Sepuluh

18 6 0
                                    

Davira menatap baju seragam olahraga kebesaran milik Archer yang melekat di tubuhnya. Sangat mencurigakan. Tapi dia tidak punya pilihan lain, baju olahraganya sudah cukup sempit. Kini, perut Davira mulai agak maju.

Hari ini ada mata pelajaran olahraga dan Davira satu-satunya siswi yang masih tersisa di ruang ganti. Cara mengakali ukuran baju yang super kebesaran ini adalah dengan memasukkan bajunya ke dalam celana. Masih kebesaran tapi lumayan membantu.

Davira menebalkan muka saat orang-orang menatapinya dengan aneh. Tidak apa-apa terlihat seperti orang-orangan sawah, asal tidak ada yang curiga akan perubahan mendadak bentuk tubuhnya.

Davira menyusul dan masuk ke dalam barisan untuk melakukan pemanasan di sebelah Kiana. Baju kebesaran dan kuncir rambut yang acak-acakan membuat Davira tampak menggemaskan dan terlihat beberapa tahun lebih muda. Kiana kembali mengutuk dirinya. Kenapa harus Davira?

"Dav? Lo oke kalau ikut olahraga begini?" Bisik Kiana.

"Enggak apa-apa justru malah makin sehat," Davira tersenyum menanggapi. "Gue baca artikel, olahraga baik untuk ibu dan bayi,"

Tanpa beban. Davira mengatakannya sembari membenarkan ikat rambut. Kiana mencoba untuk tersenyum. Kenapa dia jadi merasa sangat hancur? Padahal Davira sendiri 'tampak' baik-baik saja?

Suara peluit membuat mereka terkejut. Segera anak-anak murid kelas XI A berkumpul mengelilingi Pak Cipto selaku guru olahraga.

"Lari keliling lapangan tiga kali! Cepat!"

Mendengar perintah tersebut. Kiana langsung memosisikan diri di sebelah Davira. Di antara yang lain lari mereka paling lambat, ini atas perintah Kiana.

Setelah tiga putaran, siswi dipersilahkan untuk duduk sedangkan siswa melakukan pengambilan nilai bulu tangkis. Kiana memberikan botol air miliknya kepada Davira.

"Gue bawa juga loh Ki tapi di kelas," tolak Davira.

"Udah minum aja lo capek banget itu kelihatannya," paksa Kiana.

Akhirnya, Davira menerima botol tersebut dengan setengah hati. Namun saat hendak membukanya, seseorang menyodorkan botol air milik Davira. Archer. Siulan-siulan menggoda berseliweran, siapa lagi kalau bukan antek-antek Archer, Chiko, Ghiza, dan Dovi.

"Pepet terooos Cher! Jangan kasih kendor!"

"Gak mau di suapin sekalian minumnya?"

"Gilaaa, meleleh gue liat senyuman ceweknya Archer. Eh?"

Davira tertawa sedangkan Archer menatap tajam ketiga temannya. Davira meraih botol airnya dan mengucapkan terima kasih, anehnya Archer tidak kunjung pergi.

"Kenapa masih disini?"

"Lo gak suka liat gue disini?"

Dapat jawaban skakmat seperti itu, Davira mengatupkan bibirnya dan memalingkan wajah. Archer terkekeh, dia berlutut di depan Davira untuk mencubit hidung cewek itu.

"Gue bakal pergi asal lo minum airnya," Archer membukakan tutup botol air Davira.

"Iya ini gue minum!" Davira meneguk airnya. "Udah sana lo pergi!"

"Kalo gue masih mau di sini gimana?" Goda Archer.

"Heh Archer! Kamu pelajaran siapa? Mau saya laporin? Sana balik ke kelas!" Tegur Pak Cipto.

"Iya pak, maaf," Archer tersenyum geli lalu kabur setelah mengacak rambut Davira.

Sadar rambutnya berantakan, Davira hanya mampu menahan kesal atas perbuatan Archer dan marapikan kembali rambutnya. Kiana duduk kembali di sebelah Davira. Cewek itu menggelengkan kepala takjub atas perbuatan Archer.

"Itu barusan Archer? Archer yang serem mukanya?"

"Lo pacaran sama dia Dav?"

"Jangan-jangan lo lagi yang ngobrol sama Archer waktu tanding basket itu?"

Berbagai pertanyaan menghujani Davira. Langkah terbaik yang diambil Davira adalah bungkam dan tersenyum atas semua pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Biarlah orang menganggap mereka pacaran untuk sementara waktu, tidak apa-apa.

Kiana menepuk paha Davira, membuyarkan lamunan cewek itu. Kiana lantas menganggukkan kepala dan menggenggan erat tangan Davira. Seolah meyakinkan kalau di sini Davira tidak sendirian.

Melalui gerakan yang dibuat Kiana, Davira semakin merasa kalau dia tidak baik-baik saja. Maka Davira menyandarkan kepalanya di bahu Kiana dan menghela napas satu persatu.

Kini giliran siswi yang maju untuk pengambilan nilai. Mereka diminta untuk mencari satu teman sebagai lawan. Davira sudah pasti memilih Kiana.

"Lo mainnya santai aja ya, nanti kalau kecapekan gue diomelin Archer lagi!" Bisik Kiana.

"Iyaaa Kiana sayang,"

Dibanding dengan kelompok lain, permainan mereka yang paling santai. Kiana bahkan sengaja membiarkan Davira mencetak poin atas dirinya.

"Kiana yang serius! Gue oke kok!" Teriak Davira sembari mengacungkan jempolnya.

Kiana tidak menjawab, namun dia menuruti perkataan Davira. Intensitas pukulan mereka bertambah bahkan sesekali Davira agak kewalahan. Jujur, awalnya Kiana khawatir namun melihat wajah bahagia Davira, kekhawatirannya sirna.

Poin terbesar dimenangkan oleh Kiana. Mereka di persilahkan duduk kembali oleh Pak Cipto untuk diberikan sedikit materi lagi tentang bulu tangkis. Davira mendengarkan dengan serius sambil meminum airnya. Perlahan dia mencondongkan badan ke arah Kiana.

"Kia, jangan perlakuin gue terlalu beda. Gue hargain itu, tapi sekarang fisik gue masih sekuat dulu,"

Kiana menjawab, "Oke maaf ya,"

Dan saat di saat itulah mereka saling berbohong satu sama lainnya.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang