-
Agatha tidak tahu apa yang terjadi pada Bara. Lelaki itu menghilang selama seminggu ini padahal besok ada pertandingan basket yang mengharuskannya ikut. Tapi, setelah sore kelam itupun Agatha tak pernah bertemu dengan Bara lagi, disekolah maupun di manapun.
Aletta sering datang sendiri dan pulang merengek pada Gevan agar diantar. Dan entah mengapa, Gevan selalu tak bisa menolaknya. Agatha tahu, lelaki itu masih menyukai Aletta dari cara dia menatap gadis itu.
Langit mengelap, namun Agatha tetap berada dikelas. Kalau dia pulang kerumah, Gio pasti akan menyindirnya lagi untuk segera angkat kaki dari rumahnya dan Agatha bener-bener kalut.
Agatha meraih ranselnya, dia memutuskan untuk ke apartemen Bara mencari tahu sendiri apa yang terjadi pada lelaki itu.
***
Agatha memencet bel apartemen Bara namun tak dibuka sama sekali. Agatha mengintip lewat lubang kecil dicela pintu. "Bar?" panggil gadis itu sambil meneliti apartemen Bara yang sangat berbeda dengan terakhir kali dia kunjungi, sangat hancur, barang-barang berserakan dimana-mana termasuk botol-botol minuman keras.
Agatha menahan nafasnya sejenak. Tangan gadis itu terarah untuk mendorong pintu tersebut yang ternyata tak dikunci.
Agatha memaksa kakinya masuk. Gelap, Agatha menyalahkan lampu memberi pencahayaan disana. Gadis itu mulai melangkah semakin dalam.
"Bara?" panggil Agatha, suaranya bergetar.
Langkah Agatha terhenti kala menemukan Bara sedang duduk menatap keluar jendela apartemen diselimuti kegelapan. Matanya kosong, tak ada harapan disana.
Agatha menangis, dia mendekati Bara dan duduk disamping lelaki itu. Bara melihatnya, namun tak peduli.
"Gue tahu, lo cuma butuh cahaya untuk keluar dari hidup lo yang gelap. Tapi sayangnya, lo nggak pernah izinkan setitik cahaya buat masuk, kan? Tapi, gue Agatha, nggak perlu izin lo Bara, gue akan tetap masuk ke dunia lo yang gelap. Biar lo tahu apa itu iridescent, walaupun mungkin nggak semua warna yang gue berikan itu baik."
Bara menatap Agatha kosong. Dia tahu Agatha sangat keras kepala, dia bahkan nyaris meruntuhkan tembok besar Bara, tanpa peduli pada perisai dirinya sendiri yang hancur. Semuanya demi Bara. Adakah gadis sebodoh ini didunia juga?
"Bara..." Agatha tak bisa mengelak air mata yang mengucur deras membasahi pipinya. "Lo kenapa? Berkali-kali gue bilang cerita sama gue kalau lo punya masalah. Gue siap mikul sebagian masalah lo."
Bara tetap tak bergeming. Agatha tahu lelaki ini hanya tak tahu bagaimana membalasnya. Sehingga dengan nekad Agatha memeluknya, menyalurkan rasa hangat yang membuat Bara merasakan sesuatu yang tak bisa dimengerti.
Agatha memberikan semuanya pada Bara. Tapi, Bara tak pernah membalasnya seperti pelukannya.
"Gue nggak mau pulang kerumah. Gue benci ketemu sama dia. Tapi, gue kasian sama Mama, kalau gue nggak ada siapa yang jagain dia. Gue sayang sama Mama, Tha. Apalagi sekarang Mama lagi sakit, gue merasa bener-bener kacau."
Agatha mengeratkan pelukannya. "Kenapa lo nggak coba memperbaiki semuanya, Bar? Perbaikan hubungan lo dengan bokap lo, misalnya? Kalau nyokap lo masih sayang sama bokap lo, kenapa lo ... nolak?"
"Gue nggak bisa lupain, itu udah jadi sebagian dari trauma masa kecil gue. Dia ... papa yang buat gue patahin semua mimpi gue termasuk keluarga yang harmonis. Gue benci saat dia selalu mukul mama demi wanita sialan itu yang sekarang pergi setelah dapet yang lebih bagus, gue benci lihat mama nangis karena dia. Tapi, kenapa mama nggak pernah sedih? Kenapa mama nggak pernah mau cerai?"
