-
Hari ini Bara latihan basket untuk pertandingan melawan sekolah lain minggu depan. Namun lelaki itu seperti tak fokus, berkali-kali bola berwarna oranye ditangannya direbut dengan mudah. Dia seperti kehilangan dirinya yang dulu, yang begitu semangat saat melihat semua hal tentang bakset.
Lelaki itu melangkah ke tengah lapangan, sambil mengacak rambutnya kasar, dia bener-bener tak fokus. Semua cewek-cewek di tribun basket tetap menatapnya dengan binar tanpa peduli perubahannya yang hanya dimengerti Agatha.
Bara berhasil mengambil bola basket itu lagi, lelaki itu mendribel dan bola berwarna oranye itu memantul kearah ring, namun tak masuk.
"Lo ada masalah?" Dito kapten basket mendatangi Bara, karena sadar dengan perubahan anggota-nya itu. Bara biasanya paling jago, dalam beberapa menit dia bisa membuat banyak poin melebihi Dito, bahkan waktu itu dia kandidat terkuat menganti Veno sebagai kapten basket tapi dia menolak.
"Nggak," balas Bara. Agak ketus, menandaskan bahwa dia memang tak baik-baik saja untuk sekarang. Namun sama sekali tak ingin diganggu siapapun. Dito mengangguk, menepuk bahu Bara sebelum berlalu setelah mengucapkan sesuatu.
"Agatha nunggu lo lagi?" mata Bara otomatis mengarah ke tribun basket dan membuat cewek-cewek disana termasuk Nesa memekik heboh. Namun hanya satu fokusnya, gadis yang duduk di bangku paling belakang sendirian.
Agatha tersenyum dan melambaikan tangannya. Bara membuang muka, tak peduli. Dia bener-bener tak ingin bertemu siapapun untuk saat ini.
Termasuk Agatha.
Dia kembali menjadi Bara yang dulu; cuek dan tak pernah peduli dengan Agatha.
***
"Bar, lo kenapa sih?" Agatha yang keras kepala mengejar Bara setelah latihan mereka bubar, tanpa peduli pandangan sinis cewek-cewek padanya. Bahkan beberapa mencibir terang-terangan bahwa dia terlalu 'ganjen' pada Bara. Namun, bukan Agatha namanya kalau dia peduli dengan tanggapan orang tentangnya.
Cowok itu berhenti tepat didepan motornya, berniat pergi sebelum tangannya dicekal oleh Agatha. "Lo kenapa?"
Bara menaikan sebelah alisnya. "Kenapa?" tanyanya balik, dan menjadi kata pertama yang dia ucapkan sedari tadi.
"Gue tahu lo ada masalah." Agatha kembali membalas.
"Nggak usah sok tahu," balas Bara telak. "Lo nggak tahu apa-apa. Sama kayak mereka."
Agatha tidak tersinggung. Dia mengeleng. "Tapi ... gue percaya sama lo, Bara, makanya cerita sama."
Bara tak menjawab. Lelaki itu bener-bener kacau, dari matanya Agatha temukan begitu banyak kalut yang berlarian ingin dimengerti namun pemiliknya sama sekali tak ingin percaya pada siapapun. "Gue selalu ada buat lo. Tapi lo nggak pernah peduli. Padahal mungkin, bilang sama gue bisa buat lo lebih baik. Gue siap tampung semua luka yang lo nggak mampu pikul, Bara."
Bara tertawa. Itu terdengar seperti lelucon paling konyol. Bara, tak pernah percaya pada siapapun selama ini, dia juga tak pernah membagi masalah terlalu dalam pada semua orang. Dan ... Agatha siap menerima segala lukanya? Mungkin, gadis itu tak akan bilang seperti itu jika dia tahu seperti apa masalah Bara yang sesungguhnya.
"Urus hidup lo aja nggak becus, jangan urus hidup gue, Agatha." kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir Bara. Membuat sesuatu dihati Agatha terasa tertohok benda tajam. Dan tanpa banyak peduli, Bara naik keatas motornya dan pergi. Meningkalkan Agatha tanpa peduli begitu banyak hal yang tadi gadis itu korbankan untuk menunggunya latihan basket. Waktu dan juga pulang bersama Gevan.
Agatha berbalik dan mematung. "Gevan?"
Lelaki dibelakangnya menghembuskan nafas panjang. Bener-bener capek dengan tingkah bodoh Agatha. Untuk apa mengejar yang tak mau dikejar? Untuk apa bertahan dalam kehampaan? Untuk apa selalu menunggu, jika akhirnya selalu tersakiti?
"Pulang, gue anter." kemudian lelaki itu bergegas duluan kearah motornya. Agatha diam dan mengikuti, merasa begitu bersalah saat tahu Gevan menunggunya dari sepulang sekolah sampai senja menyapa hanya untuk pulang bersama? Atau mungkin karena lelaki itu tahu, Bara tak pernah serius dengan Agatha? Ataukah ... dia peduli pada Agatha?
***
Aletta berdiri didepan pintu apartemen Bara. Berkali-kali gadis itu memencet bel disana tapi pintu itu tak kunjung terbuka. Sudah pukul delapan malam, semoga saja lelaki itu masih ada di apartemen dibandingkan keluyuran ke tempat balapan atau club malam seperti biasanya.
"Bara, buka pintunya." gadis itu mulai putus asa, dia mengengam slin bag berwarna pinknya erat, sambil bersandar di pintu apartemen Bara.
Pintu itu mendadak dibuka membuat tubuh Aletta otomatis terhuyung jatuh kalau saja sebuah tangan tak melingkar pinggang nya. Membantu gadis itu berdiri kembali.
Aletta menunduk, merasa merona begitu saja saat tubuhnya bersentuhan dengan tubuh Bara tadi.
"Kenapa lo kesini?" tanya Bara. Aletta akhirnya mendongak dan mendapati wajah Bara yang begitu berantakan. Saat gadis itu melirik kebelakang punggung Bara, apartemen itu juga sama kacau seperti pemiliknya. Banyak botol alkohol berbagai macam berserakan dimana-mana.
"Bara ... aku dateng kesini karena kata tante Rina kamu nggak pernah pulang kerumah padahal udah disuruh. Kamu juga nggak mau buka pintu apartemen kamu waktu tante Rina dateng. Tante Rina sampai kerumah aku, suruh aku bujuk kamu biar bisa pulang. Karena cuma tahu aku yang pernah kerumah kamu."
"Pulang dan ketemu si brengsek itu?"
"Tapi, dia papa kamu Bara." balas Aletta. Sedikit marah dengan ucapan Bara tentang papanya sendiri.
"Lo pulang aja sana." Bara berbalik kebelakang. Ingin tidur lagi, namun melihat Aletta yang mematung ditempatnya membuat Bara melirik.
"Letta, pulang. Gue bisa berubah kapan pun, termasuk jadi monster."
"Aku nggak pernah anggap kamu monster," balas Aletta.
Bara tertawa sinis. "Terus kenapa lo masih takut sama gue? Mata lo nggak bisa bohong." dari mata Aletta, bara temui ketakutan, ketika gadis itu menatap dirinya yang kacau dan kondisi apartemen-nya. Berbeda dengan Agatha yang menerimanya apa adanya. Aletta seperti hanya mencintai salah satu sisi Bara.
Aletta diam. Memandang punggung Bara. Lelaki itu memang rumit, tak ingin berbagai lukanya pada siapapun. Tapi, Aletta sangat mencintainya. Dan siap menyingkirkan semua orang yang mendekati Bara.
Aletta bergegas keluar dari apartemen Bara. Walaupun sudah lama mengenal Bara, Aletta tetap tak paham dengan diri Bara.
Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikan sesuatu disana.
Aletta: Gevan, kamu bisa jemput aku?
Dan, Aletta juga tak bisa membohongi dirinya kalau dia juga masih sangat membutuhkan Gevan. Cuma lelaki itu yang mengerti dirinya, tahu segalanya ketakutannya dan menemani dirinya dari dulu. Walaupun dia lebih tertarik pada Bara. Tapi, Aletta tahu, Gevan tak pernah menolak permintaannya. Entah karena lelaki itu masih suka padanya, atau karena suatu hal yang tak dia mengerti. Namun, Gevan tetap berada di garda paling depan untuk orang-orang yang menyakiti Aletta, dia perhatian melebihi Bara.
Aletta cuma berharap. Bahwa jika dia tak bersama Bara, dia bisa bersama Gevan. Memang, Gevan terlihat seperti cuma pelarian, tapi kalian tak akan pernah paham, lelaki itu lebih dari itu. Karena dia juga salah satu alasan Aletta kembali ke Indonesia.
***
Next? 1 K Coment!
Jangan lupa baca cerita baru aku ya, judulnya Gelan for Melan cek aja di work ku!
Dan untuk grup chat iridescent WhatsApp 1 dan 2 udah penuh ya guys. Coba coment disana yang belum masuk, siapa tahu kalau banyak aku buat GC 3.
Bubay,
kharlynUlle.
30 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Teen FictionSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...