Buku dan teh hangat adalah kombinasi terbaik, apa lagi ditambah suara rintik hujan yang mulai mengucur membentur atap meninggalkan jejak pada jendela. Gray menelusuri kenikmatan itu dengan sesekali menyesap tehnya dan membalik novelnya ke halaman berikutnya. Penampilannya santai dengan kaus oblong dan celana kolor. Rambutnya masih basah, begitu pun kulitnya yang terlihat segar. Kalau saja Claire tidak sibuk saat ini, sudah ia pandangi laki-laki yang duduk di kursi makan itu dengan khidmat dengan segala kagumnya.
Laporan keuangan Summer Farm yang bisnisnya mulai bangkit begitu demanding seperti anak balita. Berkat usahanya belajar berkebun ditambah bantuan Cliff, pengiriman hasil produk bisa jalan kembali, walau sudah kehilangan banyak pelanggan. Tapi masih untung bisnis kakeknya masih bisa dijalankan, Claire dan suaminya hanya bisa bersyukur dan go with the flow.
Menghitung, mencatat, memeriksa struk. Claire benar-benar mirip Gray kalau sudah begini. Tatapan matanya fokus, meski sekali-sekali melirik suaminya di seberang sana. Gray pun meski terlihat fokus pada novel yang dibacanya, diam-diam ikut memperhatikan istrinya ini. Hingga sesuatu mengganggu Gray yang membuat lelaki itu menutup novelnya dan bangkit beranjak menuju kamarnya.
Kaget dan heran, Claire memperhatikan gerak-gerik Gray yang janggal. Pasalnya ia tidak berpamitan seperti biasanya. Tapi keheranan Claire pupus ketika lelakinya itu datang lagi dengan menenteng buku dan menyodorkan kalkulator padanya.
"Biar lebih cepat" ujar Gray ketika Claire masih ragu-ragu menerimanya.
Melihat Claire menghitung tanpa kalkulator menimbulkan 'kecemasan' absurd pada diri Gray. Ia terlalu terbiasa melakukan hal dengan cepat karena paksaan kakeknya selama masa remaja.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Gray sudah mengambil duduk mapan di tempatnya tadi, kemudian menggelar buku laporan beserta alat tulis. Ia pun mulai menulis. Sesekali menggunakan kalkulator bergantian dengan Claire. Menulis, menghitung, mengecek laporan. Menyadari kegiatan yang mereka lakukan membuat Claire terkikik geli.
"Kenapa?".
Claire menggeleng, meski senyum tetap terbit. "Kita seperti sedang mengerjakan PR".
Gray tergelak. "Oh, iya?".
"Iya. Seperti belajar bersama, mengerjakan PR, menanti ujian". Imajinasi Claire sudah liar membayang-bayang dirinya kembali remaja. Latar rumahnya sudah ia sulap menjadi perpustakaan, pakaian santainya ia gantikan dengan seragam sekolah.
"Tidak mungkin, tidak akan mungkin, dulu saya tidak senang belajar" kekeh Gray.
"Ya, ceritanya aku paksa kamu belajar!" seru Claire. "Ah! Tapi.." Claire mengangkat jari-jarinya seperti menghitung. "Kamu akan jadi kakak kelasku, dong!".
Gray mengangguk. "Kita sama-sama nggak tahu materinya, saya juga nggak senang belajar. Jadi, skenarionya tidak mungkin".
"Aku ajak kakakku. Memaksa kamu" Claire terkekeh, imajinasinya terlalu ingin dia wujudkan. "Kalian seangkatan kan? Nanti kalian belajar bersama, mempersiapkan ujian. Lalu, aku akan melihat kalian sambil mengerjakan PR-PR-ku".
"Kalau itu.. Bisa, sih" jawab Gray ragu. Bayangannya akan Pete yang membantunya belajar pasti akan dipenuhi omelan dan cacian.
"Kalau kita saling mengenal lebih awal, akan bagaimana, ya" telusur Claire pada berbagai prediksi yang saat ini digelutinya. Masa remaja bagi Claire adalah sesuatu yang belum bisa ia lepas dengan mudah. Menginjak kedewasaan adalah mimpi buruk, dan sampai saat ini pun Claire masih berharap memutar waktu. Sang suami tersenyum saja melihat istrinya berandai-andai.
"Kalau kita bertemu lebih awal, mungkin kita tidak akan menikah".
Pelototan kaget jelas tergambar pada wajah Claire. Perempuan itu siap kapan saja melayangkan protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
INNOCENCE, MARRIAGE, AND MINERAL TOWN
Fiksi PenggemarFanfiction game Harvest Moon Boy & Girl / More Friends of Mineral Town Fanfiction game Story of Seasons : Friends of Mineral Town Gadis kota itu menuruti permintaan sang kakek. Perjodohan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya, dan tinggal di kota...