"Karena mama lo cinta sama papa lo, please, Bara, perbaiki semuanya sebelum terlambat. Siapa tahu papa lo juga ... rindu sama lo yang dulu?"
Bara diam tak menjawab, namun Agatha tahu dia memikirkan ucapan Agatha. Bara tak bisa membohongi dirinya kalau dia juga masih sayang sama papanya.
"Lo mau temani gue ... pulang kerumah?" kalimat itu mengucur dari bibir Bara.
Agatha mengangguk. "Ayo." gadis itu bangkit duluan.
***
Bara diam. Dia melangkah masuk kedalam rumah yang sudah sebulan ini tak dia tempati semenjak papanya sering pulang. Agatha dibelakangnya mengikuti dengan gelisah. Agatha tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia juga gugup.
"Den Bara?" seorang pembantu berusia kisaran lima puluh lebih terkejut dengan kedatangan Bara dengan seorang gadis seusia majikannya itu.
Agatha tersenyum membalas.
"Eum, nyonya sama tuan lagi makan malam bersama, den," lapor pembantu rumah tangga itu yang akhirnya Agatha tahu bernama Bi Surti.
Bara berbalik pada Agatha, mengulurkan tangannya, Agatha mengernyit, namun akhirnya tersadar dan menerima uluran tangan itu.
"Bara?" seorang wanita seumuran dengan mama Agatha mendongak. Nampak begitu cantik, walaupun sudah tak muda lagi. Matanya memancarkan kebahagiaan, melihat anak lelakinya akhirnya mau pulang lagi.
Sedangkan, pria disampingnya hanya diam, engan menatap Bara. Dan dari diamnya, Agatha temukan begitu banyak penyesalan.
Wanita yang merupakan mama Bara bangun dan memeluk Bara erat. Entah apa yang membuat anaknya itu mau pulang. "Mama rindu kamu, Bara." Bara membalas pelukan mamanya menandakan kalau dia juga merindukan mamanya.
"Hi, kamu siapa?" mama Bara baru tersadar dengan keberadaan gadis berseragam putih abu-abu disamping anaknya itu. Dia tersenyum menggoda. "Pacar Bara?" tebaknya iseng membuat Agatha menunduk malu.
"Temen." Bara menyahut datar.
"Sama kayak Aletta dong?" tanya mama Bara yang membuat Agatha tersentak. Sudah sejauh itu, Aletta mengenal kehidupan Bara.
Namun, tiba-tiba mama Bara menarik tangan Agatha. "Makan bareng yuk."
Bara nampak ogah duduk dekat dengan papahnya yang hanya diam. Agatha bertanya-tanya, ini lebih suram dari acara makan keluarganya.
"Em, hallo om?" Agatha menyapa. Membuat ayah Bara yang hanya sibuk dengan piringnya, mendongak dan tersenyum menatapnya.
Sepertinya ... Agatha akan membuat keluarga ini lebih dekat lagi dari sebelumnya.
Yah, setidaknya seperti itu sebelum Aletta tiba-tiba muncul menghampiri mereka.
"Aletta? Sini ikut dinner, tante kira kamu nggak jadi dateng."
Aletta hanya tersenyum dan melangkah duduk disamping Mama Bara. Berhadapan dengan Agatha. Dia tersenyum kecil kala pandangannya dan pandangan Agatha bertemu. Namun, senyuman itu menyimpan banyak makna yang tak Agatha mengerti.
"Agatha, ini Aletta, temen Bara juga." Sopia berkata sambil tersenyum manis pada Agatha, berusaha agar Agatha merasa nyaman disini.
Agatha mengangguk dalam diam.
"Iya, bun, aku sama Agatha bahkan duduk sebangku." Aletta menjawab. Dan tunggu, tadi dia bilang apa? Bun? Bunda apa mereka sedekat itu?
"Oh ya? Kenapa nggak pernah cerita sama tante soal Agatha?" Sopia tertawa. "Padahal kayaknya Bara suka sama Agatha, loh, buktinya dia mau pulang kerumah karena Agatha."
Air muka Aletta berubah. Gadis itu memasang tampang sebal, bibirnya mengerucut dan dia tak suka Agatha dekat dengan keluarga Bara, apalagi sampai diterima dengan baik oleh Sopia.
Agatha sama sekali tak pantas menggantikan tempatnya.
***
Bubay,
kharlynUlle.
02 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Teen FictionSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...