Chapter 1 | Insiden Sore Hari

408K 16.3K 2K
                                    

Teruntuk kamu yang membaca cerita ini baik dalam keadaan masih on going atau sudah tamat, tetap tinggalkan jejak berupa vote dan komentar, ya❤

☁ ☁ ☁

Aku pernah bermimpi, kemudian berhenti. Karena orang yang selama ini aku sayangi, tiba-tiba pergi, lalu dikabarkan mati dan terkubur bersama memori.

☁ ☁ ☁

Langit biru tanpa awan benar-benar seperti lukisan di kanvas alam yang terbentang di atas sana. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat. Burung-burung terlihat kontras dan berterbangan kesana-kemari. Bentukan siluet yang dihasilkan bayangan pepohonan juga gedung sekolah merupakan hal yang pertama kali Cessa tangkap kala ia berjalan menyusuri koridor kelas.

Sepi menyambutnya. Desiran halus yang menyapa kulit menambah kesan mistis kala netranya tak sengaja menangkap kaca jendela kelas yang bergerak. Pegangan pada tali tasnya mengerat, langkahnya menyepat. Bukan. Bukan karena rasa takut akan hantu atau hal mistis lainnya. Namun, lebih ke rasa takut ketika orang tuanya menyadari ia pulang terlambat.

Bukan tanpa alasan ia rela pulang lebih lama dari biasanya. Melainkan karena salah seorang guru yang mengajar di kelasnya meminta bantuan untuk merekap nilai ulangan beserta tugas teman-teman sekelasnya. Ia tidak sendiri, sebab guru itu pun ikut menemani. Sebelum tiba di koridor ini, tawaran pulang bersama sudah Cessa dapatkan. Namun, ia menolak dengan alasan jemputannya sudah datang.

Tak sadar kepala Cessa mendongak tatkala suara tawa bersahutan terdengar sayup-sayup terbawa angin. Ketika langkahnya sudah menjejak di teras kelas X yang menghadap ke lapangan outdoor, barulah ia tahu asal suara itu. Diam-diam Cessa bernapas lega saat mengetahui dirinya tak benar-benar sendiri, masih ada anak-anak ekskul basket yang tanpa sengaja menemani.

Cessa kembali melangkah, kali ini lebih cepat dari awalnya. Namun, saat menginjak langkah kesepuluh, kepalanya tiba-tiba terhuyung ke samping saat benda bulat berwarna oranye mengenai kepala. Kejadiannya terjadi begitu cepat saat benda bulat itu sudah menggelinding di atas tanah.

Tangan yang semula memegang tali tas, kini berpindah memegang pelipis kepala yang berdenyut. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia masih sempat mendengar teriakan yang saling bersahutan.

"Waduh! Pingsan, woy!"

Langkah Fabian terlalu cepat, hingga kurang dari satu menit, ia sudah berjongkok di samping tubuh Cessa yang tergeletak di atas tanah. Dan, sinyal yang diberikan Fabian nyatanya cukup kuat hingga membuat anak-anak basket yang tadinya duduk-duduk di pinggir lapangan mulai berlari menghampiri Fabian juga Cessa.

"Wuiiih, bidadari dari mana, nih? Kok gue baru liat?" Kino, laki-laki yang berdiri di samping Fabian menyeletuk. Laki-laki dengan rambut yang panjangnya sudah menyentuh dahi itu-ia senang sekali memanjangkan rambut walau selalu berakhir dengan dirinya yang dibawa ke ruang BK-meneliti penampilan Cessa dari atas kepala sampai ujung kaki.

"Bukan saatnya bercanda, ogeb!" maki Fabian sembari berdiri dari jongkoknya, lalu menoyor kepala Kino. Kemudian, ia menerima lemparan bola yang diberikan oleh teman se-ekskulnya.

"Nggak, woy! Seriusan, baru kali ini gue liat nih cewek." Kino berdecak. "Atau cuman guenya aja yang nggak sadar, ya?" gumamnya.

"Gimana lo mau nyadar, kalo pikirannya makan doang." Lagi, Fabian mendaratkan tangannya di kepala Kino.

"Yeee daripada lo, pikirannya cewek doang," balasnya sembari merotasikan bola mata.

Zevan yang berdiri di samping Kino, menatap laki-laki itu tajam yang mana membuat Kino langsung bungkam. Kemudian, tatapan Zevan beralih pada Calvin yang tampak biasa saja, tanpa raut khawatir, "Gimana, Vin?"

CALVINO [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang