Pintu ruang kepala sekolah menjeblak terbuka. Michael masuk bersama Laras, Fadli, dan Monika. Davira masih menunduk, tidak berani mengangkat wajah sedikitpun.
Di luar, kerumunan siswa dan siswi yang tadi menonton mereka di mading kini mengintip mereka dari celah-celah jendela. Archer meringis sesekali, menahan rasa sakit yang ada di tangan dan hatinya.
Chiko adalah orang yang paling lama bersahabat dengan Archer. Sejujurnya, Archer sendiri pun syok saat mendengar pengakuan Chiko. Tapi kini, tanggung jawabnya adalah Davira. Archer tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Davira.
"Bapak, Ibu, silahkan duduk," perintah Pak Ramli. Beliau menjelaskan apa saja yang telah di alami oleh Davira dan Archer dari awal.
"Jadi keputusan sekolah?" Pancing Michael, warna suaranya masih tenang.
"Sekolah berencana untuk mengeluarkan Davira, sedangkan Archer dalam pertimbangan,"
Davira langsung menangis.
"Kenapa hanya Davira? Bukankah Archer juga bersalah?" Fadli menatap Pak Ramli.
"Begini, kondisi Davira yang hamil pasti tidak bisa di sembunyikan. Ini jelas akan merusak reputasi sekolah," jelas Pak Ramli.
"Saya akan bayar tiga ratus juta asal Davira tetap di sini," Fadli memajukan tubuhnya.
"Maaf pak, tapi keputusan sekolah–"
"Bagaimana kalau tiga ratus juta tadi kami tawarkan agar sekolah merumahkan Davira?" Tawar Michael.
Dahi Pak Ramli berkerut, "Maksud Bapak?"
"Saya merevisi ucapan Pak Fadli. Bagaimana kalau tiga ratus juta tadi digunakan untuk merumahkan Davira. Maksud saya, sekolah bersedia mengirimkan guru-guru untuk mengajar Davira di rumah. Kalau nominal tadi dirasa kurang, saya akan menambahkannya," papar Michael.
Pak Ramli diam. Matanya menatap Davira dan Archer bergantian. "Akan saya bicarakan hal iti dengan guru-guru. Tapi yang jelas mulai besok, Davira tidak lagi masuk sekolah,"
oOoOo
Sisa jam pelajaran dihabiskan Davira dengan duduk sembari membaca buku. Mencoba fokus mencerna kata demi kata yang tercantum dalam buku di tengah kebisingan kelas.
Walau tidak secara terang-terangan, Davira tahu dirinya tengah menjadi perbincangan hangat di sekolah. Belum lagi gossip ini menyebar dengan cepat di kalangan alumni dan sekolah-sekolah lain, padahal pihak sekolah sudah mewanti-wanti agar berita ini jangan sampai tersebar kemana-mana. Anggota keluarga Davira yang lain bahkan sedari tadi menelponnya. Untungnya sekarang ponsel Davira ada di tangan Archer.
"Dav, mau gak?" Tawar Kiana. Dia menyodorkan beberapa potong buah apel.
Davira mengangguk dan mengambil sepotong apel dari kotak makan Kiana. "Makasih, tumben cuma bawa apel. Diet?"
"Lagi malas bawa yang ribet-ribet," jawab Kiana.
Bu Mulya–guru Fisika masuk kelas. Kiana segera memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas. Bu Mulya meletakkan buku fisikanya dan menatap seisi kelas lalu berhenti di Davira.
"Wah jadi sekarang sudah ada calon ibu di antara kita," Bu Mulya menoleh ke arah Davira terang-terangan. "Pantasan kamu jadi agak gendutan ya Dav,"
Seisi kelas sontak menatap Davira. Kiana menggenggam tangan Davira yang sudah dingin. Entah apa maksud dari guru satu ini, tapi Davira merasa tidak enak. Seakan belum puas, Bu Mulya berdiri dekat meja Davira.
"Awalnya ibu kira kamu polos loh Dav, taunya ... kita staf guru-guru kecewa berat sih sama kamu. Kalau Archer sih kita enggak begitu peduli kan dia emang bukan tipikal anak teladan," Bu Mulya menggelengkan kepala.
"Maaf bu, tapi bisa enggak kita belajar aja," kata Davira. Matanya mulai berair.
"Loh kok begitu? Ibu kan sedang memberi nasihat ke teman-teman kamu agar tidak salah pergaulan, lihat kamu sekarang. Sudah kehilangan mimpi, mau jadi apa kalau sudah begini?"
Davira menjilat bibirnya. "Bu, yang Ibu lakuin bukan ngasih nasihat tapi mempermalukan saya,"
"Kok mempermalukan kamu? Kalau malu kan harusnya dari awal kamu malu,"
"Ibu kenapa sih? Saya tahu saya salah tapi berhenti ya bu, kita belajar aja," pinta Davira.
"Cukup! Ibu gak kasihan liat Dav–"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Kiana. Bu Mulya menatap kesal Kiana dan Davira. "Kamu keluar, Davira!"
"Kok lo ngeluarin Davira sih? Yang dari tadi bikin enggak kondusif itu lo!" Kiana menggebrak meja. Davira menahan bahu Kiana.
"Kamu keluar Davira! Kiana, ikut saya!"
Davira segera berlari keluar dengan air mata bergulir menuruni wajahnya. Dia menuju toilet siswi dan mengunci pintunya rapat-rapat. Seketika Davira membenci dirinya sendiri. Segala kekacauan dari pagi dia lah penyebabnya.
Dalam toilet, Davira mendudukkan dirinya dan menaikkan kaki. Pintu diketuk seirama dengan panggilan berisi namanya. Tapi Davira tidak peduli. Berusaha tidak peduli lebih tepatnya. Wajahnya sudah cukup tipis untuk keluar. Cukup sudah hari ini dia dipermalukan. Dia tidak ingin membawa orang lain lagi dalam masalahnya.
"Dav,"
Jantung Davira terasa berhenti. Suara Fadli. Sejak kapan Fadli ada di sekolahnya.
"Keluar Dav, di sini ada papa dan mama,"
Perlahan, Davira menurunkan kakinya dan membuka pintu. Benar, ada Fadli serta Monika. Tanpa aba-aba, Davira memeluk Monika. Isakan Davira menjelaskan bagaimana terlukanya dia.
"Mama, Davira capek. Davira malu. Davira mau pulang,"
"Kita pulang ya nak," Monika mencium puncak kepala Davira. "Kita pulang,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated
RomanceTentang Davira dan mahkotanya yang hilang. Tentang Davira dan mimpi-mimpinya yang pupus. Tentang Davira dan sayap-sayapnya yang patah. Lo berhak bahagia atas hidup lo sendiri. Lo berhak mencintai diri lo sendiri enggak peduli sehancur apapun hidup...