30: Perlahan Bebas

134 17 2
                                    

Padahal jam beker di sana belum berbunyi.

Claire mengerjapkan matanya menatap langit-langit kamarnya. Kesadarannya sudah terkumpul semua. Termasuk kesadaran untuk fokus pada sosok yang masih tidur di sebelahnya. Satu set lengkap punggung kekar dan rambut yang warnanya seperti matahari terbenam.

Ia dekatkan tubuhnya sendiri kepada laki-laki itu. Menempelkan dirinya sendiri pada punggung itu sembari melingkarkan lengannya. Kali ini bukan hanya bau sabun, gas, besi terbakar. Dari kombinasi bebauan itu ada aroma lain yang belakangan menyelimuti lelaki itu. Asap rokok yang diam-diam Gray hembuskan di malam hari.

Pelan-pelan Claire pelajari debaran jantungnya sendiri. Ia renungi perasaannya selama ini.

Kenapa aku begini?

.

Ketika air keran menabrak panci, Gray baru keluar dari kamar dengan mata merah dan rambut kusut. Rasa kantuk masih menyelimutinya.

"Gray, sarapannya sudah siap".

"Iya.." jawabnya sambil berlalu ke kamar mandi.

Selesai meletakkan alat dapur terakhir ke rak, Claire memutus air keran, lalu segera mengurus tumpukan keranjang baju kotor yang ada di depan kamar mandi.

"Gray".

"Ya?" jawaban dari kamar mandi.

"Jaketmu robek lagi, ya".

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, dengan Gray yang sudah kelihatan segar. Ekspresinya terkejut sembari ikut memeriksa jaket yang dibentangkan istrinya. Sayatan seperti hasil terbakar itu baru sekarang disadari pemiliknya.

"Entah ini sudah jahitan ke berapa. Tidak ingin beli baru?" Tanya Claire setelah menyisihkan jaket itu dan memasukkan pakaian kotor lain ke mesin cuci.

"Selagi kamu masih bisa menjahitkannya lagi, saya tidak perlu jaket baru" ujar Gray enteng sambil mengacak rambut istrinya gemas. Kemudian ia pun berlalu ke arah sarapannya. Sementara Claire segera menyalakan mesin cucinya lalu berjalan ke arah rak demi mengambil alat jahitnya.

"Claire, kenapa mangkuk nasinya hanya satu?".

Sebelah alis Gray setia terangkat ketika menunggu jawaban istrinya itu, yang sama sekali tidak ada tanda-tanda akan bergabung sarapan dengannya. Perempuan itu malah mengambil tempat di depan TV dan mulai menjahit.

"Aku sudah sarapan duluan".

"Kenapa?".

"Karena.. Karena jadwalku harus lebih pagi".

Helaan napas Gray membuat dada Claire semakin sesak. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Mungkin enggan berdebat, mungkin juga memilih mengalah.

Pagi itu diisi diam.

Claire pandangi hasil pekerjaannya. Lubang itu sudah tertutup sempurna dan benangnya masih mengekori jarum.

Kenapa aku melakukan ini?

.

Sudah beberapa jam berlalu sejak Gray mengatakan, "Claire, saya berangkat". Bodohnya Claire hanya membalasnya dengan anggukan. Tanpa ciuman. Tanpa mengantarkan sampai ambang pintu.

Rasa sesal memang muncul. Tapi hanya sedikit.

Perhatian Claire dari tanaman kebunnya teralihkan ketika sesuatu membenturkan diri padanya. Jantungnya seakan jatuh ketika menyadari sesuatu itu adalah domba miliknya.

Perlahan Claire menarik napasnya.

Lalu menghembuskan napasnya perlahan.

Kemudian teriakan tertahan muncul dari mulutnya. Teriakan itu terdengar seperti decitan, tapi cukup bagi Claire untuk melampiaskan kekecewaan atas keteledorannya.

INNOCENCE, MARRIAGE, AND MINERAL TOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang