Gian memang membenci semua mata kuliah yang ada di dalam jurusannya. Tapi Gian tidak akan pernah absen saat kuliah kecuali saat ia sedang sakit.
Tapi senin pagi ini beda. Gian merasa tak sanggup untuk pergi dan meninggalkan mamanya di rumah—walau Gian yakin kehadiran Mamang dan Yati sudah sangat membantu.
Namun, Gian merasa sangat bersalah karena selama ini ia selalu tidak memperdulikan masalah yang menyebabkan kedua orang tuanya selalu bertengkar. Perasaan bersalah itu kian menghantui saat Gian teringat bagaimana selama ini Mayang mencoba mendekatinya untuk merobohkan dinding yang besar di antara mereka.
Semalaman Gian berpikir hingga ia hanya tidur selama dua jam. Gian sibuk menerka-nerka segala kemungkinan kapan papanya mulai berselingkuh dari Mayang. Tapi hasilnya nihil, Gian tidak tahu. Mungkin, hanya ia yang tidak tahu.
Pagi itu, Gian menatap kobaran api yang besar di belakang rumahnya. Tangannya terus bergerak melempar pakaian, mainan, dan beberapa benda yang ingin ia musnahkan. Segala kenangan tentang Satrio yang ada di dalamnya.
Termasuk, drum stick kesayangannya itu.
Sebelum melemparkan benda itu ke dalam api, Gian menatapnya lama. Ada rasa tak rela tapi harus Gian lakukan karena rasa bencinya sudah menyebar. Bahkan Mamang dan Yati yang sejak tadi berdiri di belakangnya enggan untuk mengganggu.
"Pak, kalau lihat Mas Gian yang kayak gitu... Mas Gian udah tau ya jangan-jangan?" ujar Yati pelan kepada Mamang.
Mamang mendesah pelan, "Kayaknya, Ti. Ibu udah keluar belum dari kamar?"
Tepat setelah Mamang mengatakan itu, Mayang muncul dari belakang mereka dan disambut dengan tatapan khawatir oleh Mamang dan Yati.
"Bu," sapa Yati cemas. "Ibu baik-baik aja? Mas Gian udah tau ya Bu? Apa kemarin nggak sengajak ketemu Bapak?"
Mayang tersenyum kecil dan memegang pundak Yati, "Bisa tinggalin saya sama Gian dulu, Bi? Siapin sarapan aja ya."
Yati memandang Mamang ragu namun keduanya menurut dan berjalan ke dalam rumah untuk meninggalkan ibu dan anak itu.
Gian dengan segera merasakan presensi Mayang saat mamanya kemudian berdiri tepat di sampingnya, memandangi benda-benda dari Satrio yang sudah hangus terbakar. Namun, hanya ada satu benda yang Mayang perhatikan.
"Semuanya dimulai waktu kamu pertama kali minta belajar main drum, Gi." ucap Mayang berhasil membuat atensi Gian teralih dari api itu.
Mayang berusaha menahan tangisnya lalu menatap Gian dengan lekat, "Waktu itu, ada seorang wanita yang menghubungi Mama lewat sms, mengaku sedang mengandung anaknya."
"Mama awalnya nggak percaya. Karena Mama tau, dia—laki-laki itu, sibuk sekali. Dia pasti nggak bakalan punya waktu untuk ketemu perempuan lain. Tapi ternyata, kesibukannya itu ada sangkut pautnya dengan ini. Perempuan itu adik tingkatnya saat kuliah."
"Mama marah, kecewa. Walaupun Mama sibuk bekerja, Mama tetap sayang sama laki-laki itu. Mama tau, kesibukan Mama juga pasti menjadi salah satu alasan kenapa dia melakukan itu. Tapi saat itu, Mama hanya mikirin kamu. Mama nggak mau kamu tau alasan kami bertengkar setiap harinya."
"Tapi aku juga berhak tau, Ma." ujar Gian dengan suara yang tercekat. "Selama itu... Selama itu Mama sendirian. Nggak ada aku yang belain Mama..."
Mendengar suara Gian yang seperti itu, Mayang tak kuasa menahan air matanya. Mayang menangis.
"Ke-kenapa Mama simpan itu sendirian dari aku. Aku memang selama ini nggak peduli, tapi bukan berarti aku nggak sayang sama Mama. Aku harusnya ada buat Mama kan? Aku harusnya lindungin Mama..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundtrack : Somehow
General Fiction[Completed] Bagi Gian, tidak ada yang lebih spesial daripada Musik dan mungkin sedikit Adhisti.