this time?

487 59 0
                                    

Semua orang kini berkumpul diruang tengah milik Teo guna membahas debut stage untuk para anak anaknya.

Semua kini tengah bersama orang tua mereka masing masing, mengeluarkan segala uneg-uneg yang tersimpan dihati.

Jeno tersenyum melihat kehatangan yang terpatri disana. Andai saja Eric masih ada pasti ia akan mengajak pemuda itu untuk menemaninya, memberikan dukungan, dan setidaknya memberikan Jeno sedikit ketenangan.

Mau sampai kapan lo kayak gini, Jen? Eric nggak bakal suka anjir.

"Bang?" Panggilan Sungchan membuat Jeno berhenti sejenak memikirkan Eric.

"Hm?"

"Semangat dua hari kedepan ya? Jangan sakit,"

Hati Jeno menghangat mendengar perkataan Sungchan, entahlah ia seakan telah dekat bahkan sangat dekat dengan Sungchan.

Dibalik itu seseorang memandangi mereka dengan senyum penuh diwajahnya. Ini kah waktunya?

Lelaki itu baru saja akan menghampiri Jeno dan Sungchan tapi melihat seseorang yang kini berdiri tapat ditengah pintu utama yang terbuka ia mengurungkan niatnya itu.

"Johnny?" panggil Teil dengan berdiri dan menghampirinya.

Jeno tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.

"P-papah?" gumam Jeno yang hendak lari dan memeluk sang ayah namun pemuda itu mengurungkan niatnya tersebut.

Teo langsung menghampiri Johnny dan menyuruhnya untuk duduk bergabung dengan mereka. Johnny diam menatap Teo nyalang.

Bug!

Tanpa basa basi Johnny langsung memukul wajah Teo membuat semua yang disana terkejut.

"Lo dibalik semua ini kan?!" teriak Johnny dengan menarik baju Teo.

"Kenapa? Kenapa lo bikin gue benci sama anak yang seharusnya nggak gue benci, kenapa?!!"

Teo diam, membuat semua orang disana semakin bingung.

"Kenapa lo bikin gue gini, Lee Taeyong."

Anak anak remaja disana terkejut melihat masing masing orang tua mereka yang nampaknya telah mengetahui fakta ini.

"K-kalian tahu?" tanya Renjun dan nada tak menyangka.

"Nggak Njun, mereka baru tahu semalam," jelas Teo membuat suasana semakin rumit untuk dipahami.

"Lo belum jelasin ke anak lo?"

"Ini belum waktunya, bang!"

"Belum waktunya? harusnya lo mikir gimana menderitanya dia! gimana perasaan dia selama ini!"

"Bukannya itu semua gara gara lo?"

Bug!

Satu hantaman keras membuat Teo tersungkur. Melihat itu semua segera memisahkan keduanya, Sungchan hampir saja menangis melihat ayahnya itu.

"Iya emang gue salah! tapi lebih parah lo yang selama delapan belas tahun nyembunyiin kenyataan bahwa Jeno anak lo!"

Bagai disambar petir, Jeno memegang dadanya sakit. Lelucon apa yang sedang mereka jalankan saat ini?

Johnny melangkah mendekat memeluk putra yang selama ini ia abaikan kehadirannya.

"M-maaf, maafin papah." Jeno masih diam, tatapan matanya kosong.

Jika yang dikatakan itu benar. Bagaimana mungkin hidup Jeno dipermainkan seperti ini? apa mereka tidak memikirkan perasaan Jeno? Jeno juga manusia bukan? sebegitu tidak pentingkah kehidupan Jeno?

"Jen?" panggil Jaemin yang membuat Jeno berdecih.

Pemuda itu mengambil jaketnya lalu pergi meninggalkan tempat itu. Pergi kemanapun bahkan jika harus meninggalkan dunia, Jeno siap.

Teo, ah maksudnya Taeyong mencengkram rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang dia inginkan.

"Gue mau nyusul Jeno." Jaemin hendak menyusul Jeno, namun Taeyong lebih dahulu beranjak dari sana.

"P-papah," lirih Sungchan.

"Bokap lo bakal baik baik aja." ucap Shotaro menenangkan.

"Tempat kesukaan Jeno dimana?" tanya Taeyong yang berbalik lagi.

"Kalau lagi sedih sih biasanya ke rooftop sekolah."

Mendengar itu Taeyong lengsung berlari dan mengambil mobilnya.

Jalanan kota yang mulai lenggang membuat Taeyong menambah kecepatan mobilnya. Ia harus mengatakan alasan ia harus menyembunyikan semua ini dari dirinya.

Saat sampai disana, pintu rooftop terkunci dan sialnya lagi Taeyong lupa membawa kunci tersebut.

"Jeno?" panggil Taeyong berharap Jeno memang berada disana.

Iya, Jeno memang disana, pemuda itu kini tengah berdiri pada dinding pembatas dan memandang kolam renang yang terasa sangat jauh dibawah.

"Poooong," lirih Jeno dengan menggerakkan tangannya seakan melempar sesuatu. Pemuda itu kemudian terkekeh ringan.

"Gue pengin nyusul lo."

Saat hendak menjatuhkan diri, Jeno mendengar suara isakan yang berasal dari luar. Bolehkah Jeno egois? Bolehkah Jeno memilih untuk pergi dan membiarkan seseorang yang katanya ayahnya hidup dalam penyesalan?

"Maaf," ucap Taeyong ditengah isakan tangisnya.

"Maafin Papah, Jeno."

"P-papah?" lirih Jeno yang entah kenapa memanggil Taeyong dengan sebutan itu membuat hatinya sedikit meluluh.

"Papah minta maaf karena selama ini meninggalkan kamu, meninggalkan tugas seorang ayah yang seharusnya mendidik putranya. Seorang ayah yang seharusnya menjadi panutan untuk keluarga. Tapi Jeno, semua ini bukanlah kemauan Papah."

"Anda pikir semua ini juga kemauan saya?! enggak! kalaupun saya bisa milih, saya lebih milih nggak ada didunia ini, Pah."

Rasanya berat sekali untuk memanggil Taeyong dengan sebutan Papah, tapi hati kecil Jeno menginginkan seorang ayah seperti Taeyong. Bagaimana tidak, lelaki itu selalu melihat semua orang dengan tatapan hangat, perlakuannya membuat Jeno merasakan bahwa ia tengah berlindung pada sesosok yang Jeno cari selama ini.

"Papah minta maaf," lirih Taeyong yang kini terisak disana.

Jeno masih belum percaya akan semua ini. Jika memang benar Jeno dan Eric bukanlah saudara kandung, lantas mengapa Jeno merasakan sesak setiap harinya? sakit saat melihat Eric menangis.

"Papah cuma mau cerita sedikit Jeno, tentang Mamah, Papah dan kamu."

Jeno diam ia hanya duduk dengan mata yang berkabut.

"Dulu, saat Papah memutuskan untuk menikahi ibumu, keluarga Papah menolak itu Jeno. Bahkan keluarga ibumu juga, tapi kakak ibumu merestui dan memutuskan untuk menikahkan kami di Indonesia. Singkat cerita, setahun setelah menikah kami dikaruniai seorang malaikat kecil dengan senyum secerah matahari."

Taeyong menghembuskan nafas sejenak, sebelum akhirnya lelaki itu terkekeh dengan kepingan memori yang masih tersisa dalam ingatannya.

"Saat satu jam setelah melahirkan seorang jagoan kecil Papah, kami mendapat kabar kalau suruhan keluarga kami datang untuk membawamu. Dan kami tahu akhir seperti apa yang akan terjadi kalau mereka sampai membawamu. Papah percayakan kamu pada Johnny, tapi Papah tahu ini salah Papah juga yang bahkan nggak bilang dulu sama Johnny. Papah takut Jen, Papah takut kalau mereka tahu kamu Papah titipkan."

Jeno diam, ia tahu bagaimana takutnya Taeyong sewaktu dulu, dari cara bicara dan isak tangis yang ia dengar.

Bolehkah ia memaafkan Taeyong secepat itu? Ia sangat menginginkan sesosok ayah yang ia cari selama ini, tapi pikiran Jeno mengatakan yang lain.

We Dream [Nct] Completed✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang