Sinar matahari malu-malu merambat masuk. Davira membuka matanya dengan susah payah. Setetes air mata kembali mengalir, namun tampaknya itu yang terakhir. Air mata Davira telah habis terkuras semalaman.
Tubuh Davira yang hanya tertutupi selimut itu remuk redam. Seluruh tubuhnya sakit, terutama di bagian vital. Perih sekali. Jika ini masih mimpi, tolong bangunkan. Ketakutan dan penyesalan masih belum habis, tampaknya tak akan pernah habis. Davira menoleh ke samping kanan, Archer masih tertidur lelap.
"Jahat..." kosakata pertama yang berhasil keluar dari bibir Davira.
"Archer... jahat. Bodoh. Davira... bodoh," Davira ingin menangis, tapi tidak bisa. Jadi dia memutuskan untuk memunggungi Archer. Bahkan untuk bergerak receh seperti itu saja Davira kesakitan. Tuhaaan, maafin Davira.
Davira bisa merasakan gerakan patah-patah dari sosok yang dia punggungi. Sosok itu mengaduh sembari mengeluhkan kepalanya yang sakit.
Sebuah tangan menyentuh punggungnya. Davira tidak bergeming. Untuk apa mengelak, toh dia sudah kotor. Mau diapakan lagi?
"Ini..." sosok itu membalik perlahan tubuh Davira.
"Davira! Da... Dav..." ada getar penyesalan dalam suara Archer. Terlambat Cher.
"Dav... maaf... maafin gue. Gue... gue bego! Dav," Archer menggenggam tangan Davira.
Dengan sisa kekuatan Davita berusaha berujar lirih. "Ngapain minta maaf Cher? Udah terlanjur. Buat apa Cher? BUAT APA?!"
Air mata Davita kembali meluncur deras. Seirama dengan tubuhnya yang tiba-tiba berontak. Archer menahan bahu gadis itu dengan tatapan berkaca-kaca.
"Dav, dengar. Apapun yang terjadi, gue bakal tanggung jawab. Apapun. Bahkan kalau sesuatu tidak terjadipun gue masih akan tetap tanggung jawab. Ingat itu," ucap Archer mantap.
Susah payah, Davira mencoba untuk duduk. Dia membenarkan posisi selimut yang dia gunakan untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Iya, untuk yang itu lo bisa tanggung jawab. Tapi gimana dengan mimpi-mimpi gue? Apa mimpi gue bisa terselamatkan setelah lo 'tanggung jawab'? Apa bisa? Berengsek!"
Hening. Archer menghela napas panjang. Begitupun Davira. Hampir gila rasanya. Harusnya dia tetap pada pendirian awal untuk tidak pergi ke tempat seperti ini. Namun siapa yang bisa disalahkan jika sudah seperti ini?
"Dav–"
Davira mengangkat tangannya. Gestur agar Archer berhenti. "Udah cher gue mau pulang,"
"Biar gue panggilkan pelayan di sini buat bantu lo,"
Davira bergeming. Dia membiarkan Archer melakukan sesuatu sesuka hati. Seorang wanita datang membantu memakaikan kembali pakaian Davira yang sebelumnya berserakan.
Setelah itu, Davira mengucapkan terima kasih dan seulas senyum tipis kepada wanita tadi. Archer kembali masuk kamar dengan pakaian semalam. Hening. Tidak ada yang membuka suara. Davira masih tetap diam sembari menatap kosong ke depan. Jauh di dalam hati, Archer berharap gadis ini memaki-maki dirinya daripada harus diam seperti ini.
"Dav,"
Davira bergeming. Archer menarik napas panjang, tidak menyerah. Dia paham, Davira masih shock.
"Mau pulang?"
Davira mengangguk tanpa tenaga. "Antar gue ke rumah Kiana,"
"Iya,"
Davira berdiri, namun segera duduk kembali. Rasa sakit yang menyerang bagian vitalnya masih terasa. Setetes air mata kembali keluar. Sakit. Davira merasa malu akan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated
DragosteTentang Davira dan mahkotanya yang hilang. Tentang Davira dan mimpi-mimpinya yang pupus. Tentang Davira dan sayap-sayapnya yang patah. Lo berhak bahagia atas hidup lo sendiri. Lo berhak mencintai diri lo sendiri enggak peduli sehancur apapun hidup...