25| Hujan

106K 7.1K 672
                                    

-

Hujan menderu kencang, suara guntur terdengar gemuruh dimana-mana. Sepertinya langit sedang marah pada bumi. Agatha menyebrang di zebra cross yang sepi dengan cepat dan masuk duduk didepan minimarket dengan muram saat hujan mulai jatuh membasahi bumi. Gadis yang masih menggunakan pakaian seragam sekolah itu menunduk diam.

“Seharusnya gue nggak nonton Bara main basket,” ucap Agatha merunduk semakin dalam. Kata siapa Agatha akan berubah, karena sejauh apapun dia memutuskan melupakan Bara hal itu justru kian mengangunya. Agatha akhirnya memutuskan menonton Bara dari lantai tiga kelas XII yang langsung menghadap ke lapangan basket.

Ponselnya berdering dengan takut-takut akan guntur Agatha menyalahkan benda pipih itu dan membacanya didalam tas ranselnya.

Gevan: lo dimana? Gue dirumah lo, cepetan pulang gue males ladenin Irene.

Namun, Gevan salah, pesannya justru membuat Agatha semakin tak ingin pulang kerumah.

Agatha tertawa miris menatap hujan lebat yang turun. “Kalau lihat hujan gue suka inget sama Bara, soalnya mereka sama. Sama-sama ada tapi nggak bisa gue rengkuh.”

“Lo-nya aja yang berhenti sebelum garis start.”

Agatha terkejut, dia menoleh dan semakin kaget kala melihat tubuh jangkung Bara masih dengan pakaian basket motif-motif oranye keluar dari dalam minimarket dan duduk disampingnya, saat itu juga alarm bawah sadar Agatha menyeruak agar ia segera kabur namun hatinya memaksa dia tetap bertahan.

“Lo-lo sejak kapan disitu?” Agatha menutup wajahnya malu. “Tadi-tadi gue cuma ngigo!”

Bara tertawa, ini kali pertama Agatha melihat tawanya hangat dan beku dalam satu waktu. Tawanya begitu sulit untuk Agatha jabarkan.

“Lo belakangan ini menghindar dari gue,” kata Bara datar namun terdengar menuntut penjelasan.

“Oh, nggak gue cuma mau berhenti melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah lo bilang, kalau suka sama lo itu cuma hal bodoh.”

Bara diam sebentar. “Gue mau lo balik jadi Agatha yang dulu.”

“Agatha yang bodoh maksud lo?” Agatha mengeleng kencang. “Agatha yang lama udah mati, seharusnya lo paham, Bar. Jangan buat gue bimbang kayak gini.”

“Gue ...” Bara mengajak rambutnya frustrasi. “Gue rindu Agatha yang dulu. Gue rindu saat-saat dimana senyuman lo cuma buat gue, Tha.”

Mata Agatha membulat sempurna dia tak mengerti bahwa Bara akhirnya mengatakan kalimat itu padanya. Agatha bahkan inggin memeluk Bara saat ini juga namun dia teringat satu hal ... bukankah semuanya sudah terlambat? Bara cuma merindukan senyuman Agatha, namun Bara tetap mencintai Aletta. Agatha paham itu.

Gadis itu bangkit dari duduknya membuat Bara terkejut dan tanpa aba-aba dia maju dan menerobos hujan lebat. Bara mengeleng, dia tetap Agatha si gadis bodoh dengan tingkah-tingkah ajaib yang tak pernah dimengerti Bara. Bara ingin menyusulnya namun satu chat masuk ke ponselnya.

Aletta: Bara... jemput gue disekolah sekarang, gue nggak ada jemputan sampai sekarang. Kalau lo sayang sama gue dateng sekarang, gue takut sendiri.

Bara tahu, bahwa dia akan selalu memilih Aletta untuk siapapun.

Agatha yang sudah beberapa langkah menoleh kebelakang dan berdiam sebentar kala Bara tak mengikutinya. Dia tertawa sumbang saat Bara pergi kearah motor lelaki itu yang berada di arah lain dan pergi.

“Bara ... you keep giving butterflies to my heart even if it hurts me.” Agatha berbisik disela hujan yang mengucur membasahi dirinya.

Gadis itu akhirnya semakin berjalan menjauh dengan airmata yang mengucur. Terkadang hanya hujan yang mengerti dirinya, karena ketika dia menangis hujan tak pernah membuat dirinya menangis sendirian.

***

Next? 50 coment!

Bubay,

kharlynUlle.

17 Februari 2020.

Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang