22 : Kepingan

150 21 3
                                    

Putaran demi putaran. Bulu itu menari berlenggak-lenggok memamerkan warna birunya di hadapan seorang perempuan. Perempuan dengan kelopak sayu, menyandarkan punggungnya terhadap kelembutan bantal. Jari-jarinya tetap senang memainkan pangkal bulu. Ia putar-putar lagi. Ia kagumi keindahannya.

Claire mengatur napas teratur. Mata fokus kepada putaran, telinga tidak mendengar apa-apa, pikiran merembes kemana-mana. Memori seharian sudah ambyar ia renungi. Menambah rasa lelah pada tubuhnya yang sudah lelah.

Bergumul dengan kotoran binatang membuatnya muak.

Tante Anna-nya datang lagi. Mengoceh dengan cemoohan lagi. Wanita itu mulai mengorek-ngorek apa saja yang bisa disalahkan. Omelannya mulai tidak berdasar.

Lantainya sudah bersih waktu itu. Air pel bahkan belum dibuang. Kumpulan ayam-ayam masuk begitu saja ke dalam rumah.

"Makannya jangan lupa ditutup! Salah sendiri!" bentaknya.

Padahal jelas-jelas dia sendiri yang menggiringnya masuk rumah.

Mengingatnya saja membuat Claire menggigit bibir gemas. Berkali-kali ia obrak-abrik memorinya mencari salahnya di mana hingga membuat si wanita geregetan. Tidak ketemu. Mungkin Claire yang terlalu tumpul hingga tidak sadar.

Perlakuan Anna padanya kadang pahit kadang manis. Kini pahitnya meleber ke mana-mana. Ketiadaan Kakek telah membuka kurungan iblis.

Bulu biru pemberian Gray ia kesampingkan ke atas meja. Tangannya meraih-raih ke langit-langit.

'Dok Dok Dok' suara ketukan dari jendela kamarnya. "Claire sini ikut aku!".

Ia ambil posisi jongkok, lalu melompat. Deritan kasur dan napas Claire memenuhi kamarnya.

"Nanti dimarahi ibu".

Tapi saat ini tidak ada yang memarahinya.

Kakinya mendarat sampai bunyi bedebum menghantam lantai. Tangannya ia bentangkan seakan bangga terhadap kelakuannya.

"Gak papa, kalo ketahuan nanti kakak sembunyikan kamu".

Saat ini kalau pun ketahuan, ketahuan sama siapa? Claire terkekeh. Ia buka lemari, mengambil setelan tuksedo yang sudah dilindungi plastik. Ia kenakan jasnya saja yang jelas-jelas kebesaran. Ia putar tubuhnya sampai jasnya mengembang.

Lalu ia longokkan kepala keluar dari kamarnya. Ia tengok kanan lalu ke kiri. Tidak ada siapa-siapa.

Secara bertahap ia keluarkan kaki kanannya, kemudian pergelangan tangan, seluruh tangan, rambut, kepala, hingga seluruh tubuhnya keluar dari kamar. Ia ambil ancang-ancang lalu melompat tinggi-tinggi sampai mendarat dengan bunyi 'Brak!'. Bibirnya menunjukkan gigi agaknya ringisan gadis berumur lima tahun. Benar, tidak ada siapa-siapa.

Tidak ada kepala menyembul kaget dari arah mana pun.

Ia tidak perlu khawatir dengan sang kakek tiba-tiba keluar dari kamarnya. Tidak perlu sigap ketika sang suami tiba-tiba masuk ke rumah pulang dari kerjanya. Tidak perlu merasa awas dengan kedatangan Tante Anna yang tahu-tahu muncul membagi celatu. Tidak perlu gundah memikirkan menu sarapan, makan siang, mau pun makan malam. Tidak perlu menyilahkan kakek mau pun suaminya mandi duluan. Tidak perlu mengambil pesanan kakek dari pelabuhan. Tidak perlu berbagi kamar dengan orang lain.

Ia putar berkali-kali jasnya berlagak pamer di depan foto pernikahannya. Di mana sang mempelai pria mengenakan tuksedo biru dongker yang sama.

"Claire! Ayo ikut Kakak! Aku ajak ke tempat seru, tapi jangan bilang ibu".

Claire menggeleng. Jantungnya berdetak ketika perlahan menaiki kursi, lalu menginjak meja makan dengan kedua kakinya. Getaran rasa salah langsung menyelubungi sebadan-badan. Yang dilakukannya tidak etis. Tidak sopan. Sangat. Debarannya terus terpacu selagi ia mondar-mandir mengelilingi permukaan meja makan. Semua perabotannya terlihat kerdil dari atas sini.

INNOCENCE, MARRIAGE, AND MINERAL TOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang