(Part 3) Hari Yang Kurang Baik

191 16 0
                                    

Mentari bersinar dengan terangnya. Terlihat titik-titik embun di atas dedaunan. Suara burung terdengar bak seorang puitis yang sedang melantunkan puisinya. Terlihat seorang gadis dengan seragam SMA tengah duduk di bangku taman sekolah sembari membaca sebuah buku novel.

"Khanza!" kejut Rani.

"Astaghfirullah! Ah, dasar Rani. Kau membuatku terkejut," gerutu Khanza.

"Hehe, maaf. Ketika melihatmu fokus membaca buku, tiba-tiba ideku untuk mengusilimu datang," ujar Rani sambil tertawa kecil.

"Kau memang tidak pernah berubah. Selalu saja membuatku kesal," jawab Khanza sambil menjitak pelan kepala Rani yang terbalut hijab.

"Iya iya, maaf. Umm, kau sedang membaca buku apa?"

"Oh, ini buku terbitan terbaru dari salah satu penulis favoritku."

"Wah, sepertinya menarik. Apakah aku boleh meminjamnya?" tanya Rani.

"Tentu saja. Setelah aku selesai membaca buku ini, kau boleh meminjamnya," jawab Khanza.

"Terimakasih. Kau memang sahabatku yang sangat baik," puji Rani sembari mencubit pipi Khanza pelan.

"Jangan seperti itu. Kau selalu saja bertingkah seperti anak kecil," gerutu Khanza, kemudian berjalan pergi meninggalkan Rani.

Teeeett...teeeeett...teeeeett..

Bel sekolah berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Seluruh siswa sudah berada di dalam kelas saat ini.

"Anak-anak, kalian tidak lupa PR yang ibu berikan minggu lalu, bukan?" tanya seorang guru yang baru saja masuk ke dalam kelas.

"Tidak bu," jawab seluruh siswa.

"Duh, aku lupa! Bagaimana ini?!" gumam Reina.

"Aduh, bagaimana bisa lupa?" tanya Khanza.

"Sebenarnya aku sudah memiliki niat untuk mengerjakannya sejak minggu lalu. Tapi aku lupa, dan semalam justru aku terlalu asyik menonton drama korea," jelas Reina.

"Dasar kau! Bagaimana bisa kau seperti itu? PR ini jauh lebih penting daripada Oppa kesayanganmu itu," sahut Khanza.

"Aku sangat payah. Lalu aku harus bagaimana? Aku takut Bu Retno akan marah padaku nantinya."

"Ya sudah, kau pinjam saja buku PR-ku. Tapi lain kali jangan kau ulangi hal yang sama lagi," ujar Khanza.

"Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Terimakasih banyak, Khanza," ucap Reina, kemudian segera menyalin jawaban milik Khanza ke dalam bukunya.

*****

Khanza, Reina dan Rani berjalan menuju taman sekolah sembari membawa beberapa makanan yang mereka beli dari kantin.

"Cuaca hari ini cukup sejuk, ya?" ujar Reina.

"Ya, kau benar. Meskipun sudah pukul setengah sepuluh, tapi cuacanya tetap sejuk," jawab Khanza.

"Oh iya, bagaimana tentang Mustafa?" tanya Rani.

"Aku rasa, dia orang yang baik," jawab Khanza.

"Bagaimana kau bisa yakin dengan hal itu?" tanya Reina.

"Karena dia tidak pernah bertanya macam-macam padaku. Dia sangat sopan. Bahkan dia tidak pernah meminta fotoku. Sejak kemarin aku dan Mustafa hanya membahas tentang cita-cita kami yang entah bagaimana bisa sama," jelas Khanza panjang lebar.

"Benarkah? Dia juga ingin menjadi jurnalis dan penulis?" tanya Rani yang seakan tak percaya.

Khanza hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Wah, jangan-jangan kalian jodoh," sahut Reina.

"Memangnya penentuan jodoh hanya dilihat dari kesamaan cita-citanya saja? Ah, dasar kau," gerutu Khanza sambil memakan snack miliknya.

"Ya kan siapa tahu?" ledek Reina.

"Sudahlah, lebih baik kita membahas hal lain saja," ujar Khanza.

"Ah, dasar Khanza," celetuk Rani sambil mendorong pelan lengan Khanza.

*****

Teeett...teeeett...teeeett...

Bel tanda pulang telah berbunyi. Terlihat para siswa sedang berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Ada yang kemudian langsung menuju tempat parkir untuk mengambil kendaraannya. Ada pula yang menunggu jemputan.

Khanza berjalan menuju tempat parkir untuk mengeluarkan motornya. Kemudian, ia melajukan motornya menuju rumah.

"Assalamu'alaikum," ucap Khanza sembari membuka pintu rumah.

"Wa'alaikumsalam," jawab Reza sembari menangis di depan televisi yang sedang mati.

"Reza, ada apa? Kenapa kau menangis seperti itu?" tanya Khanza yang merasa cemas.

"Ayah dan ibu bertengkar, kak. Aku melihat pertengkaran mereka, dan aku dengar bahwa mereka akan segera bercerai," jawab Reza yang tetap menangis.

"Sudah, jangan menangis. Kau tenang saja, kakak yang akan berbicara dengan mereka. Sekarang di mana ayah dan ibu?" tanya Khanza sembari menenangkan Reza.

"Aku tidak tahu. Setelah bertengkar, mereka keluar dari rumah," jawab Reza diiringi isakan.

"Baiklah. Sekarang kau masuk saja ke dalam kamarmu, dan kunci pintunya. Kakak akan mencoba untuk mengatasi masalah ini. Tenangkan dirimu, ya?" pinta Khanza.

Reza hanya mengangguk, kemudian berjalan menuju kamarnya.

"YaAllah, tolong bantu aku menyelesaikan masalah ini. Bagaimana bisa ayah dan ibu bertengkar didepan Reza? Dan apa tadi? Bercerai? Itu bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan," ucap Khanza frustasi.

Khanza berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Kemudian ia pun melaksanakan ibadah shalat ashar.

"YaAllah, tolong berikanlah kesadaran pada ayah dan ibu agar mereka tidak bercerai. Hamba mohon, tolong kembalikanlah keharmonisan keluarga kami. Kasihan adik hamba. Ia masih kecil, namun sudah harus melihat pertengkaran antara ayah dan ibu. Hamba mohon kabulkanlah do'a hamba, YaAllah. Aamiin."

Khanza melipat mukenanya dan meletakkannya ke dalam lemari, kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan mulai menangis. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Hubungan ayah dan ibunya akhir-akhir ini memang tidak baik. Mereka seringkali bertengkar dan tidak berbicara satu sama lain. Dan, yang lebih parah adalah, ayahnya sudah mulai jarang pulang ke rumah. Khanza tidak ingin ayah dan ibunya bercerai. Itu adalah mimpi buruk baginya.

Khanza merasa matanya mulai berat karena hampir dua jam ia menangis tanpa henti. Tak lama kemudian, Khanza pun tertidur dengan mata yang sembab.

Cinta di Bawah Langit TurkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang