Beberapa tahun yang lalu.
"Uhuyy disamperin pangeran" sahut Santi dibelakang Naifa sambil menggandeng lengan Viona.
"Pangerannya sweet bener deh, jadi pengen" ucap Viona tersenyum melihat Naifa dan Gilang.
"Kamu...kok bisa disini?" Tanya Naifa berusaha mungkin menahan senyumnya.
"Aku diundang, kebetulan juga pengen ngasih kejutan buat seorang putri" ucapnya menunduk, menatap Naifa yang lebih pendek darinya.
Naifa mendongak, saat itu juga senyum yang berusaha ditahannya terukir.
Viona dan Santi yang melihat keuwuan mereka berdua pun hanya terpekik histeris.
"Nai, aku masih mencintai kamu"
Aku juga jawab Naifa cepat dalam hati.
Gilang mengambil kedua telapak tangan Naifa, "Bisakah aku menjadi pacarmu, lagi?"
Dengan rona merah pipinya, Naifa menjawab dengan anggukan membuat Gilang memeluknya.
"Kapan ya status mblo gue ilang" gumam Santi.
Viona menoleh, "Gimana mau ilang, setiap yang nembak aja ditolak"
------
Gilang pandai menutupi apa yang terjadi pada dirinya. Aku menyesal tidak mencari tahu lebih lanjut tentangnya. Aku sekarang sudah mewujudkan cita-cita menjadi seorang dokter.
Aku melirik jas khas dokter yang tergeletak di atas meja kerjaku. Waktu masih awal pacaran, sewaktu kami sama-sama SMA, Gilang pernah bercerita bahwa ia ingin menjadi akmil.
Tapi, dia rela mengorbankan mimpinya itu demi mengikuti keinginan ayahnya untuk melanjutkan perusahaan, bukan menjadi abdi negara.
Aku pikir masalahnya hanya disitu saja.
Tapi, tidak. Gilang bukan anak kandung orang tuanya yang selama ini kami tau. Raldi dan Alina hanya orang tua angkat saja.Hal ini terungkap saat di pemakaman Gilang. Pemilik panti asuhan yang menyerahkan Gilang sewaktu bayi datang dan mengobrol bersama Raldi. Aku tidak sengaja mendengar itu.
Pemilik panti asuhan yang pernah kulihat saat pertama kali Gilang menyatakan perasaannya dan memintaku menjadi pacar di sebuah taman.
Aku sangat terkejut, ternyata selama ini aku tidak benar-benar tau tentang orang yang kucintai. Tentang Gilang Abizard.
Seketika ingatanku tertuju pada dimana saat Gilang mengajaku ke sebuah danau yang masih satu daerah dengan tempat tinggalku. Danau Setu Babakan. Danau itu terdengar di telinga masyarakat karena menjadi tempat wisata yang memiliki nilai sejarah kebudayaan Betawi. Bahkan sewaktu memasuki daerah itu, aku melihat ada dua ondel-ondel yang menyambut kami.
Setelah mengantri, Aku dan Gilang berkeliling diatas danau dengan menyewa perahu bebek yang dikayuh sendiri seperti sepeda agar bisa berjalan di atas air.
Sesudahnya, kami makan masih di tempat yang sama. Aku memesan kerak telor dan Gilang memesan soto tangkar.
"Kamu kenapa senyum begitu?" Bukannya senyum adalah hal yang dilarang. Cuman, bagi Gilang senyum Naifa yang sembunyi(seolah tak mau diperlihatkan langsung) mampu membuat Gilang heran.
Apalagi Naifa yang senyum sambil melihat handphonenya. Gilang tidak menyukai Naifa yang selalu tersenyum ketika menatap benda itu.
Merasa ada kejanggalan dalam kalimat Gilang, Naifa memperlihatkann hal yang membuatnya tersenyum.
"Danau Situ Gede?" Tebak Gilang melihat sebuah gambar
Itu kepingan memori yang tidak terlupakan bagiku. Aku menghela nafas lalu bangkit berdiri.
Aku akan mengunjungi tempat pemakaman Gilang. Itu sudah rutinitas aku selama satu bulan sekali melihat tempat peristirahatannya terakhir.
Aku ingin menceritakan sesuatu kepadanya. Aku ingin bilang, bahwa aku akan menikah dengan tetangga sekaligus teman masa kecilku dulu. Aku juga bilang, tidak usah mengkhawatirkan aku lagi, dan tenanglah di tempat barumu.
Aku mencintai kenangan kita, Gilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naifa ( TAMAT )
Teen FictionDia Naifa Adreana Putri Dia Perempuan yang Gue sukai Dia gadis yang Gue cintai Dia penyemangat hidup Gue, yang kata orang parasnya biasa saja Dia kesayangan Gue, dan Gue harap bisa bersama dengannya se.la.ma.nya ~~~ Naifa Adreana Putri. Gadis yang l...