Duapuluh Dua

17 5 0
                                    

Davira kembali ke rumahnya. Kamarnya terasa pengap dan gelap setelah beberapa hari tidak dibuka. Davira berbaring di atas kasur dengan posisi kaki menjuntai. Ada perasaan kecewa yang tidak berkesudahan dalam dadanya.

Ponsel yang sedari tadi berdering membuat Davira mau tidak mau mematikannya. Davira sudah cukup lelah dengan pertanyaan semacam 'Gimana keadaan lo?' Baginya, mereka membiarkannya sendiri larut dalam ketenangan itu sudah cukup.

Monika membuka tirai dan jendela kamar Davira. Tanpa malu-malu sinar mentari merambat masuk dan menabrak wajah Davira. Monika ikut berbaring di sebelah Davira.

"Tadi mama sama papa belum pulang dari sekolah. Ngurusin kamu, katanya kamu dirumahkan. Sekolah di rumah, pas ulangan kenaikan kamu balik lagi sekolah," kata Monika. "Kamu ada cerita buat Mama?"

"Cerita Davira gak seru Ma," lirih Davira.

"Enggak apa-apa, Mama dengarkan,"

"Tadi Davira dipermaluin Bu Mulya. Guru Fisikanya Davira, katanya Davira enggak bisa jaga diri," Davira mengusap sudut matanya. "Harusnya enggak usah malu ya Ma. Mama malu gak punya anak kayak Davira?"

Dada Monika terasa sesak. Suatu keputusan yang bodoh karena meninggalkan Davira dalam keadaan sehancur ini. Monika menghadap Davira. Melihat bagaimana air mata Davira luruh menuruni pipi. Melihat bagaimana hancurnya putri semata wayangnya ini.

"Mama enggak malu kok Dav," Monika tersenyum, "Mama kangen banget sama Davira,"

"Davira juga,"

"Tadi Archer telepon Mama, nanyain kamu. Dia mau nyusul kamu, boleh engga?" Tanya Monika.

"Davira mau sendiri dulu Ma. Bilangin Archer jangan ke sini dulu,"

"Kamu marah sama Archer?"

"Davira marah sama diri Davira sendiri,"

Monika terdiam, namun dia tidak kehilangan akal. "Jangan terlalu lama marah sama diri sendirinya. Coba ingat-ingat lagi segala sesuatu yang udah Davira dapat bareng diri Davira. Mama keluar dulu,"

Davira menghela napas. Akhir-akhir ini perubahan moodnya cukup drastis, dampak dari kehamilannya. Perlahan Daviar berdiri di depan cermin sembari mengangkat bajunya.

Tubuh Davira berubah total. Perutnya membesar diikuti dengan pinggangnya yang terkadang sering sakit. Davira tersenyum saat menyadari garis-garis halus di sekitar perutnya. Dulu dia sering menanyakan perihal garis-garis halus itu pada Mamanya. Sekarang dia mengalami sendiri. Dia mengerti penyebabnya.

Tanpa Davira sadari, Archer mengawasinya dari balik pintu kamar yang setengah tertutup. Setidaknya perasaannya tidak sekacau tadi. Mendengar cerita Kiana membuat Archer ingin membakar sekolah saat itu juga.

Seseorang menepuk pundak Archer. Fadli. Pria paruh baya itu memberi isyarat agar Archer ikut dengannya. Akhirnya, mereka duduk berdua di kursi teras belakang. Menatapi halaman belakang rumah yang bisa terbilang luas.

"Dulu Davira sering main di sini," kata Fadli.

"Maaf udah ngambil Davira dari Om sebelum waktunya,"

"Jangan panggil Om, saya Papa kamu juga sekarang," Fadli menatap Archer.

"Iya Pa,"

"Davira, maafkan kalau dia kelewat manja. Dia anak tunggal dan kesayangan saya. Tapi saya tahu kalau Davira itu cepat belajar, tapi kali ini dia cuma butuh waktu. Kalian butuh waktu," Fadli menepuk punggung tangan Archer.

"Sabar saja kalau dia sedikit bandel. Usahakan yang terbaik sebagaimana saya berusaha yang terbaik untuk dia. Saya tahu saya bukan sosok ayah yang sempurna buat Davira, tapi saya selalu berusaha dan belajar. Saya harap kamu juga begitu. Kalau misalnya kamu lelah sama Davira, jangan buang dia. Bawa dia pulang, bawa dia kembali ke saya,"

Mata Archer memanas. Barusan adalah ungkapan dari hati terdalam seorang ayah tentang anak gadisnya. Fadli mempercayakan Davira padanya. Archer mengangguk. Dia berjani tidak akan membiarkan siapapun melukai Davira. Daviranya tersayang.

"Archer juga janji. Archer janji untuk selalu jaga Davira, Archer janji untuk selalu bawa dia pulang walau Archer tidak akan pernah lelah sama Davira. Pegang omongan Archer, Pa," kilatan mata Archer menandakan keseriusannya dalam berbicara.

"Saya harap Davira bisa sedewasa kamu,"

Mereka berdua kembali larut dalam pemikiran masing-masing. Sampai seseorang memanggil nama Archer. Davira, dengan raut wajah terkejut.

"Archer dari kapan di sini?"

"Dari .... tadi," ucap Archer ragu. "Aku mau pulang kok ini,"

"Archer di sini aja dulu,"

Archer mengangkat alisnya. Dia pikir Davira akan mengusirnya sebab kata Monika, Davira sedang tidak ingin di ganggu. Merasa butuh ruang privasi, Fadli bersedia menyingkir. Memberi kenyamanan Davira dan Archer untuk saling berbicara.

"Maaf karena aku ada di sini, harusnya tadi aku pulang aja," Archer menggaruk kepalanya.

Davira menggeleng. "Enggak apa-apa kok. Aku lagi kepengin makan sereal, mau makan sereal bareng?"

"Boleh,"

Tangan Archer di tarik Davira menuju dapur. Davira mengambil dua buah mangkuk, satu kotak berisi 1 liter susu UHT, dan satu kotak besar sereal. Davira menuang susu tersebut ke dalam mangkuk dan menuangkan sereal kemudian memberikan satu mangkuk kepada Archer.

"Kita makan di meja tadi aja ya?" Tanya Davira, Archer mengangguk.

"Aku pikir kamu bakal ngusir aku," kata Archer sesaat setelah menelan satu sendok sereal.

"Awalnya, tapi aku dengar pembicaraan kamu sama Papa,"

"Terus?"

Davira menggeleng, "Aku sempat punya pikiran buat benci Archer, tapi sekarang, butuh mikir berkali-kali untuk akhirnya benci sama Archer,"

"Aku juga awalnya punya pikiran buat benci sama diri sendiri. Tapi setelah kenal kamu, aku punya alasan untuk berusaha agar jangan sampai membenci diri sendiri," ungkap Archer.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang