The Assasin Organization: 06

381 73 24
                                    

The Assasin Organization

Chapter 06: Pulang Ke Rumah

.
.
.


Sore itu, Melvin melangkahkan kaki menuju komplek perumahannya. Ditemani semilir angin dan sinar jingga. Langkah kaki Melvin terasa sedikit berat. Setelah seminggu lebih Melvin tinggal di apartemen Kristaf untuk menyembuhkan lukanya, kini, Melvin membuat keputusan untuk pulang ke rumah.

Entah apa yang membuat Melvin ingin pulang, dia sepertinya sedikit rindu dengan suasana rumah. Walau dia tahu, suasana rumah yang diharapkannya tak akan dia temukan lagi.

"Kak Melvin!" Sebuah seruan terdengar cukup nyaring.

Melvin bisa melihat dari arah berlawanan ada Tian sedang berlari ke arahnya. Remaja yang lebih muda satu tahun darinya itu terlihat membawa sebuah beban di punggung. Tali tas hitam tersampir di kedua bahunya. Tian masih menggunakan seragam putih abu, sepertinya dia baru pulang sekolah.

Melvin tak menjawab seruan Tian, dia menganggap Tian tak ada.

Sesampainya di depan gerbang rumah, Melvin bisa melihat dengan jelas senyum lebar mengembang di wajah Tian. Anak itu  sepertinya sangat bahagia dengan kedatangan Melvin, berbeda dengan Melvin yang tak bahagia sama sekali ketika bertemu dengannya.

"Kak Melvin pulang!" Tian berseru semangat, tangannya memegang lengan Melvin. "Ayo Kak, masuk. Ibu pengen banget ketemu sama Kakak." Tian membuka gerbang, menarik Melvin masuk ke dalam rumah.

Melvin untuk kali ini membiarkan Tian bertindak semaunya. Dia sedang malas berdebat. Tian menarik dirinya masuk ke dalam rumah, dalam perjalanan, Melvin sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

Rasanya, semua masih tetap sama. Tak ada yang berubah di rumah ini. Letak taman kecil di depan rumah, jejeran pot bunga, kursi panjang di bawah pohon mangga, segalanya tetap seperti dulu.

Melvin tahu pasti, keadaan rumahnya memang tak pernah berubah. Yang berubah hanyalah suasana di sana. Jika dulu Melvin sering kali memanjat pohon mangga di pojok taman kecil rumahnya untuk sekadar memetik buah manis itu dan memberikannya ke sang ibu, kini, tak ada lagi yang melakukan itu. Buah mangga yang matang dibiarkan begitu saja, hingga jatuh dengan sendirinya ke tanah.

Melvin menggigit bibir, dia selalu tak siap setiap kali kenangan tentang ibunya datang. Melvin seperti belum bisa mengikhlaskan kepergian ibunya begitu saja. Dia bahkan membenci orang-orang yang menurutnya telah menyakiti sang ibu, padahal Melvin pun tahu, orang-orang itu tak pernah melakukan hal buruk ke ibunya.

"Kak, ayo masuk."

Tak sadar, Melvin dan Tian sudah sampai di depan pintu rumah.

Melvin diam sebentar. Matanya menatap pintu rumah bercat coklat tua di depan. Berkali-kali Melvin mengatur napas. Hari ini, dia harus siap kembali ke rumahnya, setelah beberapa minggu tak menginjakkan kaki di sana.

Tian membuka pintu rumah, berjalan lebih dulu ke dalam.

"Ibu! Kak Melvin pulang!" Teriakan Tian terdengar ke seluruh penjuru rumah. Melvin yang masih berdiri di depan pintu pun sampai kaget dibuatnya.

"Melvin pulang? Mana dia? Ibu ingin bertemu dengannya."

Suara lain terdengar dari dalam rumah, diiringi suara roda bergesekan dengan lantai.

Melvin melihat ke dalam rumah lewat pintu yang terbuka. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita berumur 40 tahunan yang masih cantik. Wanita itu mengembangkan senyum, matanya berbinar melihat Melvin. Kedua tangannya sibuk menggerakkan roda, sementara kakinya bersantai di atas pijakan kursi.

Melvin menggigit bibir bawah. Tiba-tiba ada rasa sakit yang dia rasakan ketika melihat sosok ibu yang Tian maksud.

"Melvin, kamu pulang, Nak." Lina, ibu tiri Melvin menyambut hangat kedatangannya. Wanita empat puluh tahunan itu menghentikan laju kursi roda di depan Melvin. "Nak, kemana saja kamu? Aku mengkhawatirkanmu."

Melvin hanya diam memandangi Lina, tak berniat menjawab pertanyaan ibu tirinya.

"Kak, kami merindukanmu."

Mengabaikan kalimat Lina dan Tian, Melvin memilih masuk ke dalam rumah, meninggalkan ibu dan adik tirinya di depan pintu.

"Kapan Melvin bisa menerima kita sebagai keluarganya?"

"Secepatnya, Bu. Aku yakin."

Melvin masih bisa mendengar percakapan Tian dan Lina walau dia sudah sampai di anak tangga paling atas. Dalam hati, Melvin merutuki diri. Entahlah, dia selalu merasa bersalah setelah melakukan hal seperti itu ke Lina dan Tian. Tapi Melvin benar-benar tidak ingin menerima mereka berdua sebagai keluarganya.

Menghela napas, Melvin menarik gagang pintu kamarnya, membuka pintu yang dicat putih itu perlahan.

Melvin menutup pintu kamar, lantas menjatuhkan diri ke atas kasur. Beberapa menit kemudian, Melvin sudah memasuki alam mimpinya dengan damai.

___The Assasin Organization___

Malam hari, ketika cuaca dingin. Suara hujan terdengar sangat jelas di telinga, berirama bagai sebuah alunan melodi dalam musik. Petir di luar menyambar bersahutan, menambah keindahan suara hujan.

Melvin terbangun tepat pukul dua belas malam, terhitung sudah tujuh jam dia tidur. Dan selama itu, Melvin tidak tahu kalau hujan tengah turun membasahi bumi.

Menguap lebar, Melvin membuka mata perlahan. Gelap adalah hal pertama yang dia dapat. Ah, Melvin lupa dia tadi tidak menyalakan lampu kamar sebelum tidur.

Kilauan cahaya petir dari luar jendelalah yang menjadi satu-satunya penerangan di kamar Melvin. Dengan malas, Melvin berjalan ke arah sakelar lampu. Dihidupkannya lampu kamar, lalu dia mendudukan tubuh di atas kasur.

Melvin melihat keluar jendela, menyaksikan bagaimana petir menyala terang lalu menghilang. Dalam kepalanya, ada banyak sekali hal yang tak bisa dia pahami, tentang hidupnya, tentang ibunya, tentang takdir yang begitu kejam merubah alur hidupnya menjadi penuh kesedihan.

Melvin mengacak rambut ketika bayangan tentang sang ibu kembali terputar di memorinya. Melvin ingat sekali, dua tahun lalu, ibunya menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Kondisi ibunya saat itu sudah sangat parah. Kanker stadium akhir membuat nyawanya tak bisa tertolong.

"Ibu." Melvin berucap pelan. Dia sungguh rindu pada ibunya. Dia rindu diberi pelukan penenang oleh sang ibu. Dia rindu bersenda gurau dengan sang ibu ketika ada masalah. Dia rindu bercanda dan tertawa bersama sang ibu. Intinya, Melvin rindu ibunya dan segala hal yang mereka lakukan bersama.

Mengusap wajah kasar, Melvin bangkit berdiri, dia butuh seteguk air putih untuk menenangkan diri.

Kakinya perlahan berjalan menuju pintu kamar, bersiap membuka pintu bercat putih itu ketika ada suara tembakan terdengar di lantai bawah rumahnya.

Dor. Dor.

Mata Melvin membola, dia jelas tak salah dengar. Itu memang suara tembakan.

Dengan satu hentakan kasar, Melvin menarik pintu kamar, lantas berlari menuruni tangga.

"IBU!"

Di anak tangga terakhir, Melvin bisa melihat Tian sedang berlutut di depan kursi roda Lina dengan airmata yang berurai.

Kaki Melvin terasa lemas detik itu juga. Pikirannya terbang entah kemana. Jantungnya berdetak kencang tak karuan.

Apa yang ada di hadapannya kini adalah ibu tirinya, Lina, telah tewas dengan dua tembakan di dada dan kepala.

___The Assasin Organization___

.
.
.

To Be Continue

Scene yang menegangkan akan dimulai dari part ini. Selamat menikmati hehehe

The  Assasin Organization | SKZ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang