-
“Baik, untuk nomor berikutnya dikerjakan oleh ...” mata Bu Misel menjelajah semua wajah didalam kelas dan berhenti tepat di Agatha. Jantung Agatha berdetak kencang, berkali-kali dia berdoa dalam hati agar jangan dia, namun sepertinya Dewi Fortuna sedang tak berpihak padanya. “Agatha,” sebut Bu Misel disambut gelak tawa seisi kelas. Wajah Agatha kian memerah.
“Mana bisa dia? Wkwkwk, otaknya aja hanya diisi sama Bara.”
“Ngakak aja deh.”
“Udah-udah lihat aja, dia mau ngapain didepan papan.”
“Palingan juga jadi patung!”
Cibiran-cibiran itu saling menyambung, membuat Agatha semakin merunduk. Perutnya berputar, keringat dingin membanjiri dahinya.
“Agatha?” panggil Bu Misel lagi. “Ayo maju kedepan, pasti bisa kok,” lanjut Bu Misel.
Agatha semakin gugup. Namun, dengan begitu terpaksa dia memutuskan untuk maju kedepan papan tulis, menatap angka-angka disana yang sama sekali tak dimengerti olehnya.
Menit-menit berlalu dengan Agatha yang hanya berdiri diam didepan. Bu Misel menghela nafas panjang.
“Masukin rumusnya dulu. Kamu tahu rumus barisan dan deret, kan?”
Agatha diam kemudian mengeleng yang disambut gelak tawa seisi kelas kecuali Bara dan Lino. Bara yang hanya memandang Agatha datar. Dan, Lino yang memandang Agatha kasihan.
“Agatha ...” Bu Misel mengeleng. Dia beralih menatap seisi kelas. “Ada yang mau bantuin Agatha?”
“Nggak usah Bu, Agatha pasti bisa kok, otaknya kan jenius kayak Albert Einstein,” jawab Edo kemudian tertawa terbahak-bahak.
“True. Albert Einstein 100, Agatha 0 maksud lo kan, Do?” jawab Nesa sambil tersenyum puas.
Agatha merunduk. Dia memandang lantai kelas dengan air mata tergenang. Jangan nangis Tha, lo kan kuat, yang mereka bilang juga bener, kan? Lo bodoh.
Agatha tersetak saat spidol ditangannya dirampas oleh seseorang. Bau mint-nya terasa begitu familiar. Dengan penesaran Agatha mendongak. Dia menatap sosok jangkung Bara yang sudah berdiri disampingnya, sedang mengerjakan soal matematika dipapan dengan cepat. Agatha menatap dirinya lagi yang begitu kecil disamping tubuh Bara. Seharusnya ... Agatha senang bisa berdiri disamping Bara. Namun kali ini, dia merasa begitu malu dengan kebodohannya. Agatha tahu; Bara benci cewek bodoh sepertinya.
Bara menyelesaikan soal tersebut kurang dari sepuluh menit. Bu Misel tersenyum bangga dan memeriksa hasilnya.
“Thats right, Bara. Kamu bener-bener jenius,” jawab Bu Misel.
Bara hanya tersenyum kecil membalasnya.
“Kalian bisa kembali ke tempat semula,” lanjut Bu Misel bertepatan dengan suara bel istirahat yang berbunyi nyaring. Bu Misel bergegas merapikan buku-buku dimeja guru dan keluar setelah mengucapkan salam dan mengingkatkan untuk mengerjakan tugas yang tadi sempat diberikan.
Semua penghuni dalam kelas ngacir keluar ke kantin. Namun tidak bagi Agatha, moodnya begitu hancur. Gadis itu hanya diam dalam kelas. Beberapa saat kemudian dia memutuskan untuk keluar dari kelas dan berjalan menuju belakang sekolah untuk menenangkan diri. Namun, seseorang berteriak memangil namanya.
“AGATHA!”
Agatha berbalik mencari sumber suara. Dan dia mendapati gadis yang waktu itu berkenalan dengannya berlari menujunya. Agatha mengingat-ingat namanya sebentar ... oh Xela.
Gadis itu berhenti tepat didepan Agata dengan nafas memburu. “Lo harus lihat ini! Gue awalnya nggak percaya! Tapi, ternyata bener itu emang elo!” serunya sambil menarik tangan Agatha.
***
Walaupun lagi badmood banget karena tugas sekolah yang menumpuk dan beberapa masalah aku tetap usahain update kok buat kalian :) jangan lupa vote dan coment ya!
Bubay guys,
kharlynUlle.
20 Januari 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Novela JuvenilSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...