Duapuluhtujuh

6.8K 953 285
                                    

italic for flashback.

.





.


Peperangan yang terjadi saat itu memang tidak sebesar perang yang terjadi lima belas tahun yang lalu tapi tetap meninggalkan bekas luka yang mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.

"Seokjin,"

Sang luna yang tengah duduk melamun seorang diri di cafe wilayah manusia tersentak kaget saat melihat Luna sebelumnya datang. Melihat siapa yang datang, Seokjin segera berdiri dan membungkukan badannya sopan.

Sang Luna itu tersenyum kecil. "Jangan seperti ini, nak. Aku eommamu." Wanita cantik itu duduk di kursi depan Seokjin. Meja bulat menjadi pemisah keduanya.

Seokjin ikut mendudukan dirinya. "Bukankah tidak sopan kalau Seokjin langsung melambaikan tangan heboh?"

Sang ibu terkekeh. "Kau benar." Balasnya.

"Eomma ingin memasan sesuatu?" Tanya Seokjin.

"Ice americano?" Balas sang ibu ragu.

"Eomma yakin?" Seokjin meyakinkan.

Sang ibu menggeleng. "Tentu tidak. Eomma tidak bisa minum kopi. Tapi eomma tidak tau harus memesan apa."

Seokjin mengangguk mengerti. "Biar Seokjin yang minum kalau begitu." Balas Seokjin yang diangguki oleh sang ibu.

Seokjin memanggil pelayan untuk datang ke mejanya. Pelayan datang dan Seokjin memesan minuman serta beberapa makanan manis. Pelayan pergi setelah sebelumnya mengatakan untuk menunggu pesanan yang akan datang beberapa menit lagi. Seokjin mengangguk mengerti tak lupa untuk mengucapkan terima kasih.

Sang eomma melihat pesanan menantunya ini -secangkir kopi pahit yang tinggal sedikit. Sang eomma memang tidak paham dengan dunia kopi tapi baginya semua kopi adalah pahit dan Seokjin bilang mau meminum minumannya. Padahal dia tau menantunya ini sedikit mirip dengannya -tidak terlalu suka kopi karena rasanya yang pahit.

"Kau mau meminum kopi punya eomma. Sedangkan kopi milikmu sudah mau habis. Apa tidak pahit?"

Seokjin menatap kopi miliknya yang tinggal sedikit itu. "Seokjin suka yang pahit." Ucapnya tanpa menatap sang ibu.

Sang ibu tersenyum kecil melihat balasan dari sang anak. Senyum yang sarat akan kesedihan. Sang eomma tau ini cara Seokjin mengalihkan rasa sedihnya. "Sudah berapa lama kau disini, nak?"

Seokjin mendongak menatap sang ibu, "entah. Sejak tiga jam yang lalu?"

"Kau sudah makan?"

Seokjin mengangguk, memutari bibir cangkir dengan telunjuknya. "Sudah."

"Benar? Makan apa?""

Seokjin meringis kikuk. "Roti? Yeah, roti."

Sang eomma melirik piring kecil yang hanya terdapat sendok kecil di sana. "Roti itu?"

Seokjin melirik piring kecil bekas makannya. Seokjin mengangguk pelan sebagai jawaban.

Sang ibu menghela nafas. Tangannya menggenggam tangan Seokjin, tangan itu terasa lebih kurus dibandingkan saat awal mereka bertemu. Mata sang ibu menatap bagaimana rupa sang menantu yang terlihat lelah lengkap dengan kantung mata dan lingkar hitam yang tercetak jelas di sana.

W n HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang