VOTE DUNG..****
"Selagi Mama ke luar kota, Caca bisa tinggal sementara di rumah Papa dan Bunda, Papa tu juga kangen tinggal bareng sama Caca. Mau yah? Bi Dian juga ambil cuti. Mau sendirian di rumah? Emang berani? Kata kamu ada putih-putih di pohon tetangga"
"Caca butuh waktu Pa, Papa kan sekarang udah tau masa lalu aku sama Gio itu kayak mana. Caca masih canggung sama Gio"
Kino tampak menghela napas "walaupun sekarang Gio itu udah jadi anak Papa juga, kalau dia macem-macem sama kamu. Piso di dapur udah siap sedia Ca, kamu juga udah lihat sendiri kan bagaimana Papa nonjok dia waktu Papa tau ternyata yang menyakiti anak gadis Papa itu dia. Caca masih gak percaya sama Papa?"
"Bukan itu, aku juga gak enak sama Bunda sintia karna kelakuan Papa yang asal gebukin anak orang. Papa jadi kelihatan kayak pilih kasih gitu"
"Kalau Caca lupa Gio sekarang itu udah jadi anak Papa. Bunda juga gak marah kok. Malahan Pas Bunda tau Gio pernah buat kamu demam dan buat kamu sakit hati, Bunda Sintia juga ikut marah-marah sama Gio. Ingat, bukan Papa bermaksud berlebihan dengan anak Papa, tapi kamu itu satu-satunya berlian yang Papa punya. Harta berharga Papa, anak gadis yang Papa paling sayangi. Salah kalau Papa sampe segitu marahnya sama Gio? Toh juga Bunda kamu biasa-biasa aja"
"Tapi.. masih aja kan Pa--"
"Udah, pokoknya kamu harus tinggal di rumah Papa. Lupain masa lalu kamu. Dan jalin lagi hubungan yang lebih nyaman dengan Kakak dan Bunda baru kamu"
Mengingat pembicaraan antara dirinya dan juga Papanya, Caca terlena dengan masa lalu dan tanpa sadar telah mengukir senyum. Rumah di depannya yang sebentar lagi ia tinggalkan rasanya masih sukar untuk ia jauhi.
Padahal Caca tinggal di rumah Papanya itu enggak lama, cuma beberapa minggu itupun kalau Mamanya tidak pulang cepat. Betul kata Papanya, ia memang sering kesepian di rumah ini, ya lebih baik ia memanfaatkan keadaan, toh dia juga sudah ada keluarga baru. Walau disana ada mantannya. Caca akan berusaha untuk mencoba menyamankan diri.
Tidak mau terlarut terlalu dalam pada pemikiran dan perasaannya, Caca menyudahi itu semua sembari menarik koper dan barang-barangnya ke mobil. Ya mobil merah yang diberi Mamanya dua bulan lalu Caca gunakan sekarang. Sejak seminggu lalu juga Caca telah menggunakan mobil itu jika dia ingin kemana-mana. Terbukti saat ini, Caca akan membawa mobil itu ke rumah Papanya.
Selama di perjalanan, Caca sibuk melamunkan situasi yang akan datang. Dia akan bersikap bagaimana? Apakah harus acuh tak acuh dan sok tidak peduli pada keberadaan Gio? Caca rasa dia tidak bisa seperti itu. Sekarang, keadaannya berbeda, Gio sudah menjadi saudaranya tapi sekaligus mantannya, mereka nanti akan sering bertemu dan serumah. Semeja makan, dan mungkin saja berangkat bersama ke.. sekolah.
No! Soal itu Caca tidak terima, ya, dia masih tetap pergi pulang bersama Zion. Yang jelas, Caca hanya bisa bergantung pada waktu, kita lihat saja nanti macam mana Caca menghadapi Gio. Mungkin..
"Ca, lo udah sampe.."
Gio membukakan pintu utama, entah kenapa takdir seakan sengaja mempertemukannya dengan Gio tepat saat ia pertama kali menginjak rumah Papanya lagi.
"Papa mana? Bunda?"
Caca perlahan memasuki rumah, koper yang sedari tadi ia seret sudah ia lepaskan dan menyuruh salah satu pembantu untuk membawakan koper itu ke kamar yang biasa ia tempati. Ia meneliti, rumah ini sepi?
"Mereka.. pagi tadi pergi, gue disuruh tetep tinggal disini nunggu lo datang"
Mendengarnya, Caca mengernyit. Papanya dan Bunda Sintia sepertinya sedang merencanakan sebuah rekayasa. Bukannya menyambut kedatangannya, mereka malah pergi dan cuma menyisakan Gio di rumah sendiri. Jadi.. Apa yang harus Caca lakukan?
"Lo.. tau mereka kemana, ke mall--"
"Pergi honeymoon, gue juga kaget pas tau"
Caca mematung, sesaat setelah mendengar itu Caca menggeram dalam hati, honeymoon? Kenapa tidak bilang? Papanya sungguh menyebalkan. Caca lebih rela serumah dengan hantu dari pada serumah dengan..
Tidak! Tidak! Dia ralat, Caca sungguh takut sama hantu. Dia lebih rela serumah dengan mantannya.
"Sorry Ca, gue aja baru di kasih tau lewat telpon pas sebelum gue bukain lo pintu. Kayaknya Papa sama Mama sengaja deh. Gue tau kok lo gak nyaman tinggal bareng sama gue, gue bisa tinggal sebentar di rumah temen gue kalau lo--"
"Enggak. Gue gak bilang tuh gak nyaman kalau serumah sama lo. Lo gak usah lebay Yo, kita ini udah lama putus. Sekarang kita udah beda, udah jadi adek-kakak. Mungkin.. ini waktunya buat kita nyadarin kalau semuanya udah berubah. So, lo mau sekali ini aja enggak menghindar?"
Caca mengontrol nada bicaranya supaya tidak terdengar seperti berharap. Sambil berdehem pelan Caca mendudukan bokongnya di sofa ruang tamu yang kosong. Gio juga ikut-ikutan duduk di salah satu sisi Caca. Caca makin berdehem-dehem tak tentu arah.
"Lo yakin? Papa sama Mama ambil cuti honeymoon sampe dua minggu--"
"Yakinlah, malah gue pikir, semakin banyak waktunya semakin banyak juga peluang kita dekat lagi... sebagai adek-kakak. Yo Kita masa lalu, yang sekarang itu cuma ada keluarga, oke?"
Gio mengangguk mengiyakan dan membenarkan semua ucapan Caca. Mereka tidak boleh terus-terusan menghindar, karna keadaannya sudah berbeda. Gio seharusnya bisa menerima ini semua dari awal walaupun itu susah untuk ia terima.
"Gue setuju apa yang lo bilang, tapi gue mau nambahin satu hal yang mungkin lo tolak"
"Apa?" Caca jadi penasaran.
"Barangkali, biar kita makin deket dan akrab sebagai adik-kakak yang sebenarnya, kita bisa mulai dari hal-hal kecil dulu, kayak sarapan bareng gitu, kalau lo mau kita bisa belajar bareng, dan yang terpenting berangkat dan pulang bareng ke sekolah? Bagaimana?"
Pendapat Gio, Caca acungin jempol, sekalian sampai jempolnya nembus ke bola mata Gio. Caca jadi gemas sendiri.
"Tapi--"
"Lo sendiri tadi yang bilang, kita seharusnya membiasakan diri terus selalu bersama, dan akhirnya kita enggak saling canggung, gue rasa dari hal yang remeh-temeh kek gitu--"
"Oke, gue ngerti. Tapi kalau Zion sampe salah paham dan cemburu sama lo, lo sendiri yang harus tanggung jawab"
"Oke. Kita deal?"
Caca menatap tangan Gio yang terulur, lalu dia menyambutnya dengan semangat.
"Deal!"
Semoga, ini adalah awal dari ketenangan hidup Caca.
****
Caca gak bisa tenang kalau gini, bukannya untung malah jadi buntung. Bola matanya masih sibuk menatap cemas Zion yang sedang memperhatikannya. Dapat Caca duga, Zion sekarang cemburu.
Cepat-cepat Caca turun dari motor Gio dan menghampiri pacarnya itu dengan raut serba salah, lagi.
"Yon, ini.. aku bisa jelasin"
Zion bersikap acuh, dia memasukan tangan ke dalam saku celana lalu berjalan pergi menjauhi Caca.
"Yo, lo harus tanggung jawab" Caca menuntut Gio yang mendekat. Gadis itu tampak frustasi. Sedangkan Gio, menahan kekehannya melihat Caca seperti itu.
"Pacar lo lebay banget Ca, masa iya ngambek cuma karna kita berangkat bareng? Cemburu akut gitu masih aja lo pacarin. Ganti kriteria ya lo?"
Caca menggeram, memukul bahu Gio kencang. "Gak mau tau, pokoknya kita gak bisa lagi pulang dan pergi bareng ke sekolah!"
"Ca, kemarin kita udah deal loh? Kan kita mau lebih deket--"
"Deket dengkul lo, gue kena imbasnya! Zion yang jauhi gue."
"Yaelah Ca, paling cowok lo ngambek bentaran, enggak lama lagi Zion.."
Ucapan Gio melayang di terpa angin, Caca menutup telinganya dan melangkahkan kaki meninggalkan Gio. Cowok itu berdecak, memandang Caca yang perlahan di telan gedung kelas.
****
TERNYATA MEREKA BERANTEM. :D
Jan lupa Vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple LOVE [Completed]
Teen FictionCinta yang sederhana akan lebih indah jika berwarna. ________________ "Lo gila?!" Zion mengelus dada, apa yang dibilang Caca tadi? Gila? Lah dia ini lagi ngadapin siapa sih sebenernya? Orang lagi nyatain perasaan kok di bilang gila? Gak lihat kalau...