20 : Gray Pergi

153 19 2
                                    

"Pembuluh arteri yang mensuplai darah ke otak tersumbat. Stroke".

Kaki Claire langsung lemas dan ambruk. Ann dengan segala kesigapannya menangkap perempuan lemah itu dalam dekapannya.

"Aku sudah menelfon rumah sakit besar dan membuatkan surat rujukan". Dokter menghampiri Claire, berusaha menguatkan dengan menepuk pundaknya. "Kakekmu masih ada harapan".

"Dengar, Claire?" Ann mengusap-usap rambut keemasan itu dengan senyum penuh harap. Elli hanya bisa melihat pemandangan itu dari matanya yang berkaca-kaca.

Suara pintu klinik yang dibuka terburu-buru, derapan kaki, lalu wajah panik berkeringat akhirnya muncul di ruangan itu. "Saya sudah menguhubungi ayah dan ibu" lapornya. Ia menghampiri istrinya dan segera menggantikan posisi Ann. Matanya menjadi sayu ketika mengerti apa yang diderita sang kakek dari lembar diagnosis yang diselipkan beserta surat rujukan di atas meja.

Doug ada di sana memandang khawatir. Anna menangis sesenggukan di kursi tunggu dengan ditemani dua wanita lain, Sasha dan Manna. Karen menunggu di luar bersama Rick dan adiknya, Popuri. Mereka tidak ingin membuat suasana jadi lebih sumpek karena penuh sesak dengan orang. Barley dan sang cucu, May juga ada di luar bersama pastur Carter di sampingnya yang sedang berdoa dengan Zack.

Mineral Town kehilangan petaninya.

.

"Kakek bisa mengerti aku? Kedip dua kali kalau iya".

Pria tua itu mengedipkan mata dua kali.

Sontak saja Claire dengan tangan gemetarnya menggenggam tangan sang kakek erat-erat. Air matanya tidak terbendung lagi antara lega dan penyesalan. Kalau saja dia pulang lebih awal, kakeknya akan mendapat pertolongan lebih cepat. Butuh 2-3 jam untuk helikopter medis tiba kemari, dan waktu penanganan untuk menangani sang kakek semakin tipis. Sebelum penyakit itu menggerogoti otaknya.

Gray mengusap rambut putihnya pelan. Setiap usapan berasa menyalurkan emosinya. Menyesal, sedih, sayang. Pria itu berusaha mati-matian mengontrol diri. Biar istrinya saja yang mewakilkan luapan emosinya. Tubuhnya tersentak ketika sadar iris mata sang kakek mengarah padanya. Ia segera menunduk, mendekatkan diri padanya, menerka-nerka apa yang diinginkannya. Seolah paham, Gray berkata, "Saya akan menjaga Claire, menjaga rumah, menjaga kesayangan kakek baik-baik. Saya janji".

Sang kakek berkedip beberapa kali, sebelah bibirnya terangkat sebelahnya tetap turun.

Sekarang hampir pukul satu pagi, dan orang-orang dengan setia menunggui di luar klinik. Tidak peduli seberapa kantuk mereka, mereka harus mengantar kepergian si tua Jack dengan selamat. Tidak lama, mereka dikagetkan oleh suara angin dari arah pantai. Beberapa orang berpakaian putih muncul dari ujung jalan. Beberapa dari orang itu gotong royong mengangkat kasur lipat berroda.

"Mereka sudah datang!" seru Karen pada siapa saja yang ada dalam klinik. Dokter melongokkan kepala keluar, lalu segera membuka pintu klinik lebar-lebar. Gray yang mendengar teriakan Karen segera menjauh dari Jack agar petugas medis leluasa membawanya pergi. Ia biarkan sebentar istrinya itu yang masih tidak rela, dan setelah orang-orang medis itu masuk barulah ia menarik istrinya menjauh. Ia biarkan bagian dada jaket parkanya basah.

"Ayah!" seru wanita paruh baya yang kepalanya sudah melongok ke ruangan kakeknya.

Mendengar suara itu, Claire segera melepaskan diri dari dekapan suaminya dan berhambur ke pelukan ibunya.

"Kalian beri jalan sebentar.." laki-laki lain yang juga baru datang mendorong anak dan istrinya menjauhi pintu. Matanya juga berair dan tidak tahan melihat pemandangan petugas medis yang hendak membawa ayahnya pergi.

Mereka segera membuntuti petugas medis itu, termasuk Gray setelah si ayah memberi gestur memanggil. Orang-orang yang sedari tadi menunggu ikut membuntuti. Cemas. Gopoh. Frustrasi. Lega. Optimis. Berharap.

INNOCENCE, MARRIAGE, AND MINERAL TOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang