Selama ini, semuanya cuma bohong?
Perjalanan pulang ke Bekasi itu diselimuti oleh kesenyapan. Hanya suara isak tangis kecil dari Mayang yang terdengar.
Gian bingung. Campur aduk. Ingin menangis pun rasanya tidak bisa. Ketika ia berpikir bahwa semuanya telah selesai, ternyata Gian salah dan Gian tahu bahwa ini baru saja dimulai. Gian mengencangkan genggamannya pada setir mobil dan rasanya ingin berteriak, ingin memaki. Tapi, ia tak sanggup.
Sakit.
"Maafin Mama nak," Mayang akhirnya bersuara saat mereka berdua sama-sama melangkahkan kaki keluar dari mobil begitu sampai di rumah.
Gian hanya memandangi Mayang nanar. Menatap ibunya dengan perih. Mayang tersenyum kecut lalu berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Gian tahu, ibunya adalah orang yang paling terluka di sini.
Gian sekarang mengerti.
Kenapa tidak ada lagi foto-foto milik ayahnya di rumah. Benar-benar tidak tersisa sedikit pun. Saat menyadari foto milik Satrio hilang, Gian pikir, Mayang begitu membenci orang yang pernah ia sebut sebagai suami sehingga melihat gambaran dirinya pun Mayang enggan. Awalnya, Gian berpikir demikian.
Ternyata, asumsi yang ia ciptakan sendiri itu salah. Semua itu karena Satrio sudah jelas tidak akan kembali lagi ke rumah ini dan Mayang membencinya karena lelaki itu mengkhianatinya. Bertahun-tahun, dan Gian baru mengetahui kenyataan itu sekarang.
"Mas Gian," Yati menyahut dari belakang, membuat Gian mengalihkan atensinya dari potret dirinya semasa kecil. "Mas, ada apa? Ibu kayaknya nggak enak badan."
Gian menganggukkan kepalanya lemah, "Tolong antarin teh anget buat Mama ya Bi."
"Mas Gian nginep?"
"Hmm," balas Gian pelan. "Mungkin untuk waktu yang lama."
Yati hanya menatap bingung Gian yang kemudian menaiki tangga untuk ke kamarnya.
Kamarnya yang luas itu kini terlihat semakin sepi. Ia benci seisi kamar itu. Karena setengah isi di dalam kamar tersebut adalah pemberian Satrio yang ia pikir Gian akan menyukai benda-benda itu.
Gian meletakkan tas ranselnya ke atas meja belajar dan tertegun saat mendapati satu foto yang ternyata tidak dibuang oleh Mayang. Sebuah gambar Gian yang sedang mengangkat tinggi-tinggi drum stick pemberian Satrio dan sosok Satrio yang tersenyum di sebelahnya. Itu adalah foto pertama yang Gian suka dan ketika foto itu dicetak, Gian langsung meletakkannya di atas meja belajar.
Gian bahkan tetap menyimpan foto itu walau bertahun-tahun sudah dilewati. Gian kembali mengepalkan tangannya kuat-kuat dan meneteskan air matanya.
Lambat laun, tangisan pria itu semakin kencang hingga ia terduduk dan bersandar di balik pintu. Gian memukulkan kepalan tangannya beberapa kali pada pintu, tidak peduli pukulannya itu di dengar atau tidak oleh orang rumah.
Apa semua orang di sekitarnya juga berbohong?
-ooo-
Entah sudah berapa lama Adhisti memandangi ponselnya sambil berbaring di atas tempat tidur. Dahinya mengernyit bingung karena Gian belum juga menghubunginya hari ini.
Mereka bukan tipe pasangan yang selalu bertukar kabar setiap saat lewat ponsel karena mereka lebih sering bertemu saat di kampus. Tetapi, lelaki itu akan tetap mengabarinya jika akan bepergian atau setidaknya hanya menanyakan apakah Adhisti sudah makan atau belum.
Tapi hari ini berbeda. Gian tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan kecil itu.
Kenapa ya, Adhisti membatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundtrack : Somehow
Ficción General[Completed] Bagi Gian, tidak ada yang lebih spesial daripada Musik dan mungkin sedikit Adhisti.