-
Agatha tersentak dengan semuanya. Bara yang selalu cuek padanya kini begitu peduli ketika dia berada disini?
"Bara-"
Kalimat Agatha dipotong dengan Bara yang melepaskan cekalan tangannya. Matanya memandang Agatha begitu dalam.
"Gue bilang pulang Agatha. Gue nggak suka ada cewek disini," kata Bara.
"Terus mereka siapa? Waria?" kata Agatha dengan nada bercanda sambil menunjuk gadis-gadis berpakaian seksi yang duduk di tribun penonton dan memandang tajam kearahnya.
"Lo beda," jawab Bara. "Jadi ayo pulang, jangan buang-buang waktu gue. Gue benci itu kalau lo mau tahu." Agatha diam mendengar nada dingin dalam kalimat akhir Bara.
"Dia datang sama gue," ucap Gevan tiba-tiba. Dia menarik Agatha kesampingnya. "Berarti pulangnya juga sama gue, kan?"
"Emang gue peduli dia datang sama siapa?" balas Bara santai.
Gevan mengeram. "Nggak usah egois lo, karena keegoisan lo juga lo kehilangan Letta, kan?"
Bara kehabisan kesabaran. Dia benci setiap kali nama Letta disebut-sebut. Nafasnya memburu kencang, urat-urat lehernya terlihat mengerikan. Dia menarik tubuh Gevan dan melayangkan satu tinju tepat ke rahang Gevan. Agatha memekik refleks dengan semua kejadian yang tak bisa diprediksinya.
"Nggak usah bawa-bawa Letta, ngerti lo?! Dia pergi bukan karena gue, tapi karena lo yang juga suka sama dia disaat gue dan dia hampir jadian, bangsat!"
Gevan menyikap kasar darah yang mengalir di bibirnya. "SEHARUSNYA LO YANG SADAR DIRI KALAU LETTA LEBIH DULU KENAL SAMA GUE DIBANDING LO! LO YANG HANCURIN SEMUANYA, SIALAN!?"
Agatha berdiri kikuk. Otaknya sibuk memproses. Letta? Siapa? Kenapa cewek itu bisa membuat Gevan dan Bara semarah ini?
Gevan balas memukul Bara karena terlalu emosi. Keduanya kemudian saling beradu jotos.
Agatha tersadar dan berniat memisahkan mereka namun gagal.Gadis itu mengalihkan pandangannya ke belakang dan mendapati temen-temen Bara dan Gevan hanya menonton saja. "Lo pada bantu pisahin dong! Jangan jadi patung, aja!" teriak Agatha.
"Nggak gue nggak berani," sahutan itu terdengar saling membalas.
Agatha berdecak, gadis itu mencari ide lain dikepalanya agar mereka berhenti berkelahi dan menyebut-nyebut nama Letta. Karena jujur, Agatha cemburu. Sejauh ini dia menyukai Bara dia sama sekali tak mengenal siapa itu Letta.
"Aduh!" Agatha meringis kencang setalah dia sengaja menjatuhkan dirinya tepat didekat Bara dan Gevan.
Kedua lelaki itu tersentak. "Tha, lo nggak apa-apa?" tanya Gevan dengan nafas masih memburu, dia menyodorkan tangannya berniat membantu Agatha berdiri namun kalah cepat saat Bara menarik Agatha berdiri kemudian menariknya pergi. "Kita pulang."
"Sialan," Gevan mengumpat sambil menghapus darah yang keluar disudut bibirnya menggunakan lidah karena Agatha malah memilih pulang bersama Bara.
"Lo!" lelaki itu menunjuk salah satu temannya. "Cari orang buat ganti pemain balapan malam ini. Dan atur hari berikutnya buat gue dan Bara."
Dilain tempat Bara menyalahkan motornya dan menyuruh Agatha naik. Agatha naik ke boncengan Bara dalam diam. Dia menatap punggung tegap Bara didepannya. Ini kali pertamanya lelaki itu mau mengantarkan Agatha pulang selama ini.
"Bara," panggil Agatha pelan, namun suaranya kalah keras dari hiruk pikuknya jalanan raya malam ini.
Tak mendapat respon dari Bara, Agatha memeluk semakin kencang jeket hitam ditubuhnya.
Sabar.
Jeket hitam?
GEVAN!?
Kenapa cuma karena Bara, Agatha bisa melupakan segala hal!? Agatha merunduk, semoga saja Gevan tak marah padanya. Dia punya banyak utang pada cowok itu, baik itu jeket maupun uang menganti makanan.
"Rumah lo dimana?" teriak Bara kesal karena untuk kesekian kalinya tak mendapat balasan.
Agatha tersentak, karena asik melamun dia melupakan hal tersebut. "Jalan anggrek!" balas gadis itu ikut berteriak karena takut suaranya tak didengar Bara. "Entar gue tunjukin rumahnya!"
Motor yang dikendarai Bara masuk kedalam kompleks rumah Agatha. Mesin motornya mengeluarkan suara bising yang baru disadari Agatha, mungkin karena tadi dijalanan besar yang bising dan sekarang dikomplek rumah Agatha yang sepi oleh karena itu suara knalpotnya begitu bising, lebih bising dari motor Gevan.
"Yang depan, pagar putih," kata Agatha.
Bara hanya diam dan memberhentikan motornya dirumah yang Agatha sebut.
Agatha turun dari boncengan Bara, dia memandang cowok itu dengan senyum lebarnya. "Makasih Bara. Karena lo udah tahu rumah gue besok mau jemput lagi boleh kok."
Bara tersentak. "Jangan kegeeran gue nganterin lo hari ini yang pertama dan terakhir karena malas lihat orang yang gue kenal deket sama Gevan."
"Gue kira lo cemburu," ceplos Agatha.
"Eh, tapikan sebelumya lo bilang gue beda?" gadis itu tersenyum semakin lebar. "Gue beda apanya??" tanyanya dengan nada menggoda.
Bara tak menggubris. "Gue pulang," katanya datar sambil menarik pedal gasnya dan berlalu dari depan rumah Agatha. Agatha masih ditempatnya, memandang Bara dengan penuh rasa sampai bunyi knalpot racing lelaki itu tak terdengar lagi.
Hari ini dia melihat sosok lain dalam diri seorang Xavier Gabara. Dan, juga hal baru seperti seseorang bernama Letta yang masih mengusik pikirannya.
Agatha menghela nafas panjang dan berbalik kemudian membuka pagar rumahnya dan terkejut mendapati dari tadi ada seseorang yang duduk minum kopi diteras.
"Papa ..."
"Jadi ini yang dilakukan anak gadis papa setiap hari kalau papa nggak ada? Pulang larut pakai baju sekolah sama cowok?"
***
Jangan lupa vote dan coment ya!
Pengen update terus, tapi tugas sekolah nggak bisa diajak kompromi :(
Mau bacotttt tapi nggak tahu mau bacotin apa yaudah dehh
Bubay,
kharlynUlle.
17 Januari 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Fiksi RemajaSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...