Sebelas

23 6 0
                                    

Davira merasa keputusan untuk memberi tahu orang tuanya tentang rasa sakit yang ada di kepalanya merupakan sebuah kesalahan terbesar dalam hidup. Pasalnya dokter yang tadi menangani Davira menemukan anomali, jika sakit yang di alami oleh Davira bukanlah sakit biasa melainkan satu dari sekian banyak gejala kehamilan trimester pertama.

Jadi di sinilah Davira. Berbaring dengan sebuah alat menempel diperutnya dan seorang dokter wanita spesialis kandungan. Namanya Dokter Sherly. Untuk pertama kalinya Davira bisa melihat berkembangan bayi yang dikandungnya.

"Janinnya sehat tapi karena menyesuaikan dengan kondisi tubuh ibu, janinnya jadi agak kecil," Dokter Sherly meletakkan alat tadi dan membantu merapihkan baju Davira.

"Usianya sekarang berapa Dok?" Tanya Davira polos.

"Usia kandunganmu baru banget masuk empat bulan,"

"Empat bulan?" Kata Monika tiba-tiba.

Davira menunduk sementara Dokter Sherly yang tampaknya sudah sering menghadapi situasi seperti ini mengelus punggung Davira dan mempersilahkan ketiga tamunya duduk.

Ketegangan bisa dirasa sangat jelas. Davira duduk di antara Mama dan Papa yang wajah mereka masing-masing sudah mengeras.

"Bapak ibu, usia kandungan Davira sudah jalan empat bulan. Masih muda banget kandungannya dan mengingat usia Davira yang belum nyampai tujuh belas tahun kehamilan ini sangat berisiko." Dokter Sherly menatap Davira. "Haram hukumnya Davira untuk terlalu capek atau  stress. Sebisa mungkin hindari benturan pada perut dan jangan makan yang macam-macam,"

Davira mengangguk. Setelah beberapa nasihat penting antara dokter dan orang tua, mereka diizinkan pulang tanpa perlu membayar sepeserpun.

oOoOo

"Jadi untuk ini Papa sama Mama nyekolahin kamu? Iya? Ini? Ini yang kamu dapat dari sekolah? Kenapa bisa jadi seperti ini Davira? Laki-laki mana yang sudah berbuat seperti ini?! Mana?!" Bentak papa. Davira hanya bisa menangis saat tamparan pertama mendarat di wajahnya.

"Ini kecelakaan papa! Ini kecelakaan!" Davira melindungi wajahnya saat melihat tangan papa sudah kembali terangkat.

"Jelaskan!" Kata Mama dengan suara bergetar.

Davira menjelaskan semua yang dia alami dari awal hingga akhir secara rinci. Fadli langsung meninju tembok di sebelahnya  sedangkan Monika langsung jatuh lemas sembari menangis. Mereka berada dalam penyesalan yang sama besar. Davira karena mengecewakan orang tuanya, sedangkan Fadli dan Monika karena gagal menjaga Davira dengan baik.

"Maafin Davira Ma, Pa. Lakuin apa yang kalian mau asal jangan gugurin anak Davira, Davira sayang banget sama anak ini," pinta Davira.

oOoOo

"ARCHEEER!"

Davira hanya bisa meraung dalam pelukan Kiana saat melihat Papanya menyerang Archer secara tiba-tiba di ruang tamu rumah mereka. Archer tidak melawan, dia merasa ini belum sesuai dengan yang Davira rasakan.

Baru ingin menendang Archer kembali, Fadli sudah ditahan oleh Monika. Napasnya menburu. Archer berusaha untuk kembali berdiri tegap di hadapan Fadli dan Monika.

"Saya bakal tanggung jawab om, saya janji,"

"Tanggung jawab? Tau apa kamu tentang tanggung jawab? Kamu kira itu cuma sebatas menikahi Davira dan semuanya selesai? Enggak! Enggak segampang itu!" Fadli menepis tangan Monika yang memegangi tubuhnya.

"Kamu mau tanggung jawab? Bawa anak itu keluar dari rumah saya, kembali lagi besok bersama orang tua mu! Saya mau tahu tanggung jawab apa yang ada dalam pikiranmu," Fadli menunjuk Davira dan Archer secara bersamaan kemudian pergi.

"Mama... ma... maafin Davira mama," sayang, Monika hanya bisa menggeleng sambil terus menangis.

Fadli kembali dan dengan kejam membuang pakaian beserta buku juga tas sekolah Davira. Belum puas, dia menendang barang-barang itu dan membanting pintu kuat-kuat.

Lebih manusiawi, Monika membantu Davira bersama Kiana membereskan barang-barang yang berserakan. Tanpa sepatah katapun, Monika berlalu begitu saja.

"Kita antar Kiana pulang terus ketemu orang tua gue," Archer mengambil alih tas besar milik Davira dan keluar dari rumah tersebut.

Di mobil, Davira duduk di bangku penumpang bersama Kiana sembari menangis. Archer sibuk menelpon seseorang untuk memintanya datang ke rumah dengan alasan keadaan darurat.

Tangis Davira sudah mereda, namun matanya tidak bisa berbohong kalau kesedihan yang mendalam masih membayang di dalam hatinya. Kiana masih setia memeluk Davira.

Mobil berhenti di depan rumah Kiana. Davira menggenggam tangan Kiana, seolah tidak mengizinkan Kiana untuk turun. Namun Kiana yang paham tersenyum untuk menguatkan Davira.

"Lo pasti bisa. Lo kuat. Kalau ada apa-apa telepon gue," Kiana memeluk Davira sekali lagi.

"Sini Dav pindah ke depan," suara Archer memecah lamunan Kiana.

"Iya,"

"Kita jemput nyokap gue dulu ya,"

Tanpa banyak bicara lagi, Archer mengemudikan mobilnya menuju sebuah apartemen mewah. Archer tidak turun, dia hanya mengetikkan sesuatu melalui ponselnya dan seseorang mengetuk kaca mobil.

Wanita paruh baya masuk ke dalam mobil. Wajah ramahnya tampak tersenyum ke arah Davira. Davira yang awalnya tegang menjadi lebih rileks saat melihat sikap ramah dari Mama Archer.

Saat yang Davira paling takuti datang juga. Selamat datang di rumah Archer.

TwitterpatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang