Seorang pemuda dengan wajah khas orang barat tengah berjalan menuju sebuah sekolah yang sangat terkenal di Jakarta. Ia berjalan dengan sesekali melirik sekitar, hingga tiba tiba saja seorang pemuda dengan kulit sawo matang menabraknya dengan sangat kencang.
"Eh maaf, gue nggak liat tadi." Ucap pemuda berkulit sawo matang itu, pemuda itu mengeja name tag seseorang yang baru saja ia tabrak.
Muhammad Mark lien
"Wihh murid baru ya lo?" Tanyanya pada Mark.
"Iya," jawab Mark dengan tersenyum ramah. Pemuda dihadapannya mengulurkan tangan.
"Haechan Ahmad Surendar, panggil aja Haechan." Mark membalas uluran tangan Haechan, sepertinya pemuda dihadapannya ini cukup membuatnya nyaman jika harus berteman, begitu pikir Mark.
"Muhammad Mark Lien, panggil aja Mark." Haechan hanya mengangguk, kemudian merangkul Mark layaknya teman yang telah akrab sedari dulu.
Semua murid dikoridor menatap heran pemuda yang berada disamping cacing kermi, iya Haechan hampir dikenal oleh seluruh warga sekolahnya karena sifatnya yang tidak bisa diam, dan jika Haechan diam satu hari berarti pemuda itu tengah kelaparan atau bisa saja sakit.
"Widih sekelas sama gue lo!" Seru Haechan saat melihat Mark mengeluarkan kartu identitasnya.
"Duduk sama gue aja, bangku samping gue kosong." Mark hanya mengangguk saja, apakah ia tidak salah jika harus satu meja dengan Haechan?
**
Sementara itu suasana dikelas 2 sangat jauh dari kata tertib, hampir seluruh warga kelasnya berisi anak anak yang bobrok, wali kelas mereka bahkan sudah menyerah akan tingkah mereka.
Tiga pemuda yang duduk dibangku paling belakang bernyanyi, salah satu diantara mereka melakukan sebuah tarian, kemudian yang lainnya menyanyi.
"Na! Tariannya kurang hot!" Seru salah satu diantara mereka dengan nada ngegas. Kalau kata dia mah Ngegas is my life.
"Lo juga sana No! Tunjukin bakat nari lo!" Ucapnya lagi, membuat pemuda yang ia panggil No mendelik kesal.
"Ini bukan nari, tapi ngedance." Ucapnya dengan santai, diantara mereka bertiga dia yang paling sabar.
Mereka melakukannya dengan brutal, Felix si ketua kelas pun ikut menari dengan tak jelas. Hingga kegiatan mereka harus terhenti saat pintu kelasnya terbuka.
"Renjun Ananta, Jeno Daraga, Diafqari Jaemin harap keruangan saya setelah jam sekolah selesai." Kepala sekolah yang masih muda namun terkenal dengan kegalakannya Pak Teondar
"Lah Pak kok kita bertiga doang? Felix juga ikutan." Ucapan Jaemin atau pemuda yang kerap kali dipanggil Nana itu tidak dihiraukan oleh Pak Teondar.
"Guru sableng." Gumam Jaemin.
"Cabut aja deh!" Renjun mengambil tasnya diikuti oleh Jeno dan Jaemin, teman temannya masa bodoh toh mereka juga sering seperti itu.
Mereka tak langsung pulang melainkan duduk diatas pohon mangga yang terletak dibelakang sekolah, dengan sesekali mengambil mangga yang tengah matang.
"Nyokap lo gimana Jen?" Perketaan pertama Jaemin setelah hening beberapa lama.
"Ya gitu deh." Jaemin tentu melihat mata sendu Jeno walau pemuda itu tak menatapnya langsung.
"Nyokap lo sendiri gimana?" Renjun bertanya pada Jaemin yang hanya dibalas senyuman, Renjun dan Jeno tau senyuman apa itu.
Mereka hanya tersenyum miris mengingat keadaan keluarga mereka. Mereka adalah sekelompok pemuda yang memimpikan indahnya kehangatan keluarga mereka, Pemuda yang menginginkan arti sebuah keluarga yang sebenarnya. Namun mereka tahu semua itu hanya angan angan yang tak mungkin untuk terjadi.
Cukup jika dirumah saja mereka bersedih. Cukup dirumah saja.
"Langsung pulang?" Tanya Jeno setelah melihat mata hari hampir tenggelam.
"Iya, nanti jam tujuh kumpul dicafe inget!"
Mereka pulang, hingga melupakan Pak Teondar yang tengah menunggu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Dream [Nct] Completed✅
FanfictionBukan kisah fantasi, bukan juga kisah benci jadi cinta, ini merupakan kisah perjalanan dari ke tujuh lelaki dengan segala perbedaan yang membuatnya menjadi satu, kisah dimana persahabatan mereka akan diuji, kisah dimana mereka dipandang rendah, kisa...