The Assasin Organization: 28

155 37 6
                                    

The Assasin Organization

Chapter 27: Identitas Master J

.
.
.

Langit malam di kota Paris terlihat indah ketika berpadu dengan gemerlap lampu dari gedung dan Menara Eiffel yang menjulang gagah di depan sana. Orang-orang mungkin benar. Paris adalah kota romantis, di mana banyak orang berpasangan yang menghabiskan waktu bersama. Saling berpegangan tangan, menatap satu sama lain, lalu tertawa bersama.

Dengan semua keindahan dan keramaian itu, Melvin tetap merasa kesepian. Hatinya kosong, tidak terisi dengan perasaan apapun semenjak dia meninggalkan negara kelahirannya.

Semua saraf perasa dalam tubuhnya bagaikan hilang tertelan bumi. Melvim berubah, menjadi sosok dingin, tak tersentuh, dan tanpa emosi. Dia bahkan bisa menghabisi nyawa orang lain saat ini juga tanpa rasa penyesalan setelahnya.

Tentu saja, ada alasan mengapa Melvin bisa seperti itu. Perasaan kecewa dan dibohongi terus-menerus membuat Melvin lelah dengan semuanya. Dia tidak mau lagi merasakan perasaan itu hingga akhirnya dia berubah menjadi sosok tanpa perasaan.

Walau kadang dia masih sedikit rindu pada Tian, tapi perasaan itu hanya muncul pada adiknya, tidak pada yang lain. Mungkin itulah alasan mengapa orang-orang yang sering tersakiti lambat laun menjadi orang tak berperasaan. Sebab memang begitulah adanya, dan Melvin sendiri sudah membuktikan itu.

"Kenapa kamu di sini? Tidak latihan?"

Kesendirian Melvin terganggu dengan datangnya Ferris. Laki-laki yang satu tahun lebih muda darinya—tapi tak pernah memanggil dia dengan sebutan 'kakak', itu duduk di samping Melvin.

Ferris memandangi wajah Melvin dari samping. Terlihat jelas bahwa tak ada ekspresi apapun di sana. Ferris menyadari, akhir-akhir ini Melvin jadi lebih jarang berekspresi. Terkadang ketika laki-laki itu sedang diam, yang Ferris dapati hanyalah sebuah tatapan kosong ke depan.

"Malas melihat Kris."

Jawaban dari Melvin membuat kerutan timbul di dahi Ferris. "Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi?"

Melvin diam, tidak mengangguk atau menggeleng. Namun Ferris tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi, sebab diamnya Melvin bagai jawaban untuknya bahwa memang ada yang terjadi.

"Apa mungkin ... karena Naina?" Ferris bertanya hati-hati.

Melvin menghela napas, kakinya dia luruskan. Duduk di pelataran samping Sungai Seine ternyata menyenangkan. Memandangi megahnya Menara Eiffel dari seberang sungai membuat hatinya sedikit merasakan sesuatu.

Andai saja Tian ada di sisinya saat ini, pasti Melvin sangat bahagia. Dia bisa membayangkan anak itu akan terus tertawa seraya berlari mengelilingi Menara Eiffel.

"Jadi benar karena Naina?"

Melvin tiba-tiba menoleh. "Ris, aku tidak ingin membahasnya."

Mendapati Melvin yang tak ingin membahas, Ferris segera mengangguk mengerti. "Oke, maafkan aku."

Kembali menolehkan kepala ke arah Menara Eiffel, Melvin sedikit mengangkat sudut bibir, tersenyum tipis. Perasaan di hatinya selalu muncul setiap kali dia rindu Tian.

"Ferris, kira-kira apa yang sedang adikku lakukan di seberang benua sana ya? Aku merindukannya," ucap Melvin tiba-tiba.

Ferris mengembangkan senyum saat mendengar pertanyaan Melvin. "Tidur mungkin, di sana kan sekarang sudah hampir pagi."

Melvin tertawa kecil. Benar juga. "Realistis sekali."

Menyadari ada tawa yang keluar dari bibir Melvin, Ferris jadi ikut tertawa. "Sejak bergabung dengan The Future, aku berusaha selalu bersikap realistis."

The  Assasin Organization | SKZ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang