Mimih dan Doyoung telah kehabisan akal. Pasalnya berbagai kalimat penenang juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada si lelaki manis tak kunjung mendapat jawaban. Membuat mereka bingung dan tidak tahu tentang apa yang harus dilakukan.
Terhitung sudah satu jam berlalu sejak Taeyong sampai di rumah dalam keadaan terisak pilu, namun lelaki manis itu seolah tidak mampu menjelaskan sesuatu. Bibirnya terkunci, otaknya tidak bisa berpikir lagi, dan satu hal yang paling pasti, hatinya sangat sakit.
"Sebenarnya kamu diapain sama Jaehyun, Yong?"
Kesabaran Doyoung perlahan terkikis. Melihat sepupunya sendiri meringkuk di atas tempat tidur sembari menangis tersedu-sedu membuat dadanya sakit.
"Kalau kamu enggak mau ngomong, aku bakal nyusulin Jaehyun sekarang juga." Lelaki bergigi kelinci itu melanjutkan.
Pada akhirnya Taeyong menoleh. Berbalik ke arah Doyoung dan Mimih yang terduduk di tepi ranjang. Ia kemudian menggeleng pelan. Masih tak mengatakan apa-apa sebab kalimat yang ingin diutarakannya selalu tertahan dan dikalahkan oleh isakan.
"Kalau gitu ngomong atuh, Yong. Udah satu jam kamu nangis kayak gini. Aku sama Mimih udah enggak tahu harus ngelakuin apa lagi supaya bisa ngerti dengan apa yang udah kamu alami," tutur Doyoung frustasi.
Sementara itu, si wanita paruh baya yang tak henti-henti mengusap surai hitam anaknya lantas terdiam. Melihat luka yang terpancar di manik legam Taeyong membuatnya seketika paham jika putra semata wayangnya itu baru saja tersakiti. Namun, ia masih menolak untuk percaya jika sosok dibalik runtuhnya ketegaran Taeyong adalah si lelaki berlesung pipi yang sudah ia anggap anak sulungnya sendiri.
"Mih..."
Mendengar namanya terselip dalam suara parau sang anak memicu rasa perih di relung hati Mimih. Sebab baru kali ini ia mendapati putra kesayangannya seolah tidak memiliki semangat hidup lagi. Hilang harapan, tak tau arah, hancur, dan menyedihkan.
"Iya, nak."
Suara Mimih bergetar kala Taeyong meraih jemarinya. Menggenggamnya begitu erat. Lebih erat daripada saat Taeyong takut menaiki bianglala ketika masih kecil dulu. Padahal satu-satunya trauma yang mampu membuat keberanian putra semata wayangnya itu lumpuh hanyalah ketinggian.
"Taeyong enggak mau pisah sama Jaehyun, Mih."
"Kamu udah ngomong itu berulang kali, Yong." Sela Doyoung, sebab telinganya benar-benar telah panas akibat mendengarkan hal yang sama sejak dalam perjalanan pulang dari kampus hingga sekarang mereka telah di rumah Mimih dan Babah.
"Sebenarnya ada apa sama kalian?" Sambung si lelaki bergigi kelinci, "Dia mutusin kamu?" Tanyanya spontan.
Mimih refleks menahan napas ketika genggaman sang anak pada jemarinya kian mengerat. Taeyong pun kembali terisak lalu menggeleng pelan.
"Sakit, Mih..." Lelaki manis itu mencoba berbicara di sela-sela tangisnya.
Air mata si wanita paruh baya pun tidak dapat tertahankan lagi. Ia kemudian membungkuk, mengecup kening putranya sejenak lalu bergumam, "Mimih juga sakit lihat kamu kayak gini, nak."
"Ngomong sama Mimih, jelasin pelan-pelan apa yang udah terjadi sama kamu dan Jaehyun," ia melanjutkan.
Si lelaki manis bangkit dari posisinya. Terduduk di sebelah sang Ibu sebelum beralih mendekap erat tubuh malaikatnya itu.
"Taeyong yang salah, Mih. Taeyong yang udah bikin Jaehyun bosan."
"Ssstt, kamu jangan ngomong gitu, nak." Mimih mengusap punggung putranya.
"Apa Taeyong emang enggak pantas dicintai, Mih?"
"Enggak, Yong. Enggak. Kamu pantas dicintai," hati Mimih sakit saat mengucapkan kalimat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth 2 : Before | Jaeyong ✓
Fanfiction❝Before we begin anything, there's a lot of stories the world should know about us❞ LOCAL AU | HURT/COMFORT | NC-17 | INTROSPECTIVE Jaehyun Jayantaka Pradana, seorang mahasiswa di Universitas Biantara yang nyaris memiliki segala harapan dari setiap...