Adhisti turun dari motor Gian dan menatap rumah besar di depannya itu dengan seksama. Dari dulu, Adhisti tahu kalau Gian adalah anak orang kaya—tapi Adhisti sama sekali tidak menyangka kalau rumah besar yang selalu ia lewati ketika akan pergi sekolah adalah rumah Gian.
"Biasa aja dong," tegur Gian saat melihat Adhisti tidak berkedip memandangi rumahnya.
"Dulu waktu sekolah gue tiap hari ngelewatin ini rumah, gue nggak tau kalau ternyata ini rumah lo, Gi.." balas Adhisti tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Ya udah sekarang lo tau." kata Gian sambil menggantungkan helmnya di spion motor.
"Mas Gian," Gian menatap pria yang kira-kira berumur lima puluh tahunan yang tadi membukakan pagar rumah untuknya. Pria itu dipanggil Mamang—yang sudah bekerja di rumah Gian sejak dulu.
Kadang Gian bingung kenapa Mamang masih betah saja bekerja di rumah ini. Gian saja sudah tidak betah, makanya memutuskan untuk mengekos.
"Akhirnya Mas Gian pulang," ujar Mamang.
Gian melirik pria itu sekilas lalu pandangannya tertuju ke arah dua mobil yang terparkir di pekarangan. "Mama sama Papa di rumah?"
"Eh, Iya, Mas. Mungkin tau Mas Gian mau pulang." balas Mamang sambil tertawa.
"Aku nggak kasih tau siapa-siapa aku mau pulang kok. Cuma sebentar. Oh iya, bisa tolong panasin mobil aku nggak, Mang?"
"Mas Gian mau bawa mobil?"
Gian mengangguk, "Iya. Ntar motor dimasukin ke garasi aja. Kapan-kapan aku jemput juga."
"Siap, Mas Gian."
"Makasih, Mang." ucap Gian tersenyum tipis lalu berjalan ke arah pintu masuk rumahnya.
"Lo udah berapa lama nggak pulang sih?" tanya Adhisti.
"Dua bulan? Kayaknya gitu."
Adhisti melongo tak percaya. Ia lalu menepuk pelan punggung Gian dan lagi-lagi membuat Gian meringis sambil menatap cewek itu. Soalnya, hari ini ia sudah dipukul berkali-kali oleh Adhisti.
"Gila lo ya. Gue aja tiap minggu pulang." seru Adhisti.
Gian memilih untuk tidak membalas perkataan Adhisti yang barusan. Jujur saja, Gian sebenarnya merasa keberatan untuk menjemput charger kamera yang ketinggalan. Gian benar-benar tidak ingin pulang. Toh, tidak akan ada juga yang menunggunya untuk pulang.
Gian tidak tahu bagaimana keluarga Adhisti sehingga cewek itu senang pulang di akhir minggu. Yang jelas bagi Gian, rumah ini, seperti bukan rumah untuknya.
"Kamu pikir saya ini nggak capek kerja?!"
Gian langsung menghentikan langkahnya saat mendengar suata teriakan Mayang—mamanya di ruang keluarga. Bukan hanya Gian, Adhisti pun dapat mendengar jelas teriakan itu. Mereka berdua sama-sama terdiam di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundtrack : Somehow
General Fiction[Completed] Bagi Gian, tidak ada yang lebih spesial daripada Musik dan mungkin sedikit Adhisti.