-
“Itu! Lino baris yang baik! Jangan berdiri kayak ayam penyakit kamu!” teriak Pak Markus kesal karena lelaki itu baris dengan sembarang.
“Iya Pak!” Lino menjawab, dan bergegas kebelakang Edo dan berbaris rapi disana.
“Nesa! Baris yang baik, jangan kayak lagi nonton konser kamu!”
Nesa yang saat itu sedang melipat tangan didada. Sambil mengipas wajahnya dengan kipas merenggut kesal. “Panas, Pak!”
“Ya, panas-lah namanya juga lapangan!” balas Pak Markus lebih kesal lagi.
“Ya, nanti kulit kita hitam, Pak! Capek-capek beli skincare mahal!” jawab Tia ikut-ikutan.
“Udah-udah kalian jangan sok ngartis!” pak Markus membalas sewot dan sontak membuat sebagian orang menertawakan Nesa dan Tia.
“Mulai senamnya!” Agatha diam-diam ikut berdecak, malas banget sama pelejaran olahraga.
Setelah selesai senam, Pak Markus berniat membagi perempuan dan laki-laki menjadi dua kelompok untuk bermain basket dan dia akan pergi ngadem ke kantin untuk minum kopi, namun kedatangan seorang murid membuat waktunya semakin terbuang.
“Maaf, Pak, saya terlambat,” ujar gadis itu tak enak. Wajahnya pucat, nafasnya memburu, menandakan dia sempat berlari tadi.
“Aletta? Kenapa kamu terlambat?” perubahan nada bicara pak Markus membuat semua orang berdecih.
“Modus, njir, udah tua juga!” Edo mencibir.
“Sangat disayangkan, saya harus beri kamu hukuman biar mereka nggak sirik. Kamu mau temani saya minum kopi dikantin, apa lari sepuluh putaran?”
Wajah Aletta memerah, dia menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga, membuat beberapa orang disana terpana dengan kecantikannya. Termasuk Edo yang tak henti-hentinya berdecak kagum.
“Aku ... lari sepuluh putaran aja, Pak.” Aletta menjawab, namun ada nada tak yakin dalam kalimatnya. Bahkan Bara berdecak kesal dengan jawabannya membuat Agatha diam-diam memandang Bara yang berdiri di barisan belakang dan Aletta yang didepan.
“Yah...” pak Markus menghela nafas berat, dia mengedipkan sebelah matanya sebelum melanjutkan ucapannya. “Ya udah, silahkan lari Aletta, bapak ada urusan bentar ya, kalian lanjut main basket!”
“Cih, urusan? Palingan juga mau apelin ibu kantin, aneh bat gue, modus nya patut diacungi jempol, Bar!” seru Lino sambil tertawa.
Bara tak peduli, lelaki itu mengambil satu bola berwarna oranye dan mendribel nya. “Lo pilih tim lo, lawan gue,” kata Bara pada Lino. Lino mengangguk, karena cuma dia dan Bara yang bergabung di ekstrakurikuler basket. Terutama menjadi tim inti.
Agatha cemeburut. Dia duduk sendiri dibawah pohon karena jumlah mereka ganjil, mengingat Aletta sedang berlari sekarang, jadi kata Nesa tadi 'Lo tungguin Aletta, habis itu Aletta masuk tim gue lo tim Novi!'
Agatha memainkan rumput kering dikakinya. Ada baik juga, dia tak perlu lari-larian seperti mereka mengejar bola berwarna oranye itu. Agatha tak pernah bisa dalam olahraga. Bahkan berlari sekalipun. Gadis itu lemah di pelejaran olahraga, dia mageran, tapi kalau ketemu Bara jadi meledak-ledak. Semua orang tahu itu.
Agatha melarikan pandangannya, menatap ke lapangan sebelah yang digunakan oleh temen laki-lakinya. Namun fokusnya hanya pada Bara yang sedang membawa bola basket.
Kenapa lelaki itu selalu mempesona? Bahkan dengan melihatnya, pipi Agatha sudah bersemu merah, memang konyol.
“ALETTA PINGSAN, WOY!”
“HA! ALETTA! LETT!”
“WOY, TOLONG GENDONGIN DONG!”
Agatha tersentak dengan keributan itu, dia melarikan pandangannya dan menemukan tubuh Aletta yang sudah terlentang di lantai lapangan, dikelilingi beberapa temen ceweknya yang berteriak-teriak.
Teriakan itu bahkan sampai membuat temen-temen laki-laki mereka menghampiri. Edo berniat melingkarkan tangannya di lutut Aletta, ingin mengendongnya.
Namun tangannya ditepis tiba-tiba, dan detik berikutnya Bara membawa tubuh Aletta dalam kurungan tangannya. Mengendong gadis itu ala bridal style dan membawanya menuju UKS.
Poor Agatha. udah berapa juta kali Bara patahin hati lo?
“Hati lo aman bor?” suara Lino memecah hening, lelaki itu sedang menepuk pundak Edo dan Nesa sebelum melangkah mendekati Agatha.
“Nggak usah patah hati, maksud Bara kan baik, Aletta temen-nya.”
“Temen hidup maksud lo, Lin?”
Dan Lino bener-bener tak bisa berkutik dengan balasan Agatha.
***
“Tadi Aletta pingsan,” cerita Agatha, saat ini dia dan Gevan sedang duduk dimeja tengah kantin sambil memakan mie ayam dan juice jeruk. Bara tadi menjemputnya kekelas waktu bel istirahat berbunyi.
Gerakan Gevan yang ingin menyeruput juice jeruknya terhenti. Dia memandang Agatha, dengan pandangan bertanya atau peduli, entahlah.
“Dia dihukum lari lapangan sepuluh putaran.”
Raut Gevan berubah, begitu marah. “Dia dimana sekarang?”
Agatha tersentak. “Ah, di UKS, dijagain Bara—” Gevan sudah duluan bangkit dan berlari pergi dari kantin.
Agatha merunduk, menatap mangkuk mie ayam Gevan yang masih setengah dan juice jeruknya yang belum disentuh sama sekali, kemudian matanya beralih pada makanannya yang sama, belum disentuh juga. Pesanan mereka bahkan belum sampai lima menit dimeja.
“Woy!” Agatha tersentak dan mendongak.
Irene didepannya berdecih. “Sialan lo, gue bilang jauhin Gevan! Ogah banget bersaing sama lo yang nggak ada apa-apa.”
Agatha mengembuskan napas panjang. Mood nya sedang rusak, dan Irene semakin mengacaukan suasana hatinya.
Raut wajah Irene berubah pias. Dia melirik kemeja temen-temennya dan kembali memandang Agatha. “Tha...”
Agatha tersentak dengan panggilannya, dan menatap gadis ber-make up tebal itu binggung.
“Pinjem uang dong, gue disuruh bayarin semua makanan mereka. Lo tahu sendiri Megan, kayak gimana.”
Agatha tersentak. Gadis itu mengeluarkan uang berwarna merah dari saku bajunya yang tadi pagi diberikan Via. Walaupun Irene menyebalkan, Agatha peduli padanya. “Gue saranin lo berhenti temanan sama mereka. Mereka cuma porotin lo doang.”
“Udah nggak usah bacot!” Irene merampas uang ditangan Agatha dan berlalu kembali ke mejanya.
Agatha mengaduk mie ayamnya dalam diam. Semuanya sudah jelas. Agatha tertawa, ternyata selama ini dia yang terlalu bodoh, karena selalu bertahan untuk akhir yang menyakitkan.
***
Bubay,
kharlynUlle.
04 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [SUDAH DITERBITKAN]
Teen FictionSebab, sejauh apapun Agatha berusaha mendapatkan hati Bara semuanya akan tetap sama; percuma. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia, kan? Sama saja seperti hidupnya yang palsu. [CERITA TELAH DITERBITKAN] #04 on fiksiremaja [17 Februari 2020] #05 on...