-
Seseorang mengetuk kaca jendela kamar Agatha. Agatha tersentak, dia melirik kaca jendela takut-takut.
“Please, jangan ganggu gue, gue udah capek diganggu sama semua orang, masa hantu mau ikut ganggu gue sih.”
Ketukan itu kian mengeras. Agatha semakin ketakutan.
“Buka jendelanya, Tha. Gue capek panjat pohonnya!”
Agatha tersentak, dia bergegas membuka kaca jendela dan menatap Gevan yang sedang berdiri di batang pohon sambil bersandar di jendelanya.
“Lo ... manjat?” Agatha mengeleng tak habis pikir, bagaimana bisa Gevan memanjat pohon mangga yang tinggi itu? Tapi, dia Gevan, apapun pasti bisa dilakukannya. Omong-omong ini cuma pohon mangga, Agatha saja sering memanjatnya hehehe.
“Minggir,” seru Gevan, Agatha menyingkir dan Gevan melompat masuk kedalam kamarnya.
Agatha merenggut. “Cepat keluar!! Lo nggak boleh masuk kekamar cewek!” seru Agatha tangannya meninju perut Gevan kencang.
“Sabar,” kata Gevan. Lelaki itu duduk diatas meja belajar Agatha dan menatap Agatha dalam.
“Jangan tatap gue kayak gitu! Ngeri tahu!” Agatha bersungut, dia berjalan dan duduk ditempat tidurnya. Berharap kalau yang saat ini ada di kamarnya adalah ... Bara.
“Lo harus ikut gue,” putus Gevan. “Ambil jeket lo.”
“Ikut kemana?” Agatha mengeleng.
“Lo mau ketemu Bara, nggak?” tanya Gevan.
Untuk sejenak. Agatha diam, matanya memandang Gevan, dan Gevan melihat ada banyak rasa dari tatapan itu, takut, cemas, sayang dan juga kesedihan.
“Bara kenapa?”
“Ikut aja,” nada suara Gevan berubah dingin. Dalam hati dia bertanya-tanya, kenapa semua cewek yang disukainya selalu berakhir bersama Bara? Gevan mengepalkan tangannya kesal.
Agatha meraih hoodie kuning dilemarinya dan memakainya cepat. Kemudian mengikuti Gevan yang sudah meloncat kembali ke pohon.
“Agatha?” suara Dion terdengar dibalik pintu kamar Agatha.
Agatha tersentak, dia buru-buru menutup jendela sehingga Gevan mengeram kencang karena tangannya ikut terjepit. Agatha semakin panik, dia mengambil laptop diatas nakas dan berbaring.
“Papa masuk aja! Nggak Agatha kunci!” teriak Agatha. Dion memutar kenop pintu dan ternyata memang bener tak dikunci.
“Papa dengar tadi ada suara cowok,” kata Dion, sambil mengusap matanya.
“Oh, ini, Agatha lagi nonton flm,” kata Agatha.
“Kamu nggak tidur? Ini udah jam sebelas malam,” kata Dion. Agatha tertawa dalam hati, Dion bahkan melupakan bahwa dia selalu insomnia sejak kecil.
“Ini baru mau tidur, sana Papa balik tidur lagi,” kata Agatha sambil pura-pura menutup laptopnya yang padahal sedari tadi tak dihidupkan. Dion mengangguk dan berjalan keluar dari kamar Agatha.
Agatha meloloskan nafas panjang. Dia bergegas mengunci pintu kamarnya. Gadis itu membuka jendela kamarnya dan terkejut mendapati Gevan yang sedang menghisap jarinya yang berdarah di atas pohon.
“Sakit banget? Mau gue ambilin obat?” tawar Agatha.
“Nggak perlu, udah sering,” balas Gevan. Dia menatap Agatha dengan pandangan geli. “Kalau lo mau bantu isap sih boleh.”
“Hilih!” Agatha berseru kesal. Dia kemudian turun dari jendela kamarnya dengan mudah.
“Lo bisa?” Gevan mengeleng disertai senyuman kecil. Awalnya dia berniat turun duluan dan menyuruh Agatha melompat untuk ditangkapnya. Namun ternyata dia salah, Agatha tetap gadis paling ajaib dengan tingkah-tingkah misteriusnya. Bagi Gevan Agatha adalah teka-teki paling sulit. Sedangkan bagi Agatha, Bara adalah kepingan puzzle paling berbeda untuk dirinya.
Agatha tertawa, dia melompat duluan ke rumput petak-petak dibelakang rumahnya. “Udah sering kabur dari rumah, waktu SMP.”
Gevan mengeleng tak percaya.
***
Bara menatap kearah datangnya motor Gevan dengan emosi memuncak, apalagi ketika Agatha juga turun dari motor itu. Senyuman Agatha merekah, dia melambai pada Bara yang langsung membuang muka membuat Agatha mengernyit tak paham.
“Bara kenapa sih?” tanya Agatha, dia berjalan disamping Gevan, tidak seperti bersama Bara sehingga dia harus berjalan dibelakang punggung tegap lelaki itu.
Gevan dan Agatha sampai di tempat banyak orang berdiri, termasuk Bara. Agatha mengintip kecil kebelakang punggung Bara dan menemukan Aletta disana.
“Ini ada apa?” racau Agatha binggung. Gadis itu melirik jeket hitam yang dipakai Aletta. Punya Bara.
“Kalian mau balapan?” lanjut Agatha. “Ih, kok hening?” lanjut Agatha.
“Gue cuma mau bilang, jangan ada yang ganggu Aletta untuk sekarang. Dia milik gue. Dulu sampai sekarang ... perasaan gue tetap sama dan selalu untuk dia.” Agatha terkejut dengan pengakuan Bara.
“Lo udah tahu apa jawabannya, kan? Siapa cewek yang bakal gue pilih?” lanjut Bara menatap Gevan tajam. “Gue sayang Aletta, selalu, bukan Agatha.”
Gevan inggin menghajar wajah Bara sekarang juga namun Agatha menahannya. Dia sudah tahu kenapa dia ada disini sekarang. Agatha menatap Bara, tatapannya kosong Bara tak pernah melihat tatapan itu untuknya sebelumnya. “Bar, lo tahu? Gue mau jadi jantung lo dan berhenti semaunya, agar lo tahu rasanya hampir mati ditikam patah hati.”
Bara membalas tatapan Agatha. “Agatha—”
Agatha memotongnya. “Gue benci lo Bara. Gue benci pernah suka sama lo. Gue benci sama diri gue sendiri karena walaupun lo udah sakitin gue seperti sekarang gue masih suka sama lo. Gue benci. Gue bakal berhenti ngejar lo mulai sekarang, berhenti suka sama lo atau berhenti peduli sama lo. Itu mau lo, kan?” tangan Bara terulur ingin mengusap air mata Agatha, namun gadis itu menepisnya.
“Pulang Gev, gue mau pulang.” Agatha berkata sambil menatap Gevan penuh harap. Gevan kemudian menarik tangannya dan membawanya pergi meninggalkan Bara yang hanya bisa menatap semuanya dalam diam.
Sebab, seharusnya dari awal Agatha paham; bahwa sejauh apapun dia berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. Jadi lebih baik berhenti.
***
Next? 600 coment.
Bubay,
kharlynUlle.
23 Februari 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Roman pour AdolescentsSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...