(Part 28) Selamat Datang Sayang

108 10 0
                                    

Empat bulan kemudian...

Malam ini Khanza dan Erhan tengah duduk di ruang tamu sembari menonton TV. Khanza duduk bersandar di bahu Erhan sembari mengelus perutnya yang besar.

"Tinggal menunggu hari, anak kita akan segera lahir," ucap Erhan sembari mengelus perut Khanza.

"Hehe, iya. Sepertinya dia juga sudah tidak sabar untuk melihat dunia ini," jawab Khanza.

Khanza mengelus dan menatap perutnya sambil tersenyum cerah. "Aku harap kelak dia memiliki sifat yang sama seperti Sultan Muhammad Al-Fatih."

"Aamiin, I hope so. Tapi, apakah kau yakin bahwa dia laki-laki? Kau bahkan tidak pernah mau USG," tanya Erhan.

"Ya, aku yakin. Tapi jika memang dia bukan laki-laki, itu juga bukan masalah. Yang penting, kita harus bisa mendidiknya agar menjadi anak yang baik," jawab Khanza.

Erhan mengangguk dan tersenyum sembari menatap wajah istrinya.

Tiba-tiba Hp Khanza berdering. Terlihat nama 'Rani' terpampang di layar Hp-nya.

"Halo, Khanza? Bagaimana kabarmu?" tanya Rani di seberang sana.

"Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik-baik saja. Oh iya, kapan kau akan melahirkan? Kandunganmu pasti sudah besar, kan?" tanya Rani.

"Hehe, iya. Kata dokter, aku akan melahirkan sekitar satu minggu lagi," jawab Khanza.

"Wah, benarkah? Alhamdulillah. Aku harap semuanya berjalan lancar. Aku ingin segera melihat bayimu."

"Aamiin. Iya, aku akan mengirim fotonya padamu setelah dia lahir," jawab Khanza.

"Hehe, terima kasih. Ya sudah, aku akan memberitahukan kabar baik ini kepada Reina. Jaga dirimu baik-baik di sana, Khanza. Sampai jumpa!"

"Iya, sampai jumpa!" jawab Khanza, kemudian sambungan pun terputus.

"Siapa yang menelepon, sayang?" tanya Erhan.

"Rani yang menelepon. Dia menanyakan kabarku. Dia sangat bersemangat untuk menunggu kelahiran bayi kita, karena dia ingin segera melihat wajahnya. Haha," jawab Khanza sambil tertawa kecil.

"Haha, nanti kau bisa mengirim foto bayi kita kepadanya sebanyak mungkin," ujar Erhan.

"Ya, tentu saja," jawab Khanza.

"Erhan, aku lapar," ucap Khanza sambil mengelus-elus perutnya yang besar dan mengerucutkan bibirnya.

"Baiklah, tunggu di sini. Aku akan mengambilkan makanan untukmu," pinta Erhan. Khanza hanya mengangguk kecil.

Beberapa saat kemudian, Khanza merasa sakit di bagian perutnya. Ia meringis kesakitan sembari memegang perutnya. Khanza merasa bahwa dirinya sudah memasuki waktu untuk melahirkan.

"Erhan! Help me!" teriak Khanza.

Dengan cekatan, Erhan berlari menghampiri Khanza. Ia melihat Khanza yang sedang berusaha menahan rasa sakit. Dengan segera, Erhan pun membopong tubuh Khanza, dan segera membawanya ke dalam mobil. Setelah itu, ia langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

"Bertahanlah, please," ucap Erhan yang mulai panik.

"Aku tidak tahan. It's very hurt," jawab Khanza sambil mengatur napasnya. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya.

"Lima menit lagi kita akan sampai. Bersabarlah," pinta Erhan.

Erhan mengendarai mobilnya lebih cepat dari biasanya. Ia ingin segera tiba di rumah sakit. Ia tidak tega melihat istrinya yang kesakitan. Beberapa menit kemudian, Erhan dan Khanza pun tiba di sebuah rumah sakit. Dengan segera, Erhan meminta bantuan para suster yang ada di sana, kemudian Khanza pun langsung dibawa masuk ke dalam rumah sakit.

*****

Berjam-jam lamanya Erhan menemani Khanza di ruang persalinan. Ia memegang tangan Khanza dengan erat. Sedangkan Khanza dengan susah payah mengatur napasnya sambil mengejan dan menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tanpa sadar, air mata turun dari pelupuk mata Erhan. Ia tidak tega melihat istrinya kesakitan. Tiba-tiba Erhan teringat dengan ibunya. Betapa dahulu ibunya sangat kesakitan ketika berjuang untuk melahirkannya.

"Khanza, kau pasti bisa!" ujar Erhan menyemangati Khanza. Kemudian Erhan mencium puncak kepala Khanza, sebagai tanda bahwa ia sangat mencintai istrinya tersebut.

Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi memenuhi ruang persalinan. Khanza tersenyum lega sembari tetap mengatur napasnya yang tidak beraturan. Rasa sakitnya seolah hilang begitu saja ketika ia mendengar suara tangisan dari bayinya. Begitupun dengan Erhan yang langsung tersenyum. Ia mencium pipi dan puncak kepala Khanza berkali-kali.

Dokter memberitahu Khanza dan Erhan bahwa bayi mereka berjenis kelamin laki-laki.

"Aku sudah bilang, bukan? Bayi kita adalah laki-laki," ucap Khanza dengan suara yang lemah karena tubuhnya yang masih lemas.

"Iya, dan ternyata kau benar. Firasat seorang ibu kepada anaknya memang sungguh luar biasa," jawab Erhan.

Setelah dokter selesai memotong tali pusar bayi, dokter pun membersihkan tubuh sang bayi, lalu memberikannya kepada Erhan. Dengan segera, Erhan mengumandangkan adzan di telinga kanan bayinya, dan mengumandangkan iqamah di telinga kiri bayinya.

Setelah itu, sang bayi diletakkan di atas dada Khanza untuk beberapa saat. Kemudian, dokter pun membawa sang bayi dan melanjutkan kegiatannya untuk membersihkan tubuh bayi, serta memeriksa kesehatannya.

"Khanza, apa yang kau rasakan saat ini?" tanya Erhan sembari menggenggam tangan Khanza.

"Aku hanya merasa lemas," jawab Khanza.

"Wajahmu juga terlihat pucat. Khanza, terima kasih karena telah berjuang untuk melahirkan putra kita," ucap Erhan dengan tulus.

Khanza tersenyum ke arah Erhan, kemudian mengelus pipi Erhan perlahan. "Sama-sama. Aku juga berterimakasih karena kau telah menjagaku dengan baik selama ini."

Erhan hanya menjawabnya dengan anggukan kecil dan juga senyuman.

"Jangan lupa setelah ini hubungi ayah dan ibuku, juga anne dan baba," ujar Khanza.

"Iya, setelah ini aku akan menghubungi mereka," jawab Erhan.

Cinta di Bawah Langit TurkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang