(Part 7) Brian

131 12 0
                                    

Pagi ini Khanza sedang duduk di bangku kelasnya bersama dengan Rani dan Reina.

"Khanza, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Mustafa?" celetuk Reina tiba-tiba.

"Hey! Pertanyaan macam apa itu?" sahut Khanza sambil menatap tajam kearah Reina.

"Hehe, aku hanya bercanda," cengir Reina.

"Oh ya, nanti jam istirahat aku ada keperluan. Jadi, mungkin aku tidak bisa ke kantin bersama kalian," ujar Khanza.

"Tumben? Keperluan apa memangnya?" tanya Rani.

"Kak Brian mengajakku untuk belajar Bahasa Inggris bersama di taman sekolah. Huftt, sebenarnya aku malas sekali bertemu dengannya. Kalian sendiri tahu bahwa aku tidak suka mengobrol secara dekat dengan laki-laki," jawab Khanza sambil membuang nafas berat.

"Sepertinya akhir-akhir ini Kak Brian sering mendekatimu. Aku curiga padanya. Jangan-jangan dia menaruh perasaan padamu, Khanza," celetuk Rani.

"Tidak mungkin, dan jangan sampai!" sahut Khanza.

"Kenapa? Dia itu bukan hanya pintar, tapi juga tampan. Di sekolah ini, banyak sekali yang mengidolakannya. Kau akan sangat beruntung mendapatkannya," ujar Rani.

"Aku tidak peduli. Mau dia tampan, kaya, baik hati dan tidak sombong, aku tidak peduli," tukas Khanza.

"Kau tidak pernah berubah. Apa kau tidak memiliki niat untuk membuka hati?" tanya Reina.

"Aku hanya belum siap untuk itu," jawab Khanza seadanya.

Rani dan Reina hanya menghela nafas melihat sahabatnya yang tak pernah berubah sedari dulu.

*****

Jam istirahat telah tiba. Khanza berjalan menuju taman sekolah untuk menepati janjinya kepada Brian. Namun sejujurnya ia sendiri merasa tidak nyaman jika harus berduaan dengan Brian. Mengingat bahwa ia adalah gadis yang tidak terlalu suka duduk berdua dengan lawan jenisnya.

"Khanza!" panggil Brian yang sedang duduk di bangku taman sambil melambaikan tangannya kearah Khanza.

Khanza berjalan mendekati Brian dengan kegugupan yang luar biasa. Ia merasa sangat canggung.

"Ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi," batin Khanza.

"Aku sudah membawa beberapa buku yang bisa kita pelajari," ujar Brian.

Khanza hanya mengangguk, tanda mengerti.

"Ngomong-ngomong, menurutmu apa yang sulit untuk kamu pelajari saat kamu pertamakali belajar Bahasa Inggris?" tanya Brian.

"Grammar. Itulah yang menurutku sulit," jawab Khanza.

"Ya, aku pun begitu," tukas Brian.

Kemudian Khanza dan Brian pun mulai belajar bersama. Khanza tidak menyangka bahwa Brian adalah orang yang sangat ramah dan periang. Bahkan kemampuannya berbahasa Inggris bisa dikatakan sangat mumpuni.

Teeeett...teeeeeett...teeeeeett..

Bel tanda masuk telah berbunyi. Khanza yang hendak kembali ke kelasnya pun dicegah oleh Brian.

"Uhmm, bolehkah aku meminta nomormu?" tanya Brian.

Khanza terdiam sejenak, namun kemudian ia pun memberikan nomornya kepada Brian.

"Thanks," ucap Brian sambil tersenyum.

Khanza hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman kecil, kemudian melenggang pergi menuju kelasnya.

"Khanza, bagaimana? Apakah Kak Brian mengungkapkan perasaannya padamu?" tanya Reina yang langsung mendapat tatapan tajam dari Khanza.

"Hehe, maaf maaf. Aku hanya bercanda kok," cengir Reina sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

*****

Langit telah berubah menjadi gelap. Jam telah menunjukkan pukul 7 malam. Suara gemuruh di langit seakan memberikan peringatan bahwa hujan akan segera turun. Khanza sedang duduk di kamarnya sambil berkutat dengan Hp-nya.

"Khanza, how are you today?" isi pesan dari Mustafa yang baru saja Khanza terima.

"Not bad. What about you?"

"I am fine. Bagaimana dengan novelmu? Apakah sudah selesai?"

"Belum. Aku sedang beristirahat sebentar. Nanti aku akan melanjutkannya lagi," balas Khanza.

"Good luck, Khanza!" ucap Mustafa memberi semangat.

Khanza hanya tersenyum membaca pesan dari Mustafa.

Tok..tok..tok..

Terdengar suara pintu kamar Khanza sedang diketuk.

"Khanza, apakah kau sudah makan?" tanya ibu Khanza dari balik pintu.

"Belum, bu. Sebentar lagi aku akan ke meja makan," jawab Khanza dari dalam kamarnya.

Khanza segera mematikan layar Hp-nya, dan berjalan menuju meja makan.

Terlihat Reza dan kedua orang tua Khanza sudah menunggunya di meja makan. Khanza pun duduk disebelah Reza. Kemudian Khanza dan keluarganya menyantap makanan yang telah tersedia diatas meja.

"Khanza, kau benar-benar ingin berkuliah di Turki setelah lulus SMA?" tanya ibu Khanza.

"Iya, bu. Aku sudah merasa yakin dengan keputusanku," jawab Khanza yang kemudian melahap makanan yang ada diatas sendoknya.

"Kau harus benar-benar menjaga dirimu disana. Karena kau bukan hanya pergi ke luar kota, tetapi ke luar negeri," nasihat ayah Khanza.

"Iya, ayah. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri dengan sangat baik," jawab Khanza.

"Kak, siapa temanku disini kalau nanti kakak sudah berangkat ke Turki?" tanya Reza dengan raut muka sedih.

"Haha, kau tidak akan sendirian. Ada ayah dan ibu disini. Kakak akan membelikan banyak oleh-oleh ketika kakak berkunjung kesini nantinya," jawab Khanza berupaya menenangkan hati Reza.

Reza hanya membalas perkataan Khanza dengan senyuman dan anggukan kecil.

*****

Khanza telah kembali kedalam kamarnya. Ia segera membuka laptopnya untuk kembali mengetik novelnya yang belum selesai. Hampir dua jam ia menghabiskan waktunya untuk membuat novel. Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam.

Khanza merasa matanya mulai berat. Ia pun menutup laptopnya, dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat isya' sebelum ia istirahat. Setelah selesai shalat isya', Khanza menyempatkan waktunya untuk membaca Al-Qur'an. Setelah itu ia pun membaringkan tubuhnya di tempat tidur, dan mulai memejamkan matanya.

Cinta di Bawah Langit TurkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang