tampak mengesankan walau hanya menggunakan kaus hitam dan celana panjang berwarna senada.

"Cher, duduk,"

Archer mengangguk, dia duduk di depan Davira. Tanpa membuang waktu, Davira meraih sesuatu di balik saku hoodie dan memberikannya kepada Archer.

Raut wajah Archer seketika berubah ketika melihat benda kecil dalam genggamannya. Dia lantas menatap lamat-lamat wajah lusuh Davira beserta mata sembabnya.

"Dav ini..."

"Iya Cher," tangis Davira kembali pecah. "Lo percayakan kalau ini anak lo?"

"Gue percaya Dav," Archer menghempaskan tubuhnya ke belakang.

"Kita harus gimana Cher? Gue takut... gue takut," isakan Davia terdengar memilukan di telinga Archer. "Lo enggak mau gugurin anak ini kan?"

"Gue enggak sejahat itu Dav. Gue udah sangat berdosa dengan menyebabkan kehamilan ini, gue enggak mau menambah dosa lagi."

Archer meraih kedua tangan Davira dan menggenggamnya. Dia dapat merasakan kedua tangan itu dingin dan bergetar. Archer tidak bisa berhenti mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menghancurkan gadis serapuh Davira?

"Gue di sini Dav. Pegang ucapan gue,"

"Cher, gue bingung gimana caranya buat kasih tahu orang tua gue. Gimana ngasih tau mereka kalau ini semua tuh kecelakaan," Davira menatap Archer gelisah.

"Kita bakal urus itu nanti Dav, tapi mulai sekarang kita enggak bisa lagi saling jauh-jauhan,"

"Jangan kasih tau siapa-siapa dulu ya tentang ini. Gue takut. Gue jahat. Kiana... Kiana suka sama lo! Tapi gue..." tangis Davira kembali pecah.

"Dav, dengar gue. Jangan merasa bersalah atas siapapun," Archer mengangkat dagu Davira. "Kita rahasiain kehamilan lo buat sementara sampai kita berdua siap. Tapi janji untuk jangan terlalu lama,"

Archer mengangkat jari kelingkingnya ke depan wajah Davira. Cowok itu tersenyum meyakinkan. Perlahan, Davira menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Archer.

"Mau jalan-jalan sebentar? Temani gue beli minum di mini market dekat sini," aja Archer.

Bimbang, Davira mengangguk ragu. "Ayo,"

Sebenarnya jarak dari taman ke minimarket hanya sekitar dua puluh lima meter, tapi entah kenapa Davira merasa sangat kelelahan sampai harus duduk dulu di kursi depan minimarket.

Archer yang paham masuk sendiri dan membeli beberapa barang yang dia inginkan. Perlahan, napas Davira mulai stabil hingga seseorang menyodorkan sekotak susu cokelat kepadanya. Archer.

"Makasih,"

"Anytime,"

Bibir Davira sedikit terbuka saat melihat bagaimana lahapnya seorang Archer memakan sebuah es krim. Davira mengerucutkan bibirnya dan kembali meletakkan kotak susunya.

"Kenapa Dav?" Tanya Archer.

"Mau es krim juga," 

Kening Archer mengerut menggambarkan ketidaksetujuan. "Emang boleh? Enggak ah nanti kenapa-kenapa lagi,"

"Jahat!" Davira membenamkan wajahnya dilipatan tangan. Bahunya mulai bergetar.

"Dav? Lo nangis?" Archer mengelus kepala Davira.

"Jangan pegang! Gak suka dipegang orang pelit!" Davira menggeser kepalanya.

Bukannya tersinggung, Archer malah tertawa dan membuang sampah bekas es krimnya. Mendengar suara tawa Archer, Davira mengangkat kepalanya dan mengelap sisa air mata menggunakan lengan hoodie yang kepanjangan.

"Kenapa ketawa?! Ada yang lucu emang?!" Tukas Davira galak. Mata bulatnya ikut membesar.

Archer menggigit pipi bagian dalamnya hingga perih lalu mencubit pipi Davira. "Lo kok cute banget sihhh?"

Davira menangkis tangan Archer dan menatap sebal cowok berbibir pink alani di depannya itu. Archer menaikkan sebelah alis sembari menahan senyum.
Masih dengan tatapan yang sama, Davira mengelus pipi yang tadi dicubit Archer.

"Kenapa dielus? Mau gue cubit lagi hah?"

"Enggak! Ini biar cap tangan Archer hilang,"

Archer tersenyum tipis, "Yuk pulang,"

Davira mengangguk patuh. Gadis itu tidak sadar jika sepanjang perjalanan pulang Archer merangkulnya dan menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang