Pagi-pagi sekali Archer sudah datang ke apartemen Laras. Jadilah mereka sarapan dulu, menyantap roti lapis buatan Laras disertai obrolan-obrolan hangat antar ibu dan anak laki-lakinya yang sudah dua minggu ini tidak bertemu.
Tidak lupa mereka juga membahas sedikit tentang pertemuan nanti malam dengan orang tua Davira. Hanya sedikit, mereka tidak mau pagi ini menjadi kacau gara-gara membicarakan masalah berat.
"Kalian ini satu kelas?" Tanya Laras.
"Enggak Tante. Davira di A, Archer di C,"
"Wah pinter dong ya? Tiru tuh Davira, belajar jangan main terus! Davira sudah pernah ikut olim nak?"
"Udah Tante, terakhir olimpiade sains sampai ke Inggris," kalimat Davira dibumbui senyum getir. Masihkah ia mendapat kesempatan yang sama dengan kondisi seperti ini?
"Hebat banget sih kamu! Kalau itu Archer, langsung deh Tante bikinin hajatan. Bener tante gak bohong," Laras mengelus rambut Davira dan menjewer telinga Archer.
"Sakit Ma," Archer mengaduh.
"Biarin, tangan ini pernah mama pake megang Davira. Siapa tahu pinternya nular,"
Merasa tergelitik, Davira terdorong untuk bertanya. "Memang nilai-nilai Archer gimana Tante?"
"Nilai dia? Wuih gak repot-repot Tante sih, nyampe delapan aja udah girang banget," Laras tertawa renyah sedangkan Archer menekuk wajahnya. Merasa direndahkan.
"Kan kan. Ngambek dia Dav. Ini anak gak boleh banget diledekin! Pundungannya minta ampun! Capek tante, kalau boleh tuker, udah dituker sama tetangga lama tante!" Laras mengacak rambut Archer gemas.
Archer hanya berdecak dan menatap arlojinya. Sudah hampir setengah tujuh. Dia pun segera menyelesaikan sarapan agar tidak terlambat masuk sekolah.
"Udah siang nih, yuk Dav,"
"Bawa dulu ini buat bekal," Laras tampak memasukkan beberapa roti ke dalam sebuah kotak bekal. "Ini mama bawain empat, ambil nanti di Davira,"
"Makasih Tante!" Davira mencium punggung tangan Laras bergantian dengan Archer.
"Sama-sama, belajar yang bener ya!"
"Dah ma,"
Mereka berjalan beriringan menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Davira menatap Archer dalam diam. Menimbang-nimbang apa dia memang harus bertanya tentang si cewek bernama Amanda itu atau tetap diam?
Tapi memang dasar Davira yang selalu penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk bertanya saat mobil Archer sudah membelah jalanan.
Jika dilihat dari raut wajah, mood Archer terlihat sedang baik-baik saja. Baiklah, Davira akan mencoba peruntungannya pada pagi hari ini.
"Cher,"
"Hm,"
"Lo... punya kakak? Atau adik gitu?" Tanya Davira hati-hati.
Archer menurunkan kecepatan mobilnya secara perlahan lalu menatap Davira sebentar. "Lo tidur di mana semalam?"
"Di kamar lo," suara Davira turun satu oktaf.
"Apa yang lo temuin?" Pertanyaan ini bagai tembakan tepat sasaran.
"Foto gue,"
"Dan..."
"Dan?"
"Gue yakin bukan cuma itu," tatapan Archer berubah dingin.
Davira menghela napas sebentar. Memalingkan wajah sembari menyusun kata-kata yang tepat. Kenapa Archer tiba-tiba berubah seperti ini disaat Davira sudah yakin jika mood Archer tadi baik-baik saja?
"Gue nemuin buku dari Amanda,"
"Opini lo?"
Davira diam. Ini trik Archer? Mengumpaninya dengan berbagai pertanyaan untuk melihat bagaimana Davira memandang sesuatu yang dia temukan? Baiklah.
"Menurut gue dia adik lo dan dia mirip banget sama gue. Apa dia ada hubungannya dengan kejadian malam itu?" Dengan sisa keberanian, Davira menatap Archer.
Nyatanya, sisa keberanian Davira lenyap saat Archer menepikan mobilnya dijalanan. Jantung Davira berdebar kencang saat itu juga.
"Apa lo gak bisa tinggal diem dan jangan bongkar apapun?" Tanya Archer ketus.
Davira mencondongkan tubuhnya ke arah Archer. Tidak ada waktu untuk takut. "Apa lo gak bisa tinggal jawab pertanyaan gue?"
"Dia adik gue dan dia mirip sama lo, apa itu cukup?"
"Dan lo pakai adik lo sebagai pelampiasan nafsu lo?" Tukas Davira.
Brak!
Archer memukul dasbor mobil. "JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG!"
Napas Davira naik turun seirama dengan air mata yang mulai menggenang. Dalam hidup, bisa dihitung menggunakan jari berapa kali Davira dibentak. Davira menunduk lalu menoleh ke arah jalan.
Menyadari betapa bodohnya dia dalam mengontrol emosi, Archer langsung merasa bersalah. Harusnya dia tahu jika dalam kondisi hamil perasaan Davira jadi jauh lebih sensitif.
"Dav, gue–"
"Bisa kita lanjut jalan? Kita selesain ini nanti, gue masih mau belajar,"
"Oke,"
Archer memilih untuk menurut walau isak tangis dan bahu Davira yang berguncang membuatnya kehilangan konsentrasi. Memilih mengesampingkan permintaan Davira, Archer kembali menepikan mobilnya.
Hening. Davira menghentikan tangisnya perlahan sembari terus membuang pandangan. Archer duduk menyamping menghadap Davira.
"Kenapa berhenti? Keganggu ya dengar gue nangis? Gue bakal berhenti kok," Davira mengelap air matanya namun masih tidak mau menatap Archer.
"Dav gue minta maaf. Gue salah, gue bodoh gak bisa nahan emosi. Maafin gue yah Dav," Archer mengelus telapak tangan Davira.
"Udah minta maafnya? Kita udah hampir telat ini," perlahan, Davira mulai menatap Archer.
"Dav–"
Davira mengangkat telapak tangannya. "Lanjut jalan Cher, nanti aja,"
"Kalau itu mau lo,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated
RomantizmTentang Davira dan mahkotanya yang hilang. Tentang Davira dan mimpi-mimpinya yang pupus. Tentang Davira dan sayap-sayapnya yang patah. Lo berhak bahagia atas hidup lo sendiri. Lo berhak mencintai diri lo sendiri enggak peduli sehancur apapun hidup...