Delapan Belas

18 6 0
                                    

Davira bergumam saat seseorang mengguncang perlahan bahunya. Kesal, Davira membuka matanya dan menyadari kalau Archer sudah ada di hadapannya dengan pakaian rapih. Jaket jins, kaus hitam, dan celana kain yang juga berwarna hitam.

"Ngap–"

Archer menahan bibir Davira dengan telunjuknya. "Jangan keras-keras, nanti Mama bangun," bisik Archer.

Malam ini dan beberapa hari ke depan, Archer dan Davira tinggal di apartemen Laras. Namun kamar mereka dipisah. Archer di kamarnya dan Davira bersama Laras.

Davira mengerutkan kening, kemudian mengucak mata. Archer memberi gestur agar Davira mengikuti langkahnya. Davira terpaksa mengikuti Archer saat melihat cowok itu mengembangkan senyum lebar. Sangat jarang Archer berekspresi seperti itu.

"Kita mau ngapain? Kamu kenapa rapi banget?" Tanya Davira setelah berhasil keluar kamar Laras.

Sejak ijab kabul berlangsung, mereka diminta untuk menggunakan penggilan 'aku-kamu' oleh Laras. Davira sih biasa saja, hanya Archer yang masih sering salah tingkah.

"Pernah midnight drive?"

Davira menggeleng sembari meminum segelas air. Archer mengangsurkan sebuah jaket tebal miliknya pada Davira dan memerintahkan agar Davira memakainya.

"Ayo midnight drive, seru lho. Pake jaketnya, lo–em maksudnya, kamu kan baru pertama kali biar enggak masuk angin," ajak Archer.

"Hmm... oke deh. Tapi aku ganti baju dulu," kata Davira.

"Nggak usah, pake piyama aja. Tetap cantik kok,"

Davira menahan senyum dan segera memakai jaket tadi. Mereka keluar apartemen menuju basement. Saat ini pukul 23.00 wajar jika apartemen sepi.

Saat sampai di mobil, Davira dikejutkan oleh kursi penumpang yang dipenuhi makanan ringan dan sebuket bunga. Davira menatap Archer penuh tanda tanya.

"Anggap aja itu sebagai... hadiah pernikahan. Aku tahu ini pasti bukan pernikahan yang kamu idam-idamkan, maaf Dav. Tapi aku harap kamu suka kejutannya," Archer mengusap tengkuk. Hatinya tergelitik dan cemas bersamaan. Tergelitik karena memberi kejutan sangan bukan Archer sekali, tapi cemas karena takut Davira tidak menyukainya.

"Aku suka banget makasih Archer!" Davira meraih buket bunga dan memeluknya.

Davira menatapi satu persatu makanan ringan yang dijajarkan dan disusun sedemikian rupa. Matanya memanas berbanding terbalik dengan hatinya yang lumer. Archer memang merebut mahkotanya, menghancurkan mimpinya, tapi munafik jika setelah semua yang  dilalui dia berkata tidak jatuh cinta kepada Archer. Davira mengakuinya, dia jatuh pada cowok brengsek di sebelahnya ini.

Cup!

Archer mendaratkan sebuah kecupan di pipi Davira. Cewek itu kontan menoleh dengan air mata yang belum sepenuhnya kering dan pipi yang memerah. Hal ini membuatnya tampak menggemaskan.

"Maaf kalau lancang, tapi..." Archer kehilangan kata-kata akibat dentuman bertalu-talu pada dadanya.

"Enggak apa-apa, ayo jalan,"

Dalam sekali tancap, mobil membelah jalanan malam kota Jakarta. Archer membuka sedikit kaca jendela membiarkan semilir angin masuk dan menerbangkan helai-helai rambut Davira.

Jalanan sepi dan pencahayaan dari lampu-lampu gedung percakar langit yang beradu dengan sinar rembulan membuat pemandangan semakin indah. Archer salah karena menyebut midnight drive ini asik. Ini menakjubkan.

"Kamu gak mau nanya-nanya tentang aku?" Archer menatap Davira.

"Boleh emang?"

"Tanya aja,"

Davira tampak berpikir. "Suka matematika enggak?"

Archer mengesah frustasi. "Gini ya rasanya nikah sama orang pintar. Gak suka Dav, gak suka angka. Sukanya kamu. Puas?"

"Iiih geli tau Cher," Davira tertawa.

"Yang dengar aja geli gimana yang ngomong,"

"Kalau geli kenapa ngomong coba?"

"Biar kamu nyaman aja," Archer menatap Davira dalam-dalam.

"Archer, gak perlu berubah untuk bikin orang nyaman. Aku nyaman kok sama Archer yang kaku, sama Archer yang mukanya sangar dan ngambekan," Davira tersenyum.

Archer menggenggam tangan Davira, lantas menciumnya. "I love you Dav, i really love you,"

Davira terdiam. Entah kenapa tapi dia merasa sangat dihargai. Sangat dicintai. Archer tidak seburuk bayangannya. Archer memperlakukannya dengan sangat baik, sepertinya dunia menghilangkan seluruh alasan Davira untuk membenci cowok itu.

"Gak apa-apa kalau kamu enggak–"

"I love you to Archer,"

Archer terdiam seketika. Davira memalingkan wajah dan menutupnya dengan telapak tangan. Rasa panas menaungi wajah Davira.

Mereka terdiam untuk sesaat. Membiarkan rasa canggung agar sirna terlebih dahulu. Baik Davira maupun Archer sama-sama menikmati debaran aneh di dada mereka.

"Archer, aku boleh nanya lagi?" Davira membuka suara terlebih dahulu setelah puas menatapi gedung-gedung dan jalan sepi.

"Boleh,"

"Archer suka pedas?"

"Enggak. Batasan pedas aku cuma sebatas saus atau bumbu indomie, di atas itu aku bisa tewas," Archer merinding ketika membayangkan sensasi pedas yang pernah membakar lidahnya. Lebay.

"Maaf kalau pertanyaan ini nyinggung, tapi apa Archer rindu sama Amanda?"

Archer tersenyum tipis, "Aku selalu rindu Amanda,"

Davira merasa hawa di dalam mobil berubah sendu. Dia segera membanting topik percakapan, mungkin kali ini akan sedikit menyebalkan.

"Archer punya mantan?" Tanya Davira iseng.

"Enggak dan aku harap aku enggak akan pernah punya mantan," Archer menatap Davira. "Kamu punya mantan?"

Ragu, Davira mengangguk. "Punya, satu,"

Archer membelalakkan mata, "Punya? Siapa? Anak mana?"

"Handi, sekarang dia di Singapura,"

"Jelek banget sih namanya! Awas ya kalau sampe chat atau ketemuan! Aku pecat Handi-Handi itu jadi laki-laki!"

"Enggaaak Archer, jangan gitu ih. Serem,"

"Nah gitu dong. Davira Hill,"

Kali ini Davira tidak bisa lagi menahan senyumnya.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang