Duapuluh Delapan

30 4 0
                                    

Langkah lebar Archer menuntunnya ke ruangan Michael. Dia sudah menggunakan setelan kemeja khas pegawai kantoran. Sebenarnya dia benci menggunakan setelah begini, baginya itu membuatnya terlihat cupu dan terkekang.

Michael tersenyum melihat kedatangan Archer. Putranya berpenampilan jauh lebih rapi dibanding ekspektasinya, hanya rambut saja yang masih menjadi permasalahan. Tapi tidak apa-apa, Michael memaklumi hal itu.

"Bagus," puji Michael.

"Archer gak suka pakai setelan begini," kata Archer.

"Paksain, kamu keren pakai kemeja," Michael terkekeh melihat ekspresi jengah Archer. "Jangan panggil Papa saat jam kantor,"

"Oke emm... Pak,"

Michael tersenyum lalu menjelaskan secara rinci tugas-tugas Archer. Sebagai asisten pribadi, tentu saja Archer wajib tahu seluruh jadwal kegiatan, apa saja yang dibutuhkan Michael, dan segala tetek bengek urusan Michael.

"Ini... udah mulai kerja belum?" Tanya Archer ragu.

"Kenapa memang? Kamu mau komplain?" Terka Michael, Archer terkekeh. "Komplain apa?"

"Ini kerjaan asisten pribadi? Ini namanya kacung," celetuk Archer.

Bukannya marah atau tersinggung Michael malah tertawa, "Kamu benar, tapi ada alasannya kamu papa jadikan asisten pribadi. Di antara yang lain, posisi asisten pribadi paling dekat dengan CEO. Papa mau kamu mengerti tugas-tugas papa karena kelak kamu yang akan menggantikan papa,"

"Yaaa... oke,"

"Sudah? Tidak ada lagi komplain?"

"Oke udah,"

"Kita mulai sekarang,"

Archer mengangguk dan memulai tugasnya. Tugasnya asisten pribadi rangkap sekretaris. Selain itu dia juga menjadi penghubung antara Michael dan para karyawannya.

Itu yang membuat Archer kesal, beberapa karyawati ada yang dengan sengaja melampirkan beberapa berkas rumpang hanya karena ingin melihatnya. Padahal itu hanya akan merepotkan mereka karena harus merevisi lagi dan merepotkan Archer karena waktunya harus terpotong mengurusi hal yang seharusnya tidak menguras waktu dan emosi. 

Sabar Archer, sabar. Pas turun langsung ke lapangan pasti bakal lebih banyak yang menyebalkan. Ini bukan apa-apa. Archer menghembuskan napas perlahan menguatkan dirinya agar jangan tersulut emosi. Tidak apa-apa.

oOoOo

Mejelang malam, Papanya ada pertemuan mendadak sekaligus makan malam dengan perusahaan lain. Archer menghela napas panjang. Michael menepuk pundaknya, memberi kode agar Archer mengikutinya.

"Kamu duduk di sebelah saya," perintah Michael. Archer mengangguk.

"Kenapa? Kesal diganggu karyawati saya?" Goda Michael.

"Ya gitu deh," jawab Archer sekenanya.

"Kamu saya perbolehkan istirahat sebentar saat saya ada pertemuan. Kita berpisah waktu pertemuan," kata Michael.

Archer mengangguk saja tanpa perlu banyak bicara. Mereka sampai di restoran mewah berbintang lima. Sesuai perkataan Michael, mereka berpisah. Archer memilih untuk duduk di dekat jendela sendirian.

Sial, kenapa pada bawa pasangan semua? Archer mengusap wajahnya dan memilih untuk memulai panggilan video dengan Davira. Tanpa perlu mendengar nada sambung lama, Davira mengangkatnya.

"Archer!" Davira tersenyum.

"Hai," Archer balas tersenyum.

"Lagi di mana? Sendiri?"

"Di restoran. Bareng papa, tapi papa lagi meeting jadi sendiri deh," jawab Archer. Cowok itu menjatuhkan kepalanya ke meja sehingga terlihat imut.

"Archer enggak makan?" Tanya Davira.

"Nanti aja–"

"Ngapain lo ke restoran gue?" Seseorang menginterupsi percakapan Archer. Ghiza, cowok itu tersenyum angkuh.

Archer memutar bola mata, "Udah dulu ya Dav, ada Ghiza,"

"Oke deh, dadah Archer,"

Penggilan terputus. Ghiza terkekeh dan duduk di depan Archer. Cowok itu memanggil waitress dan memesan beberapa makanan paling mahal untuknya dan Archer.

"Tenang gue yang bayar, sedekah buat sobat gue yang lagi kerja ini," canda Ghiza.

"Tau dari mana lo?" Tanya Archer.

"Bokap gue, lo kira bokap lo ketemuan sama siapa hah?"

Archer mengecek jadwal Michael di ponsel lantas tertawa. "Oh Iya, Danto kan nama bapak lo ya? Kok gue lupa?"

"Sialan!"

Beberapa orang pegawai mengantarkan makanan ke meja Ghiza dan Archer. Setelah itu mereka pergi. Archer menatap Ghiza yang sumringah menatap satu persatu makanan di depannya.

"Lo gak makan?"

"Gue lihat muka lapar lo aja langsung kenyang," sindir Archer.

Pada akhirnya Archer dan Ghiza makan bersama juga walau di tengah acara makan masih sempat adu argumen tidak penting. Archer meneguk air minumnya sembari melirik Ghiza.

"Bokap lo tahu?"

"Bokap gue manusia,"

"Sialan, gue serius,"

Ghiza nyengir, "Maaf, tahu apa?"

"Alasan kenapa gue jadi asisten pribadi bokap gue,"

"Gak mungkin gak tahu,"

"Terus kata bokap lo?" Tanya Archer penasaran.

"Bokap sih gak nanyain lo, dia nanyain Davira,"

Archer nyaris tersedak, "Nanyain Davira gimana?"

"Gimana ya, papi nanyain Davira gimana orangnya. Ya gue bilanglah dia cantik terus pinter, eh bokap malah marahin gue katanya kenapa bukan gue aja yang nikahin. Asem," tutur Ghiza.

"Ada-ada aja bokap lo," Archer tertawa, dia paham betul karakter Papanya Ghiza yang humoris.

"Tapi bokap gue kasih lo saran,"

"Apa?"

"Jangan jadi cowok brengsek, jangan jadi cowok bodoh. Lo harus pintar, sabar, dan setia. Pokoknya jadi kayak gue,"

Archer tertawa, "Ya, makasih sarannya,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang