2

1.5K 162 1
                                    

Renjun berjalan memasuki rumah yang megah namun tak pernah bisa membuatnya nyaman. Ia membuka pintu tesebut, kosong dan hampa. Orang tuanya jarang pulang, jika mereka pulang bukan kehangatan yang Renjun dapatkan, melainkan pertengkaran kedua orang tuanya yang berujung pergi satu sama lain.




Jeno duduk diruang tamu, ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

"Sudah berapa kali mama bilang Jeno! Jangan bermain dengan mereka!" Mama Jeno terlihat frustasi saat mengetahui tingkah anak lelakinya tersebut.

"Apa hak anda melarang saya?" Tanya Jeno dengan nada datar.

"Mama nggak mau kamu jadi brandalan gini Jeno! Kamu ini beda banget sama kembaran kamu."
Jeno masih diam, wajahnya masih terlihat datar seperti sebelumnya.

"Eric selalu membanggakan Mama, dia selalu bawa piala buat Mama. Sedangkan kamu? Prestasi kamu nol Jeno! Nol besar!"
Jeno masih terdiam, walau sakit dihatinya mulai terasa. Batinnya mulai menangis.

"Sejak kapan anda melihat saya? Dari kecil yang anda lihat hanya kesalahan saya, hanya kebodohan saya! Kenapa?!!!"

Plak!

Tamparan yang sangat keras membuat sudut bibir pemuda itu robek.

"ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG! PERGI KAMU DARI SINI!" Ayah Jeno berseru, membuat Jeno tersenyum miris kemudian beranjak meninggalkan tempat yang sering ia sebut dengan neraka itu.






Sementara itu Jaemin tengah menutup matanya sejenak. Kedua orang tuanya resmi bercerai, mereka telah mempunyai keluarga masing masing yang telah mereka bina secara diam diam. Ayahnya menikah lagi, begitu dengan Ibunya.

Mereka telah berjanji akan memberikan rumah tersebut pada Jaemin, serta akan mengirimkan uang setiap bulan untuknya, namun bukan itu yang Jaemin inginkan. Pemuda itu hanya menginginkan keluarganya kembali utuh, seperti tujuh tahun yang lalu. Dimana ia masih mendapat kasih sayang yang berlimpah.

**

Renjun, Jeno, dan Jaemin telah pergi menuju cafe yang biasa mereka tongkrongi.

Mereka tak memiliki alasan untuk berpulang, mereka tak memiliki rumah untuk berteduh, mereka tak lagi memiliki keluarga jika mereka tak bertemu satu sama lain. Karena masalah yang sama, beban hidup yang sama akhirnya mereka menjadi satu keluarga yang akan menjadi bagian hidupnya ini.

"Gue diusir." Ucap Jeno dengan menyesap secangkir teh hangat, walaupun rasa perih masih terasa saat ia menyesapnya.

"Tinggal dirumah gue aja." Tawar Renjun.

Jaemin menghentikan aktifitasnya yang tengah meniup kopi pesanannya, kemudian pemuda itu berseru.

"Ikut dong."

Renjun hanya mengangguk, ia sangat senang jika kedua sahabatnya itu tinggal bersamanya, Renjun juga berharap bahwa mereka tak akan pernah bisa terpisahkan.

"Weh! Ada malika, tutupan cepet." Jeno berucap saat melihat Haechan memasuki cafe tersebut. Mereka segera menggunakan buku menu cafe untuk menutupi wajah mereka.

Bukan apa apa, hanya saja jika Haechan mengenali mereka maka pemuda itu tak segan segan akan meminta traktiran, alasannya hanya karena mereka satu sekolah.

"Si malika sama siapa tuh?" Tanya Jaemin dengan mengintip Haechan yang tengah duduk disebrang meja mereka.

"Nggak tau, mukanya bule njir." Renjun ikut mengintip mereka hingga tiba tiba saja Haechan berseru pada mereka.

"HEY BRO!"

Panggilnya, padahal sebenarnya mereka tak kenal satu sama lain.
Mark yang melihat wajah ketiga pemuda itu hanya menahan malu.

Melihat teman temannya diam, Jeno langsung tersenyum canggung.

"Hai, juga bang."

Haechan menarik dua kursi kemudian duduk bergabung dengan mereka.

"Kenalin Mark, temen gue." Mark tersenyum, membuat ketiga pemuda itu menghembuskan nafasnya lega. Sepertinya Mark tidak seperti Haechan.

"Jeno, bang."

"Renjun."

"Jaemin bang, biasa dipanggil Nana."

Entah mengapa Mark merasa nyaman dengan mereka termasuk Haechan, ya walau Haechan tidak pernah diam setidaknya dialah yang menghapus suasana canggung disana.

"Gue baru tau nama kalian loh, padahal kan kita satu sekolah ya walau beda setahun sih."

"Ya makanya nanya mansur! Kalau udah dibayarin langsung pergi gitu aja!" Renjun berucap seakan tengah meluapkan emosinya.

"Hehe, sibuk soalnya."

"Sibuk ngejemur ikan asin." Ucap Jaemin tanpa sadar.

"Wihh kok lo tau?!"

"Nggak kaget sih, kalau kulit lo eksotis." Ucap Jeno, sedangkan Haechan membusungkan dadanya ia baru saja mendapat pujian dari Jeno begitu pikirnya.

"Mirip Kai ekso kan?" Tanya Haechan dengan menirukan gaya Kai di Mv Exo love shot.

"Mirip, kalau diliat dari Namsan tower terus kita tutup mata." Ucapan Jaemin mampu mengundang tawa Mark, tawa Mark menular pada keempat pemuda disana termasuk Haechan.

Mark baru merasakan kebahagiaan yang sederhana dengan mereka, ia berharap mereka akan menjadi teman baik.

"Gue pulang dulu bro! Takut dicariin nenek gue." Haechan berpamitan, begitu juga Mark.

Tak lama, merekapun pulang. Mereka sengaja berjalan, karena menikmati keindahan malam kota Jakarta adalah hal yang paling mereka sukai.

Angin malam yang dingin mulai menusuk, namun tak membuat ketiga pemuda tanggung tersebut berjalan dengan semangat.

"Woy! Gawat anjeng!" Renjun berhenti kemudian berseru, membuat Jaemin dan Jeno menatapnya bingung.

"Ada yang ketinggalan?" Tanya Jeno, Renjun segera menggelang cepat. Raut wajahnya terlihat sangat panik.

"Pak Teo gimana woy!" Jaemin dan Jeno membelakan matanya, sial kenapa mereka melupakan hal itu? Tamatlah riwayat mereka besok.

"Kagak usah berangkat nyet." Jaemin berujar santai kemudian meninggalkan mereka.

Renjun dan Jeno berlari lalu merangkul Jaemin serempak.

"Pinter juga lo."

"Ini nih temen gue!"

Mereka tertawa ditengah keramaian kota Jakarta. Kota yang akan menjadi saksi dimana mereka akan selalu bersama, selalu.

We Dream [Nct] Completed✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang