-
“Jadi ini yang dilakukan anak gadis papa setiap hari kalau papa nggak ada? Pulang larut pakai baju sekolah sama cowok?”
Alana muncul dari pintu dan tersenyum sinis memandang Agatha. “Keseringan dia Mas, kalau dibilangin sama aku nggak nurut,” ujar Alana.
“Beda dia sama Irene, Irene mah jam gini udah dikamar lagi belajar,” sambung Alana semakin memojokkan Agatha.
“Nggak!” Agatha mengeleng berurai air mata. “Agatha baru kali ini pulang malem. Tadi juga mampir ke rumah Mama dulu,” nada Agatha mengecil.
Dia Ingin mengatakan bahwa selama papahnya pergi Irene selalu ke club malam dan pulang dengan keadaan mabuk, terkecuali malam ini karena sudah pasti diberitahukan oleh Alana kalau Dion akan pulang malam ini. Namun, rasanya semua percuma.
“Kali ini atau berkali-kali selama Papa nggak ada?” kata Dion semakin memojokkan Agatha. “Seharusnya kamu contohin Irene, Agatha, dia nggak biasa keluyuran malam kayak kamu. Lebih baik kamu belajar sekarang, Papa pusing lihat nilai-nilai diraport kamu yang nggak ada baik-baiknya.”
“Emang nilai Kak Irene baik—”
“Nggak usah banding-bandingin deh kamu! Irene masih lebih tahu sopan santun daripada kamu!” teriak Alana.
Agatha mengeleng, dia memilin rok sekolahnya. “Agatha capek.”
“Capek karena kerja kamu cuma senang-senang aja, kan?” jawab Dion. “Lebih baik kamu masuk sekarang, Agatha. Jangan buat Papa tambah pusing, malu dilihat tetangga sama kelakuan buruk kamu!”
Air mata Agatha turun, dia menghapusnya kasar dan berlalu kekamar nya dengan membawa hati yang hancur.
***
Agatha menangis kencang. Menumpahkan semuanya pada bantal diatas kasurnya. Dia bener-bener lelah, bener-bener capek, bener-bener merasa begitu hampa.
Dia tak tahu harus kemana. Dia tak mempunyai rumah. Dia seharusnya tak dilahirkan ke dunia, karena dia sama sekali tak diharapkan. Agatha berjanji tak akan pergi kerumah Mamanya lagi karena suami baru Mamanya begitu membenci dirinya, tadi saja Mamanya berdebat dengan suaminya hanya karena Agatha meminta uang. Tapi, kemana dia harus pergi? Bertahan disini? Bertahan dirumah yang selalu membuatnya tertekan?
Agatha menyikapi airmatanya kasar. Dia bener-bener muak dengan dunia palsunya.
***
Agatha tersentak dan tersadar bangun. Semalam dia menangis sampai tertidur. Sekarang, matahari sudah tinggi dan sebagian cahayanya berusaha masuk dari tirai putih kamarnya. Gadis itu melirik kearah jam yang nyaris menyentuh angka tujuh. Tumben tak ada yang membangunkannya. Biasanya Alana selalu menyuruh Bi Indah membangunkannya untuk kerja. Agatha tersadar semua ini pasti ulah Alana karena inggin memperburuk citranya dimata Dion.
Agatha buru-buru masuk kamar mandi dan mandi dengan gerakan seribu bayangan. Gadis itu kemudian keluar dan segera menyisir rambutnya cepat, dia bergerak memasukkan buku-buku asal kedalam ranselnya. Kemudian meraih sepatu dan memakainya dengan kilat. Gadis itu menatap wajahnya di cermin dengan nafas ngos-ngosan, dia menepuk jidatnya dan segera memakai bedak bayi dengan cepat kemudian menyemprotkan parfum vanilla kesukaannya dan memakai lotion dikaki dan tangannya. Gadis itu menyisir lagi rambutnya yang dibiarkan terurai dan memungut tasnya dan segera turun kebawah.
Ternyata, dimeja makan masih ada Papahnya, Alana, dan Irene yang sedang sarapan. Namun, hawanya begitu mencekam entah karena apa. Agatha duduk setalah disuruh Papahnya, mengambil susu coklat dimug dan meminumnya dengan cepat karena sudah terlambat.
“Tapi ... Irene bener-bener butuh. Boleh ya, Ma, Pa, sepuluh juta aja gimana?” Irene membuka suara membuat Agatha hampir memuncratkan susu dimulutnya namun segera dia telan.
Alana menghembuskan nafas panjang. Semakin lama Irene semakin menjadi-jadi. Kemarin baru saja meminta uang lima juta. Kemarinya lagi mengambil uang Agatha yang ditinggalkan Dion untuk anak kandungnya itu. Pengeluaran Irene bulan ini saja nyaris menyentuh angka lima puluh juta.
“Kamu mau ngapain uang itu, Irene?” akhirnya Dion buka suara. Lelah sendiri direcoki gadis itu sedari tadi karena uang.
“Ya, itu, Irene mau itu, buat tugas...”
Agatha tahu Irene berbohong. Tapi, yasudah lah. Tak ada yang percaya padanya juga sejauh ini.
Dion menghembuskan nafas panjang. “Yaudah entar papa transfer ke rekening kamu,” jawab Dion.
Agatha diam kemudian bangkit dan memperbaiki letak ranselnya di punggung.
“Agatha, mau kemana?” tanya Dion. “Kamu berangkat sama siapa?”
Agatha hanya menatap Dion dengan senyuman lebarnya, memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja walaupun dalamnya dia hancur.
“Agatha mau ke sekolah, dong. Berangkat? Naik bus yaudah yaa, Agatha berangkat sekarang entar ketinggalan bus!”
“Tumben nggak minta uang jajan sama Papa?” tanya Dion.
Agatha tersenyum seolah semuanya baik-baik saja, mulutnya terbuka dan ingin mengucapkan kata yang sudah diujung mulutnya namun suara Alana menghancurkan semuanya.
“Kemarin baru dikasih uang jajan sebulan sama saya, Mas,” jawab Alana cepat.
Kebohongan apa lagi ini? Bukankah uang yang ditinggalkan untuknya saja sudah diberikan pada Irene? Sudahlah, Agatha juga malas berdebat karena pada akhirnya dia selalu yang salah.
***
Next? Vote coment ya. Sebenarnya, aku mau lanjut dari kemarin, tapi chapter yang udah capek-capek aku ketik hilang gitu aja. Sempat badmood dan malas ngetik, tapi aku usahain. Wattpad sekarang error mulu dah.
Bubay,
kharlynUlle.
19 Januari 2020. (I don't know its a bad day or good day)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Fiksi RemajaSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...