11. Khawatir

698 24 8
                                    

" Lo bikin rasa baru di dalam diri gue, bukan rasa anggur atau pun rasa makan lainya tapi, rasa khawatir "
-Deva Da Lopez-
.
.
.
.

Dirasanya Vanya sudah tenang, Deva mengambil ponsel dari saku celananya dan segera menekan-nekan benda itu dengan lincah.

//chat wa//

Deva
"Ijinin gue gar"

Edgar
"Tumben, kenapa lo?"

Deva
"Gue sibuk"

Edgar
"sibuk ngapa lo Nyet"
" anjay ni anak di read doang"
" banyak istigfar emak lo punya anak kaya lo"
"yahhh malah centang satu monyet"
"pucek"

Mendapat balasan dari Edgar, Deva lalu mematikan ponselnya dan langsung memasukkannya ke dalam kantong.

"bangun Van" perintah Deva sambil menarik sisi tangan Vanya yang tidak terluka.

"haa? Mau ngapain?" tanya Vanya kebingungan.

"ke rumah sakit"

"a-aku gak mau ke rumah sakit Dev" jawab Vanya menarik tangannya dari genggaman Deva.

Lagi-lagi Deva melihat wajah ketakutan perempuan ini.

Bagi Vanya rumah sakit sama dengan penjara. Disana semua ketakutannya tersimpan, terkubur dan terpendam sangat rapi, melihat rumah sakit saja mampu membuatnya mual.

"Please Dev, aku gamau kesana" lirih Vanya menyambung perkataannya tadi.

"hahhhh" Deva membuang nafas kasar lalu mengacak -acak rambutnya.

"Kotak obat lo dimana?" Deva pasrah sudah, lebih baik dia tangani luka itu sekarang sebelum perempuan ini kehabisan darah karna sejak tadi darahnya tidak berhenti menetes.

"Di dapur, di laci deket washtafel"

Deva segera menuju dapur, lalu mengambil apa yang dicarinya dan tak lupa Deva mengambil baskom yang sudah dia isi air, setelah selesai Deva kembali menuju kamar Vanya.

"Bangun" Deva membantu Vanya untuk berdiri lalu membaringkan tubuh Vanya di atas kasur.
"Siniin tangan lo"

Vanya terlihat enggan untuk memperlihatkan pergelangan tangan kirinya yang hampir dipenuhi luka sayatan.

"lo bisa percaya sama gue" usaha Deva untuk meyakinkan Vanya dan ternyata ampuh.

Dengan telaten Deva mengobati pergelangan tangan Vanya, sebenarnya banyak pertanyaan yang saat ini ingin dia tanyakan kepada Vanya, tapi Deva tau jika ini adalah masalah pribadi yang tidak bisa sembarang untuk diceritakan.

"Kamu pasti jijik liatnya ya Dev?"

Ucapan Vanya yang melihat betapa Deva sangat memperhatikan setiap luka-lukanya itu

Deva mendongak melihat si pembicara, tidak..... dia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka-luka ini.

"Ekhh biasa aja"

"Syukurlah, tapi kamu bisa jaga rahasia ini kan Dev?"

"Lo tenang aja"

"Makasi" ucap Vanya yang sudah mengeluarkan air matanya lagi.

Deva kembali menatap Vanya "seberapa banyak luka yang dia rasain?" Gumamnya.

***
Sementara itu kedua sahabat Deva mempertanyakan ketidak hadiran Deva
"Tumben tu anak ga ngampus, pas SMA aja udah demam masih maksa buat sekolah"

Bukan Edgar dan Bryan namanya jika mereka kehabisan kata untuk men julid temannya yang judes tak kepalang itu.

Setelah puas meng ghibahin Deva , mereka pun berjalan menuju kantin.

Belum lama mereka duduk tiba-tiba Jessie datang.

"aghh" jerit Bryan ketika merasakan kakinya telah diinjak seseorang.
"Woy lu nginjek kak~~~"

"temen gue mana haa?"

"Ya mana kita tau, ya gak Yan"

"Yup, lagian lo dateng dateng tiba tiba nginjek kaki orang sembarangan" cecar Edgar yang masih mengusap usap Adidas putihnya itu.

"Coba lo tenang, sini duduk samping abang dulu, Gausah marah marah dong entar cantiknya ilang lagi" Edgar sambil menyedot minuman soda gembira miliknya.

"Bugh" Jessie menonjok bahu Edgar, saat merasa pipinya dibuat panas oleh laki-laki itu.

Edgar menyemburkan minumannya "awhh, Jessy plis deh jangan kasar gini nanti gue tambah sayang sama lo"

"Diem lo" Jessie menatap tajam Edgar.
"Vanya mana?"

"Vanya ga ngampus?" tanya Bryan sambil menyeruput minumannya.

"iyaa, gak bisa di hubungi juga" tukas Jessie yang membuat Edgar dan Bryan beradu pandang dengan mulut menganga.

"Bro lo mikirin apa yang lagi gue pikirin gak?" Tanya Bryan kepada Edgar.

"Enggak, gue gak lagi mikirin Mia kalipa sumpah" balas Edgar dengan segala aksi alaynya.

"Bangsat !!!!, Bukan itu bego" dengan tidak teganya Bryan menempeleng kepala Edgar yang sudah gada harganya lagi.

"Oh gua ngerti sekarng!" Edgar menyeringai "Gila tu anak, kemaren bilangnya ga tertarik eh sekarang"

"udah dewasa temen gue ga nyangka" Bryan menyambung perkataan Edgar yang masih beradu pandang tak menyangka.

"Emangnya Deva ngapain?" tanya Jessie bingung.

"Hmm" balas Brayn.

"hahh kirain Vanya kenapa, dasar bikin khawatir" sambung Jessy lalu menjatuhkan pantatnya di kursi samping Bryan.

"Pinjem hape dong, gue mau WhatsApp Deva"

Dengan sigap Edgar menyodorkan ponselnya "sekalian tulis no WA lo disana Jess" ucap Edgar cekikikan.

"Najis"

"Ihhh makin sayang gue sama lo Jess"

"Gue ke toilet dulu" ucap Bryan lalu pergi dari situ, sedangkan kini ada seseorang yang mampu di buat kesepian setelah kepergian Brayn dari kantin.

.......

Tidak terasa saat ini jam sudah menunjukan pukul empat sore.

Deva baru saja masuk sambil menenteng dua bungkus nasi yang dia pesan dari ojek online.

"Deva maaf aku udah ngerepotin kamu"

Deva melihat Vanya seklias lalu kembali sibuk dengan makan yang baru saja dibelinya itu.

"Ini makan"

Vanya mengambil sepiring nasi yang diberikan Deva.

"Deva kamu gak pulang?"

"Nanti selesai makan gue balik"

"Ohhh.."

Mareka berdua telah menghabiskan makanannya masing-masing.

"Gue minta nomor hp nya Jessy" ucap Deva memecah keheningan diantara mereka.

"Hah? Ngapain kamu minta nomor hp nya Jessy Dev?"

"Gue mau nyuruh dia nemenin lo disini"

"Ih gak usah kali, aku udah biasa sendiri"

"Yaudah terserah lo"
"Gue balik, udah sore"

"Oh iya, kamu pulang pake apa?"

"Gue udah pesen taxi"

"ok hati-hati di jalan ya Deva" Vanya melambaikan tangannya dengan semangat, sungguh dia sangat senang hari ini karna sang pujaan hatinya terlihat sangat perhatian terhadapnya, walaupun sisi kelamnya dilihat begitu jelas oleh Deva.

Deva pergi dari rumah Vanya dengan semua rasa menjanggal yang ada di dalam dirinya, lebih tepatnya saat ini Deva sangat khawatir.

.........

Flow (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang